Prolog



***

Dalam pencahayaan minim yang hanya diterangi lampu tidur, suara jarum jam dinding yang bergerak lirih, menyatu serasi dengan tarikan napas yang mengalun teratur.

Achala Annandhita, duduk di tepi tempat tidurnya. Memandangi sebuah pigura yang tidak sengaja dia temukan di lemarinya. Foto yang menampilkan pernikahannya tujuh tahun lalu.

Achala tampak cantik dengan kebaya berwarna gelap dan kain jarik bermotif batik sebagai bawahannya. Tangannya mengait pada lengan seorang pria dengan gagahnya berbalut jawi jangkep.

Masih jelas di memori kepala Achala, bagaimana ekspresi bahagia kedua orang tuanya, saat bisa memujudkan mimpi mereka agar Achala menikah dengan prosesi adat Jawa.

Masih jelas pula dalam ingatannya, saat Jibran Lintang Darmawan membawanya ke sebuah rumah besar, setelah satu hari status Achala resmi menjadi istri Lintang di usia yang sangat muda—sembilan belas tahun.

Achala menarik napas dalam, mengembuskan dengan kasar saat potongan peristiwa beberapa tahun lalu pun turut bermain di kepalanya.

Satu hari setelah acara resepsi pernikahan mereka. Sesuai titah Lintang, Achala duduk di sebuah kursi kayu pada meja makan, menunggu apa yang akan Lintang sampaikan padanya. Tangan Achala terkepal di atas pahanya, perasaan gugup menyelimuti. Suara ketukan sepatu pantofel pada lantai terdengar menakutkan.

Achala menoleh saat suara dehaman terdengar di ujung sana, netranya menangkap Lintang yang baru saja keluar dari sebuah ruangan, manik mata Achala beralih pada benda di tangan Lintang, sebuah amplop berwarna cokelat di genggaman tangan kirinya

Lintang menarik kursi di seberang Achala, amplop yang semula berada di tangan Lintang dia simpan di atas meja. Achala mendongak, menatap lurus mata Lintang yang sudah membuka suaranya.

"Kamu tahu, kan. Kita dijodohkan. Aku punya perempuan yang sangat aku cintai."

Lintang merebahkan punggungnya pada sandaran kursi, tangannya terlipat di depan dada. Achala masih bergeming, dia sadar jika dia dan Lintang dijodohkan.

"Aku tidak akan pernah meninggalkan pacarku, meski statusku sudah menikah dengan kamu."

Achala terkesiap mendengar pernyataan Lintang. Kepalan tangannya berkeringat. Sungguh Achala tak punya keberanian untuk menyela sedikit pun.

Lintang mendorong amplop kertas ke hadapan Achala, tatapannya masih dingin. "Di dalam amplop ini perjanjian yang harus kamu sepakati," ujarnya enteng.

Tangan Achala meraih amplop kertas tersebut, membukanya pelan. Matanya bergulir membaca setiap kata per kata tulisan di atas kertas.

"Poin pertama, tidak ada asisten rumah tangga. Jadi semua urusan rumah ini kamu yang urus. Termasuk keperluanku."

Achala mengangguk, meski dia terlahir sebagai anak semata wayang, Achala cukup mandiri. Dia biasa mengurus kebutuhannya sendiri. Dan untuk urusan mengurus Lintang sudah menjadi kewajibannya sebagai istri.

"Poin ke dua, jangan ikut campur urusanku. Terlebih semua yang berhubungan dengan pacarku."

Sedikit berat, Achala lagi-lagi mengangguk menyetujui.

"Poin ke tiga, pernikahan kita hanya sampai ayahmu pulih atau perusahaan ayahku kembali stabil. Setelahnya kita akan berpisah."

Achala mengangkat kepalanya. Dia sadar pernikahannya tidak lebih dari urusan bisnis. Ayahnya jatuh sakit, butuh seseorang untuk mengambil alih perusahaannya, sementara perusahaan ayah Lintang hampir terancam gulung tikar.

"Poin ke empat. Jangan pernah ada perasaan lebih terhadapku. Jika kamu jatuh cinta denganku, kamu atur sendiri untuk menyembunyikannya. Jika kamu tidak bisa menyembunyikannya, saat itu juga aku akan menceraikan kamu, meski poin ke tiga belum tercapai."

Kali ini, Achala benar-benar kehabisan kata untuk sekadar menyanggah. Dia masih bergeming, menatap lurus manik kelam Lintang.

"Itu sebabnya, kita tidak akan tidur dalam satu kamar. Sekarang silakan tanda tangani!" tegas Lintang.

Tangan gemetar Achala meraih bolpoin yang Lintang sodorkan. Pada tinta hitam di atas putih, Achala membubuhkan tanda tangannya di permukaan materai.

"Ah, iya. Sebagai tambahan jika kamu sakit atau apa, silakan urus sendiri. Aku tidak akan repot-repot mengantarkan kamu ke dokter atau rumah sakit. Sebagai gantinya, kamu bisa pulang ke rumah orang tua kamu, mereka pasti mau merawat kamu."

Lintang keluar dari meja, menarik lembar kertas yang sudah Achala tandatangani. Memasukan kertas itu ke dalam amplop cokelat tempatnya semula.

Sebelum meninggalkan Achala, pria itu kembali berkata, "Tidak usah terlalu berharap aku akan menerima keberadaan kamu, pernikahan ini hanya sebatas urusan bisnis dan kita hanya peran pengganti."

Suara dering ponsel Achala menyentak ingatan tentang pernikahannya yang kandas lima tahun lalu. Achala melirik ponselnya, ada panggilan dari Affandra, tetangga sekaligus sahabat Achala sejak kecil.

Jarinya menggeser tanda hijau, dibawanya benda canggih itu ke telinga. Suara teriakan nyaring di seberang sana terdengar riuh.

"Acha!"

Achala menjauhkan ponselnya dari telinga, mengusap telinganya sesaat sebelum kembali menjawab, "Iya kenapa Affandra Bujur Putra? Nggak usah heboh."

Suara terkekeh di seberang sana terdengar setelahnya.

"Kata ibu aku, kamu sudah pulang? Dia bertemu denganmu tadi sore."

Achala mengangguk, meski sadar pergerakannya tidak akan diketahui oleh Affandra. Pergi ke negeri orang selama beberapa tahun, bohong jika ia tidak ada rasa rindu pada sahabat lamanya ini.

"Dua hari lagi aku pulang. Tunggu aku ya, Cha."

"Ekhem, yang sudah betah di Bandung. Nggak bisa langsung pulang," ledek Achala.

Suara gelak tawa Affandra terdengar setelahnya. "Ya sudah, aku tutup, ya, Cha. Lagian ini udah malem, aku habis pulang lembur."

"Iya, sampai jumpa dua hari lagi, Affa."

Sambungan telepon diputus oleh Affandra, Achala melirik jam pada sudut atas ponselnya. Sudah pukul sebelas malam, waktunya dia mengistirahatkan tubuhnya setelah perjalanan panjang.

Tanjung Enim, 14 Februari 2021.
Republish, 1 oct 2021

Salam Sayang ❤️
RinBee 🐝

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top