10a

Jam delapan tepat aku sampai kembali di rumah Mami Erna, Bara menahanku sebentar, dia meminta, mungkin akan menjadi yang terakhir, sebuah ciuman yang sedikit panas dibanding biasanya.

Kami langsung keruan kerja Mami Erna, sudah ada Jenny di sana. Seperti biasa kalau melihat ke arah Bara wanita jadi-jadian itu seperti singa lapar, yang siap menerkam mangsanya.

"Siapkan barang-barangmu, Tuan Bram sebentar lagi menjemputmu, Tuan mudanya memilihmu, kamu bebas sekarang. Nikmati keberuntunganmu, kamu akan menjadi ratu," ucap Mami Erna, aku mengangguk pelan, tanpa melepas pandangan ke arah Bara yang duduk di kursi depan meja Mami Erna.

"Dah, sana ...." perintahnha kemudian sambil mengibaskan tanganya.

Aku mengangguk dan beranjak keluar, Bara tak melihatku, dia membelakangiku. Kenapa berat berpisah dengannya, mungkin karena aku sudah mulai terbiasa dengan hadirnya, sebagai satu-satunya orang yang baik padaku dan menyayangiku.

Sesampainya di kamar aku mulai mengemasi barang-barangku. Tak banyak, hanya beberapa potong pakaian saja. Kuedarkan pandangan ke sekeliling ruangan kecil itu. Akhirnya aku terbebas dari tempat ini.

"Butuh bantuan?" Mendengar suara itu, bibirku tersenyum. Aku membalikkan badanku, pria itu berdiri di depan pintu.

Aku berhambur dalam pelukannya, hati ini seperti tak rela jauh darinya. Aku memeluknya erat, sangat erat. 

"Harusnya kamu bahagia, kenapa terus menerus menangis dari semalam?"

"Karena dirimu," jawabku.

Bara mengangkat wajahku, "Aku?" 

"Iya, aku tak ingin jauh darimu," ucapku.

"Hanya belum terbiasa saja, kita selalu menghabiskan waktu berdua saja akhir-akhir ini, kita menemukan kenyamanan dan juga seorang teman bercerita. Lambat laut kamu juga akan lupa, ada aku di sebagian kecil perjalan hidupmu," ucapnya terdengar serak.

"Aku tak akan pernah melupakanmu, tak akan pernah," ucapku terisak.

"Jangan menangis, aku tak suka," ucapnya. Tangan itu merengkuhku, mendekapku erat. Aku tak suka perpisahan ini, aku tak suka berpisah darinya

"Lihat aku!" ucap Bara kemudian mengangkat wajahku, dengan ibu jarinya dia mengusap pipi basahku. "Tuhan begitu baik padamu, mengirimkan mereka untuk menebusmu. Ini kesempatanmu keluar dari sini. Perlihatkan wajah tercantikmu, jangan memberi mereka wajah jelek ini," lanjut Bara lagi.

Bara memaksakan senyumnya, dia memaksaku tersenyum juga dengan menarik pipiku. Mata kami sesaat beradu, bulir bening itu terus memaksa keluar dari mataku. Mata pria itu mengembun, ada rasa nyeri tertahan disana.

"Kenapa kau begitu baik padaku?" tanyaku lagi untuk kesekian kalinya, aku belum puas dengan semua jawabanya untukku. Kenapa aku ingin dia mengatakan hal lainnya.

"Aku tak tau, aku hanya tak ingin melihat kesedihanmu, tak suka melihatmu menangis," ucapnya.

"Lalu kenapa kamu sekarang menangis?" tanyaku, jemariku mengusap pipi basah itu.

Bara mengalihkan pandanganya dariku, bibirnya tersenyum masam. Dia mendongakkan wajahnya, melihat langit-langit kamar.

"Kenapa?" tanyaku lagi.

"Kenapa kau bawel sekali,"

"Katakan padaku?" paksaku.

"Karena ... ka ... karena aku menyayangimu," jawabnya kemudian. Mendengarnya aku mengigit bibirku.

"Aku sayang padamu," ucapnya lagi, matanya menatapku lekat.

