9 🌐 Tidak Apa-apa
"ACHALA!"
Suara Lintang terdengar gaduh, Achala berlari tergopoh menuju lantai atas saat namanya dikumandangkan dengan lantang. Napas wanita itu masih tersengal menapaki anak tangga, tangannya gemetar mempertimbangkan akan mengetuk pintu kamar Lintang atau tidak. Achala masih bergeming, mengumpulkan niat menghadap Lintang. Lututnya lemas, takut menghadapi akan luapan emosi Lintang yang sejujurnya dia belum tahu di mana letak kesalahannya kali ini.
Achala mengembuskan napas gusar, semakin lama dia berdiri di depan pintu pun tidak ada guna. Lebih baik dia hadapi dengan sekuat hatinya.
Tangan Achala mengetuk pintu kamar berwarna cokelatan tua itu. "M-mas, manggil a-aku?" Dengan nada bergetar, suaranya yang tercekat di pangkal tenggorokan. Akhirnya, Achala paksakan untuk berbicara.
Tidak ada sahutan dari dalam selain knop pintu yang bergerak lalu pintu terbuka lebar. Mata nyalang Lintang adalah yang pertama Achala lihat. Achala menunduk, sungguh dia takut sekali menatap wajah Lintang yang diselimuti amarah. Belum lagi segala umpatan yang dia dengar sebelum pintu terbuka.
"Masuk!" perintah Lintang dengan nada datar.
Achala bergerak masuk, berjalan mengikuti Lintang ke tengah kamar. Ada satu setel baju kantor Lintang yang dia siapkan tiga puluh menit lalu. Namun, baju yang Achala siapkan tadi tersimpan rapi di atas tempat tidur, bukan tergeletak kusut di lantai.
Apa baju yang aku siapkan tadi jatuh ke lantai? Makanya Mas Lintang marah?
Lintang meraih dasi yang Achala siapkan tadi. Dengan wajah penuh amarah, Lintang melemparkan dasi itu ke hadapan Achala. Tangan gemetar perempuan itu memungut dasi yang tergeletak di dekat kakinya.
"Kamu apakan dasi kesayanganku, Achala! Kenapa ada noda di ujung dasinya. Kamu mencuci dasi saja gak becus."
Achala terkesiap, tangannya tergesa memeriksa noda yang Lintang maksud. Benar, memang ada setitik noda di sana. Sepertinya dasi berwarna navy dengan bahan mengkilap itu, mungkin nggak sengaja terkena pemutih pakaian yang Achala gunakan untuk mencuci kemeja putih Lintang.
"Kamu tahu, 'kan ini hari apa? Harusnya aku memakai dasi itu, tapi gagal karena ulah kamu, bahkan sepertinya aku nggak bisa memakainya lagi."
Achala paham, sangat mengerti dan mengingatnya. Pada hari Senin, Lintang akan mengenakan dasi—kesayangannya—itu. Dasi pemberian Trishia kekasihnya, hadiah di hari pertama Lintang bekerja.
Hati Achala teremas ngilu pada saat itu, untuk pertama kali mendengar Lintang dengan bangganya, memberitahukan perihal dasi itu dan akan dia kenakan setiap hari Senin sebagai awal hari memulai bekerja dan segalanya.
"Sekarang kamu keluar! Lama-lama lihat kamu di sini aku muak. Cepat keluar, Achala!" teriak Lintang.
Achala menyimpan kembali dasi itu di atas tempat tidur, membenahi kemeja beserta celananya yang tergeletak di lantai. Tanpa menunggu diusir untuk kedua kalinya, Achala bergegas keluar dari kamar Lintang.
"Tidak apa-apa, Cha. Kamu kuat. Kamu sudah biasa diperlakukan seperti ini."
Achala menuruni anak tangga, bergumam mencoba menguatkan hatinya sendiri. Sejauh ini, Lintang memang tidak pernah melakukan kekerasan dalam bentuk fisik. Namun, kekerasan verbal yang dia berikan lebih dari cukup untuk mematahkan hati seorang Achala Annandhita.
Setiap kali Lintang berkata kasar padanya, merendahkannya, Achala akan berkata, 'tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja'. Entah sampai kapan Achala akan berlindung di balik kata tidak apa-apa dan berakhir menyalahkan diri sendiri.
***
Achala masih bergeming di depan pintu unit apartemen milik Lintang. Berulang kali kepalanya menggeleng, matanya mengerjap. Memastikan barang kali dia salah melihat orang. Bisa saja, 'kan? Karena seharian ini otaknya terus terbayang orang tersebut. Jadi, Achala mengira dirinya sedang berhalusinasi melihat tetangga sebelahnya serupa Lintang.
"Hai, selamat malam. Jadi, kamu yang tinggal di sebelah?"
Achala terperangah, pria di hadapannya tidak hanya mirip Lintang, tetapi suaranya pun persis Lintang. Achala menggelengkan kepala, mencoba menyadarkan dirinya.
