8 🌐 Bersebelahan
Achala tampak senang dengan kegiatannya yang satu ini. Sudah dua minggu belakangan ia gemar menanam bunga, senyumnya terbit saat melihat bibit bunga yang dia semai sudah mulai muncul berupa kecambah.
"Tumbuh dengan sehat, ya. Aku akan rawat kamu." Achala bermonolog pada tumbuhan kecil yang muncul di permukaan tanah.
Ia menyusun rapi pot-pot yang sudah dia tanami bunga, tangannya kotor penuh tanah pekat, peluhnya di dahi tidak ia hiraukan. Achala asyik dengan dunianya sendiri hingga tidak menyadari seseorang tengah memperhatikannya.
"Achala," panggilnya.
Mungkin pria itu sudah bosan sudah sepuluh menit berdiri di ambang pintu. Menunggu Achala menyadari kehadirannya, tetapi Achala tetap tidak menyadari. Memunggungi Lintang, tersenyum pada tanaman, sesekali berpesan pada tumbuhan yang menurut Lintang adalah kegiatan konyol.
Achala terkesiap saat namanya dipanggil, dia jelas mengenali suara itu. Achala berbalik, menatap lurus Lintang di pintu penghubung dengan gestur tubuh yang mengecil. Pria itu berdiri gagah dengan pakaian kantoran yang biasa pria itu kenakan.
Achala mendongak menatap langit, masih cukup cerah, bahkan warna senja saja belum terlihat. Dahinya mengernyit bingung. Achala tidak mengira Lintang akan pulang secepat ini. Biasanya, meskipun pekerjaan kantor telah usai lebih cepat, Lintang tidak akan segera pulang ke rumah, entah akan tetap di kantor sampai malam atau dia akan ke apartemen terlebih dahulu. Saat sudah gelap, bahkan tengah malam, Lintang baru pulang ke rumah mereka. Mungkin itu adalah caranya agar tidak sering melihat wajah Achala.
"M-mas Lintang." Achala bergeming setelah mengucapkan dua kata tersebut.
Lintang tersenyum miring, netranya menelisik penampilan Achala dari atas hingga ujung sandal karet yang wanita itu kenakan. Tubuh mungil yang berbalut celemek plastik, kedua lengan yang kotor penuh tanah, serta rambut yang tergelung ke atas dan dahi yang dipenuhi butiran keringat.
"Bersihkan cepat, setelah itu temui aku," titah Lintang.
Achala mengerjapkan matanya, masih mencerna ucapan Lintang. Terbesit pikiran tentang kesalahannya, apa yang telah diperbuatnya hingga membuat Lintang marah. Namun, rasanya dia tidak melakukan kesalahan apa pun, bahkan untuk menanami halaman belakang dengan bunga pun Achala sudah mendapatkan izin Lintang.
"Aku ngelakuin kesalahan apa, ya? Sampai-sampai Mas Lintang pulang secepat ini, tapi tadi mukanya nggak sedang emosi, sih." Achala bergumam, masih berperang dengan pikirannya.
Wanita itu melangkah masuk ke rumah setelah mencuci tangannya yang kotor, ia segera membersihkan diri dan berganti pakaian bersih. Matanya menyapu ruangan tengah, tidak ia temukan Lintang di sana, langkahnya dibawa ke ruang kerja Lintang, tetapi ruangan itu pun sunyi tak berpenghuni.
Tungkainya terayun ke dapur, matanya membesar saat mendapati Lintang berdiri di depan meja pantry, dengan tangan sibuk menggenggam ipad-nya. Ada mug di hadapannya yang tersimpan di atas pantry. Sepertinya pria itu akan membuat kopi, tetapi belum sempat karena masih sibuk yang pada ipad-nya mungkin urusan pekerjaan.
"Mas Lintang mau bikin kopi?" tanya Achala yang sudah berdiri di samping Lintang.
Lintang menoleh ke samping kiri. Dia hanya mengangguk menanggapi pertanyaan Achala. Perempuan itu meraih mug yang sudah berisi bubuk cappucino itu, membawanya ke dispenser yang terletak bersebelahan dengan lemari pendingin.
Achala berdecak setiap kali melihat kedua benda ini, yang lebih kecil punya tiga fungsi. Hangat, panas, dingin. Sedangkan yang lebih besar berdiri kokoh dan sombong, meski hanya dingin yang dia miliki, tetapi bermanfaat banyak.
Achala menggambarkan dispenser adalah dirinya, mati-matian bersikap hangat untuk Lintang dan banyak fungsi, tetapi pria itu tetap saja dingin seperti kulkas. Tidak dipungkiri, ujungnya akan berakhir panas dingin karena sikap Lintang padanya.