"Tak ada satupun wanita yang bisa mengetarkan hatiku, mataku melihat wanita hanya dengan nafsu, kamu berbeda, aku tak tau kenapa, kadang tak perlu alasan untuk menyayangi seseorang, begitu juga dengan yang aku rasakan sekarang padamu."

Aku terus menatapi manik mata coklat itu, mendengarkan tiap kalimat yang keluar dari bibir pria itu.

"Bawa aku pergi!" pintaku padanya.

Bara terdengar kaget mendengarkan perkataanku.

"Aku tak bisa, maafkan aku."

"Kenapa? Kita bisa lari dari tempat ini, kita pergi jauh. Bukankah kamu menyayangiku, kamu menginginkan untuk selalu bersamaku bukan? Bawa aku bersamamu," ucapku padanya. Hatiku memaksa bibirku mengatakan itu. Aku percaya dia akan bisa menjagaku.

Lalu Kenzi? Apa yang bisa kuharapkan dari seorang pria yang tak menyukai wanita. Aku tau alasannya menebusku, karena aku bisa di ajak bekerja sama, bukan karena dia tertarik padaku, atau jatuh cinta padaku. Siapa yang akan menjamin aku akan bahagia di sana, hanya bahagia lepas dari sini, tapi hati?

"Kamu bicara apa? Semua tak semudah yang kamu pikirkan. Dunia ini tak kenal keluarga atau saudara. Aku tak akan membahayakan hidupmu dengan membawamu pergi. Dan lagi aku bukan pria yang pantas untukmu, berapa ratus wanita sudah tidur bersamaku. Aku hanya pria bejat, pria kotor penuh dosa, aku juga tak punya apa-apa untuk menjamin kehidupanmu."

"Tapi ...."

"Tak ada tapi." Bara memotong kalimatku.
" Pergilah, tata masa depanmu, kamu layak mendapatkan semua itu. Jangan pernah berfikir aneh-aneh lagi. Melihatmu hidup bahagia dan layak, itu kebahagiaan terbesarku."

"Jadilah wanita yang kuat dan tegar, jangan cengeng seperti ini lagi. Jangan pernah menangis lagi. Jangan tunjukkan air mata ini kepada siapapun, Ingat jangan menjadi lemah," lanjutnya lagi.

"Aku ingin terus bersamamu," ucapku lagi, diri ini sungguh tak ingin lepas darinya.

"Apa kamu juga menyayangiku?" tanyanya, aku mengangguk.

"Kalau kamu sayang, kamu harus menuruti semua kata-kataku. Pergilah, raih mimpimu. Aku berbahagia untukkmu," ucap Bara, meyakinkanku.

Aku bisa merasakan ketulusan dalam dirinya, dan ketika dia memintaku pergi, pasti bukan tanpa alasan. Dia menginginkan aku lepas dari tempat ini dan hidup layak. Deminya aku akan menuruti semua ucapannya.

Tak mudah baginya untuk pergi begitu saja, dia benar banyak hal yang tak aku pahami. Aku kembali membenamkan wajahku dalam dadanya, memeluknya erat sangat erat. Bara mencium lama puncak kepalaku.

"Aku menyayangimu," ucapku di tengah isakku.

Cukup lama kami saling berpelukan, serasa tak ingin saling melepaskan. Tapi takdir membawa kami ke jalan yang berbeda, dan memaksa kami harus rela menjalaninya.

"Ayo bersiap, sebelum Jenny dikirim ke sini untuk menjemputmu," ucap Bara, aku mengangguk pelan.

Semua barangku sudah tertata rapi, tidak banyak barang yang aku miliki. Kuedarkan pandanganku kesekeliling kamar. Kamar yang kutempati beberapa waktu terakhir ini.

"Sudah? biar aku bawakan barangmu."

"Terima kasih."

"Jaga diri baik-baik," ucap Bara lagi.

"Kamu juga," ucapku. Pria itu memaksa tersenyum.

Kami masih saling menatap untuk beberapa saat. Sebuah tautan lembut Bara singgahkan di bibirku, aku membalasnya dengan hatiku. Kurasakan kembali mataku memanas, apa arti rasa ini. Aku tak dapat mengartikannya. Pria itu juga menangis, kenapa perih sekali rasanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top