6 🌐 Dipertemukan Takdir
🌍🌍🌍
Patrikor yang menguar menyapa indera penciuman Achala. Netranya masih menatap kosong rerumputan yang tumbuh di halaman belakang, gerakan ayunan yang sedang dia naiki mulai pelan. Achala menghempaskan napas gusar, merenungi segala yang terjadi pada kehidupan rumah tangganya.
Achala tidak pernah sekalipun menyalahkan orang tuanya ataupun orang tua Lintang, yang telah menjodohkan mereka. Wanita itu percaya, semua yang terjadi padanya dan Lintang adalah pertemuan takdir. Ia harus ikhlas menjalaninya, termasuk asam pahit takdir itu.
Achala menurunkan kakinya dari ayunan rotan, langkahnya dibawa ke meja kecil yang berada tidak jauh dari pintu penghubung ruang tengah dan halaman belakang. Novel roman kesukaannya tersimpan di sana.
Membaca novel dengan menikmati suasana matahari pagi rasanya cukup menyenangkan bagi Achala. Lembar demi lembar ia habiskan, sesekali senyumnya terbit saat membaca barisan kalimat romantis di sana.
"Andai kehidupan rumah tanggaku seperti di dalam novel," gumam Achala menutup novel pada pangkuannya.
Deru mesin mobil terdengar memasuki halaman depan, Achala bergeming sesaat, berusaha menebak siapa kira-kira yang bertamu sepagi ini, bahkan saat matahari pun belum seutuhnya meninggi.
"Mas Lintang? Ah, nggak mungkin."
Achala menebak meski ragu, pasalnya pria itu semalam berkata ia akan tinggal di apartemen untuk beberapa hari ke depan.
Tidak, Lintang tidak berniat memberitahu itu semua karena ia takut Achala khawatir menunggunya di rumah. Melainkan, semua itu agar Achala bisa menjawab di mana keberadaan Lintang jika ditanya keluarganya. Padahal, tanpa diberi tahu pun Achala sudah sering berbohong jika menyangkut demi menutupi tentang keberengsekan Lintang.
Langkah Achala tergesa ke ruangan depan. Matanya terbelalak mendapati Lintang yang baru saja masuk, dilihatnya tangan Lintang melonggarkan belitan dasi di lehernya.
"Ma-mas Lintang," lirih Achala memanggil.
Lintang hanya berlalu, Achala berlari kecil menyamakan langkahnya dengan Lintang. "Mas Lintang mau mandi? Aku siapkan air hang—"
Achala terkejut, wajahnya hampir saja menabrak punggung Lintang. Pria itu berbalik secara tiba-tiba, menatap Achala tanpa ekspresi.
"Berhenti ngikuti aku! Aku muak dengan kamu. Mending kamu siapkan aku sarapan, setelah sarapan siap kamu menyingkir. Jangan menampakkan muka di hadapanku," titah Lintang kemudian dengan nada penuh penekanan.
Achala berbalik bergegas menuju dapur, segera sibuk dengan kegiatan menyiapkan sarapan untuk Lintang. Tiga puluh menit berlalu, selesai juga pekerjaannya. Achala melemparkan pandangannya ke arah tangga, belum ada siluet Lintang turun dari kamarnya.
Langkah ia ayunkan menuju lantai atas, niatnya hendak memberitahu Lintang jika sarapannya sudah siap di meja makan, tetapi baru saja Achala mengangkat tangan berniat mengetuk. Suara benda jatuh membuat gerakan Achala refleks masuk ke kamar Lintang tanpa izin. Achala terkesiap saat netranya menangkap Lintang terhuyung dengan memegang kepalanya.
"Mas Lintang, kenapa? Mas Lintang sakit? Kita ke dokter, ya?" tanya Achala cepat dan penuh rasa khawatir.
Lintang tidak menjawab pertanyaan Achala, jarinya memijat pelipis dengan mata memejam. Achala memberanikan diri, menyentuh bahu Lintang.
"Mas," panggilnya.
Lintang menyentak tangan Achala sekuat mungkin, tatapan tajamnya menghujam hingga ke ulu hati Achala.