Tangan Lintang mengibas udara di depan wajah Achala. "Cha? Kamu tidak apa-apa?"
Pupil mata Achala membesar, panggilan Lintang menyentaknya. Achala sadar yang ada di hadapannya bukan halusinasi, tetapi benar Lintang yang asli.
"Mas Lintang? Ngapain di sini? Kenapa ngikutin aku, sih!" seloroh Achala tanpa jeda.
Lintang bersedekap, tubuhnya bersandar pada pintu apartemennya. Seulas senyum tipis terkembang. "Aku tinggal lebih dahulu di sini, Cha."
Achala berbalik, rasanya dia ingin berlari ke unit apartemen miliknya. Lintang benar, tuduhan Achala tak dapat dibenarkan. Pria itu—mungkin—memang tinggal lebih dulu daripada dirinya. Sungguh, Achala kesal dipermainkan oleh takdir seperti ini.
"Cha, kamu nggak apa-apa? Tadi kamu kirim chat, katanya nabrak mobil—"
Achala membalik tubuhnya menghadap Lintang kembali. "Ah, iya. Mobil Bapak. Maaf saya tidak sengaja." Achala menundukkan kepalanya, tanda dia tulus meminta maaf. "Bapak tenang saja. Saya nggak akan lari, kok. Saya akan tanggung jawab ganti kerugiannya," lanjut Achala.
Suara kekehan renyah dari bibir Lintang terdengar. Achala menegakkan kepalanya, netra mereka saling bertautan.
"Harus banget pakai kata bapak dan bicara formal, Cha?" Lintang menaikkan satu alisnya. "Ah, iya. Sekarang kamu sudah menjadi pimpinan dan kita adalah kolega bisnis." Lintang mengangguk paham, menyinggung posisi mereka tidaklah sama seperti dahulu.
Achala masih bergeming, entah apa yang sedang wanita itu pikiran. Suara berat Lintang lagi-lagi menyentaknya agar kembali pada kesadaran.
"Ayo," ajak Lintang kemudian.
"K-ke mana?" Achala gagap tidak mengerti dengan ajakan Lintang.
Lintang tampak mengulas senyum terang-terangan. "Katanya mau ganti rugi kerusakan mobilku. Kita lihat dulu seberapa parah kerusakannya, kecuali kalau kamu mau balik ke aku, tujuan kita bukan basemen, tapi KUA."
Lintang maju beberapa langkah ke depan Achala, menarik pintu apartemennya hingga tertutup rapat. Gerak kaki Achala bergeser, mempersilakan Lintang berjalan lebih dahulu. Ucapan Lintang sukses membuat jantungnya ribut. Pria itu mengayunkan langkahnya, tiba-tiba berhenti saat dirasa Achala tidak mengikutinya.
"Cha? Kok diem di sana. Ayo."
Langkah ragu Achala ayunkan, meski awalnya jaraknya dan Lintang cukup jauh, tetapi akhirnya, mereka berdiri bersisian menunggu lift yang akan mambawa mereka ke basemen apartemen.
Lintang tampak serius memperhatikan bagian belakang mobilnya yang masih beradu dengan Audi A6 berwarna silver—milik Achala. Sesekali decakan keluar dari bibir Lintang. Achala turut memperhatikan dan sesekali menautkan alisnya. Tidak bisa menangkap arti decakan Lintang.
"G-gimana, Mas?"
Lintang menoleh saat suara Achala kembali mengetuk gendang telinganya. Netranya memperhatikan Achala dari atas ke bawah.
"Aku suka saat kamu panggilku dengan sapaan mas lagi, Cha." Lintang kembali fokus pada kedua mobil mewah di depannya.
Achala memukul bibirnya sendiri, menyadari kebodohan yang baru saja dia lakukan. "Maksud saya ... gimana, Pak Lintang? Apakah saya sudah bisa tahu jumlah yang harus saya bayar sebagai ganti rugi?"
Lintang berbalik, melipat tangan di depan dada. "Aku bukan orang bengkel, Cha. Mana aku tahu jumlah kerugiannya berapa." Tangan Lintang menadah ke depan Achala, membuat Achala bingung.
"A-apa?"
"Kunci mobil kamu mana? Mobilnya mau tetep dempet-dempetan kayak gini? Mending kita aja dempet-dempetan."
Achala terkesiap, meraih kunci mobil dari dalam sling bag-nya dengan tergesa. Menyerahkan pada Lintang dengan gugup.
Sial! Maksudnya apa coba? Kurang kasih sayang atau gimana sih ini laki-laki satu.
"Kamu masih sama seperti dulu," ucap Lintang menarik seulas senyum. "Hemat! Padahal kamu bisa lebih dari ini." Lintang melanjutkan ucapannya seraya berlalu menekan remote kunci mobil Achala.
Lintang masuk ke mobil Achala, menghidupkan mesin, kemudian mengatur posisi parkir kedua mobil tersebut agar berada di posisi yang benar.