"Airnya setengah aja," pinta Lintang.
Achala terkesiap, untung saja bubuk cappucino itu belum ia siram dengan air panas. Suara berat Lintang mengembalikan kesadaran Achala.
"Baik, Mas."
Achala mengangsurkan kopi Lintang, takut-takut matanya melirik Lintang yang masih fokus pada benda canggih di tangannya.
"Ada undangan makan malam, kamu ikut aku," ucap Lintang datar.
"Di perusahaan?" tebak Achala.
"Bukan. Di rumah ibu," jawab Lintang tak kalah datarnya.
Achala mengangguk paham. Makan malam di mana lagi Lintang akan mengajak Achala, selain di acara keluarga dan perusahaan. Selebihnya dia tidak pernah membawa Achala.
"Kamu siapkan pakaianku, usahakan senada dengan yang akan kamu kenakan."
Dahi Achala berkerut, bagaimana caranya? Dia menyadari rumah tangga mereka tidak seharmonis itu. Jadi, tidak pernah terbesit di pikirannya untuk membeli baju pasangan.
Achala menggigit kuku jarinya, sudah hampir sepuluh menit dia berdiri di depan lemari besar pakaian Lintang. Masih memikirkan baju mana yang akan dipilih, sembari mengingat baju miliknya yang hampir senada.
"Ini aja, kali, ya? Rasanya aku punya gaun warna ini."
Achala meraih kemeja berwarna cokelat susu, celana chino hitam. Wanita itu cukup hapal di mana letak pakaian Lintang. Masih ingat bukan, Lintang tidak mempekerjakan asisten rumah tangga. Jadi, semua tugas di rumah ini Achala yang mengerjakan, termasuk pakaian Lintang yang tersusun rapi di lemari.
Sudah hampir satu jam perjalanan mereka menuju kediaman orang tua Lintang, tidak ada obrolan di antara mereka meski posisi duduk bersebelahan. Mobil Lintang sudah memasuki halaman luas rumah keluarganya, Achala dan Lintang langsung menuju ruang keluarga. Ruangan luas itu sudah dipenuhi canda gurau dari orang tua, kakak Lintang, dan keponakannya.
Senyum Ibu Lintang terkembang saat mendapati Achala datang. Kakak ipar Lintang pun tak kalah antusias menyambut Achala. Achala duduk di sofa sebelah Ibu Lintang.
"Kok lama? Ibu sudah dari tadi nunggu kalian, ibu juga udah dari pagi telepon Lintang untuk ke sini," ucap Ibu Lintang pada Achala.
"Aku banyak kerjaan kantor, Bu." Lintang tiba-tiba menimpali, Achala terkesiap saat tubuh Lintang merapat duduk di sebelahnya, lengannya menyelinap di punggung Achala.
Sejak awal menikah hingga sekarang, Lintang tidak pernah melakukan ini. Jangankan duduk bersebelahan seperti ini, menatap wajah Achala saja mungkin tak lebih dari lima detik.
"Acha sama Lintang sudah datang, ayo kita makan malam. Sudah hampir jam delapan malam ini," titah Ayah Lintang.
Lagi-lagi Achala terheran saat Lintang mengambil posisi duduk di sebelahnya pada meja makan, menyodorkan piring kosong untuk diisi nasi dan lauk pauk.
"Ambilin aku, Sayang."
Achala memicingkan matanya, dia sadar Lintang pasti sedang berakting di depan keluarganya. Namun, rasanya ini semua terlalu berlebihan. Lintang memang akan berpura-pura seolah rumah tangganya baik-baik saja di depan keluarganya, keluarga Achala atau rekan kerja, tetapi tetap saja menjaga jarak, terlebih dengan panggilan sayang.
Achala tersenyum saat netranya beradu dengan milik ibu mertuanya. Wanita paruh baya itu tidak punya pilihan selain ikut tersenyum. Namun, senyumnya mengisyaratkan sesuatu. Ibunya tahu semua yang terjadi pada rumah tangga anak menantunya satu ini.
***
Achala beberapa kali mengembuskan napas, hari pertama kerja cukup membuatnya lelah. Dari mulai bekerja sampai pulang kepalanya masih dipenuhi kejadian tadi siang, tentang pertemuan kembali dirinya dan Lintang. Sejauh apa yang bisa Achala tangkap dari matanya, Lintang tidak banyak berubah, selain perawakannya yang semakin matang.
"Kok, aku bego banget, sih. Kenapa nggak tanya dulu sama Om Yanto. Perusahaan ayah masih menjalin kerja sama atau nggak sama perusahaan papa." Achala bergumam sendiri.