"Dia pewaris tunggal di perusahaan besar, padahal bisa beli mobil lebih dari ini. Kamu tidak berubah, Cha. Aku kagum."
Lintang bergumam sendiri, tentu Achala tidak mendengarkannya. Salah satu sifat yang Lintang sukai dari Achala adalah kesederhanaannya. Dia wanita tangguh yang pernah Lintang kenal.
Mobil milik Achala tergolong jajaran mobil mewah, tetapi jika dibanding dengan pendapatan yang dihasilkan dari perusahaannya. Benar kata Lintang, Achala termasuk hemat dalam keuangan untuk kendaraannya.
Lintang keluar dari mobil Achala, melangkah ke arah keberadaan wanita yang berdiri menatap belakang mobilnya dan mobil Lintang bergantian. Kedua mobil mereka sudah bersisian. Mata Achala membulat saat fokusnya jatuh pada plat nomor kendaraan mobil Lintang. Achala menggelengkan kepalanya samar, mengusir pikiran yang menggangu.
B 1402 AL. Begitu yang tertulis pada papan hitam berbahan aluminium dan akrilik. Pikiran Achala seketika penuh, memecahkan maksud dari angka dan huruf itu.
1402. 14 Februari maksudnya? Tanggal itu kan, tanggal pernikahan kita dulu. AL? Acha Lintang? Nggak mungkin Mas Lintang sejauh itu. Aku saja yang berlebihan. Mas Lintang nggak akan menggunakan sesuatu yang masih ada kaitannya sama aku. Bisa saja, 'kan itu tanggal lahir pacarnya.
"Cha? Acha?"
Entah sudah berapa kali panggilan dari Lintang diabaikan oleh Achala. Dia masih berperang dengan pikirannya sendiri hingga tepukan di bahunya menyeret paksa kesadarannya.
"Kamu ngelamun? Kenapa?" tanya Lintang lembut.
"Nggak kok, Mas. Maksud saya Pak. Ya, Pak Lintang. Saya tidak apa-apa."
Lintang berdecak. "Aku paham, kita sekarang adalah orang asing. Itu sebabnya kamu bersikap formal seperti ini."
Tangan Lintang terulur, menyerahkan kunci mobil Achala. Uluran tangan Lintang sempat bertahan beberapa detik di udara, sebelum disambut perempuan itu.
Lintang berbalik, melangkah menuju lift. Achala menautkan alisnya, masih belum mengerti dengan sikap yang Lintang tunjukkan. Achala berlari kecil menyusul Lintang, ia berhasil menghadang langkah Lintang.
"Jadi, berapa yang harus saya ganti rugi?" tanya Achala seraya menatap mata elang Lintang.
Lintang menarik senyum samar, membalas tatapan Achala sebelum akhirnya berkata, "Tidak apa-apa, Cha. Nggak usah kamu pikirkan ganti rugi. Biar nanti mas, hmm ... maksudnya aku sendiri yang bawa ke bengkel."
"Tidak bisa begitu, Pak. Saya tidak mau berhutang apa pun sama Anda."
Lintang mendengkus mendengar ucapan Achala. "Ya sudah kalau kamu tidak mau berhutang pada saya," ucap Lintang mengikuti Achala dengan bahasa formalnya. "Sebelum saya menyebutkan berapa ganti rugi, pertama saya ada permintaan."
Dahi Achala tampak berkerut, bibirnya masih terkatup takut-takut salah berbicara. Achala memutuskan mendengar lebih dahulu apa yang akan Lintang katakan perihal permintaannya.
"Bisa tidak, kalau kita bertemu bukan di tempat kerja atau tempat formal. Kamu tidak perlu bersikap seperti ini."
Achala tidak segera mengiyakan. Dia harus bertindak hati-hati. "Jadi, berapa yang harus aku bayar?"
Lintang tersenyum, Achala sudah tidak menggunakan kata 'saya' lagi.
"Sudah berapa kali aku bilang. Aku bukan orang bengkel, Cha. Aku nggak tahu berapa total kerusakan. Besok aku bawa ke bengkel dulu. Nanti semua nota pembayaran aku kasih ke kamu."
"Baik, Pak. Aku tunggu kabarnya," jawab Achala mengangguk.
"Masih harus panggil bapak? Panggil aku seperti panggilan kamu yang dulu, Cha. Aku rindu panggilan itu dari kamu," lirih Lintang terdengar aneh di telinga Achala.
"Maaf, soal panggilan aku nggak bisa." Achala mantap harus bersikap tegas untuk urusan yang satu ini.
"Tidak apa-apa kalau nggak bisa, tapi aku nggak akan kasih nota pembayarannya. Biarin kamu punya hutang seumur hidup sama aku."
Lintang melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda. Lintang masuk ke lift, meninggalkan Achala yang masih bergeming di tempat.
Dasar egois! Nggak pernah berubah dari dulu sampe sekarang tetap aja begitu.
Tanjung Enim, 31 Maret 2021
Revisi, 12 Oktober 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top