Kepalan pada kemudi kian mengetat. "Kalo tahu Mas Lintang ada di sana, mending aku tetep di Inggris deh, kerja di sana. Biarin perusahaan papa dijalankan Om Yanto."
Achala terus saja mengomel, menggerutu pada keadaan sampai dentuman di belakang menghentikannya. Mobil yang akan dia parkirkan itu menabrak belakang mobil milik orang lain.
Achala menganga, kemudian wajahnya berubah meringis dengan apa yang baru saja dia lakukan.
"Astaga. Sial banget, sih, hari ini. Udah ketemu mantan, malah nabrak mobil orang."
Achala turun, mobilnya belum bisa disebut terparkir karena belakang kendaraannya masih bersinggungan dengan mobil orang lain.
"Mobil siapa ya ini. Haduh, belum juga dapat gaji pertama. Udah ganti rugi mobil orang," ucap wanita itu berlebihan. Padahal tanpa gaji pertama pun, jangankan membayar ganti rugi. Untuk membeli mobil baru pun, uang saku dari orang tuanya cukup.
Achala tampak bingung menatap bergantian mobilnya dan mobil BMW hitam itu. Dia jelas tahu mobil mewah ini tidaklah murah, pasti pemiliknya bukan orang sembarangan.
Achala mengeluarkan ponselnya, memotret nomor kendaraan tersebut. Tungkainya dibawa menuju pos sekuriti apartemennya. Pria muda dengan setelan seragam khas penjaga keamanan menyapa Achala ramah.
"Ada yang bisa dibantu, Bu?" tanyanya.
Achala tampak kikuk harus mulai dari mana bertanya. "Hmm ... begini, Mas. Tadi di basemen saya nggak sengaja nyenggol mobil MBW hitam, kalau boleh tahu pemiliknya siapa ya? Saya mau ganti rugi."
"Bisa sebutkan plat nomor mobilnya, Bu?"
"Ah, iya. Tadi saya sempat motonya. Ini, Mas." Achala mengangsurkan ponselnya.
Pria itu mencatat nomor yang tertampil di sana, entah apa yang dia kerjakan. Tangannya mengetik sesuatu pada keyboard komputer, matanya fokus pada layar.
"Oh, ternyata punya mas ini."
Achala tampak penasaran dengan apa yang diucapkan sang sekuriti. "Punya siapa, Mas?"
"Saya catatkan saja ya, Bu. Pemilik mobilnya laki-laki, mas itu ramah kok, Bu. Mudahan bisa diselesaikan dengan kekeluargaan ya, Bu."
Sang sekuriti mencatatkan sebuah nomor unit apartemen dan no telepon pemilik mobil yang Achala tabrak, lalu memberikan potongan kertas itu pada Achala. Mata Achala membesar saat membaca yang tertera di sana.
Astaga. Ternyata pemilik mobilnya itu tinggal di sebelah unitku. Kebetulan banget.
"Terima kasih ya, Mas," ucap Achala pada sekuriti.
Sepanjang perjalanan menuju unitnya, Achala mendial nomor ponsel si pemilik mobil. Namun, panggilan Achala tidak mendapatkan jawaban.
"Kirim pesan aja dulu, deh."
Selamat malam, saya Achala Annandhita yang tinggal di unit 307 bersebelahan dengan unit Bapak. Maaf sebelumnya, saya tidak sengaja menabrak belakang mobil Bapak. Apakah Bapak punya waktu? Kita bicarakan ganti rugi.
Lama Achala menunggu, pesan yang dia kirimkan pun hanya dibaca oleh penerima. Suara dentang lift terbuka, langkah Achala bergegas menuju tujuannya. Tangannya menekan bel yang ada di sana.
Ada perasaan gugup, tetapi harus Achala tepis. Semua memang salahnya yang tidak fokus memarkirkan mobil hingga bisa terjadi seperti ini. Achala masih menunggu pemiliknya di ambang pintu.
Pintu bergerak keluar, tanda pemilik membukanya untuk Achala. Mata Achala membulat, telapak tangannya membekap mulutnya. Tidak percaya dengan sosok yang baru saja keluar dari unit yang bersebelahan dengannya.
"Mas Lintang?"
Ya, pria pemilik mobil beserta yang tinggal bersebelahan dengan Achala adalah Lintang. Pria yang seharian memenuhi kepala Achala atau mungkin ke depannya akan memenuhi kisah cerita Achala—lagi.
Tanjung Enim, 22 Maret 2021
Republish 09 Oktober 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top