"Jangan lancang, ingat posisi kamu di si—"
"Hanya peran pengganti?" potong Achala cepat. "Memangnya aku nggak bisa dianggap sebagi istri, ya, Mas?"
"Kenapa kamu bebal, sih, Achala. Tidak! Tidak akan pernah bisa," tegas Lintang membuat jantung Achala teremas nyeri.
Dengan cepat, Achala membalik tubuhnya. Menyembunyikan butiran bening yang siap meluncur jatuh. Achala tergesa ke pintu keluar, tangannya gemetar meraih gagang pintu kamar Lintang.
***
Langkah pasti Achala ayunkan, mulai hari ini, dia akan mulai bekerja pada perusahaan peninggalan ayahnya. Blazer cokelat susu dengan rok warna senada di atas lutut, high heels lima senti, turut menyempurnakan penampilan Achala.
"Selamat pagi. Selamat datang keponakan om," sapa seseorang yang baru saja datang.
Achala menoleh, tersenyum lebar saat matanya beradu pandang dengan pria yang tingginya mencapai 175 cm, kacamata bulat membingkai wajahnya, rambutnya yang tebal sudah mulai dihiasi berwarna putih.
Achala bergegas mengulurkan tangannya. "Apa kabar, Pak Yanto?"
Pria di hadapan Achala terkekeh renyah mendengar sapaan yang Achala lontarkan. "Kamu ini seperti sama siapa saja. Udah panggil aja om, nggak apa-apa."
"Nggak bisa gitu dong, Om. Eh, Pak. Kita harus profesional," protes Achala.
"Iya. Iya, terserah kamu saja ya, Ibu Achala Annandhita."
Achala mendelik saat namanya diberi embel 'Ibu'. "Acha harus terbiasa dengan panggilan ibu mulai dari sekarang," ucap Achala mengangguk.
"Iya, dong. Harus profesional," tandas Om Yanto sedikit menyindir.
"Ya sudah, ayo kita ke ruang meeting, mungkin karyawan dan kolega sudah berkumpul menunggu kedatangan pimpinan baru," ujar Om Yanto.
Achala dan Om Yanto berjalan bersisian, ada beberapa orang mengikuti langkah mereka. Sapaan dari karyawan terus bergantian saat mereka bertemu atau berpapasan.
"Om Yanto keren, ih. Semua karyawan menghormati. Sepertinya jadi pimpinan yang baik, nih." Achala menggoda pria di sampingnya.
Om Yanto hanya tersenyum. Adik kandung dari ayahnya ini adalah satu-satunya orang yang sangat Achala percaya.
Mereka masih berdiri di depan lift, menunggu pintu itu terbuka agar bisa membawa mereka ke lantai dua puluh, tempat di mana rapat pertemuan akan digelar.
"Kamu kenapa nggak di sini aja sih, Cha. Biarin om yang ada di anak perusahaan," ucap Om Yanto di sela acara menunggu.
Suara berdentang terdengar, pintu lift terbuka setelah lima menit mereka menunggu. Achala dan Om Yanto masuk ke ruang sempit itu.
"Acha di anak perusahaan aja, Om. Kalau Om yang di sana nanti Om repot mesti adaptasi lagi, mending Acha aja yang beradaptasi."
"Kamu ini, ada saja jawabannya. Baiklah kalau gitu."
Om Yanto memutar tubuhnya menyamping, bersedekap di depan Achala. "Kamu weekend harus ke rumah, ya. Tante sama adik-adikmu kangen kamu. Jangan banyak alasan, om nggak terima penolakan."
Achala terkekeh. "Iya, Om. Nanti Acha ke rumah. Acha juga kangen sama Tante Ervina, adik-adikku. Oh, iya Audrey pasti udah gede."
"Audrey mungkin sudah tidak kenal kamu lagi," celetuk Om Yanto.
Audrey adalah anak dari Arika, adik sepupu Achala—anak tertua Om Yanto. Pernikahan Arika dan Achala hanya berjarak satu minggu. Dalam kurun waktu yang hampir bersamaan, tetapi menghasilkan cerita pernikahan yang bertolak belakang.
Suara berdentang terdengar lagi, kali ini pintu terbuka pertanda mereka sudah sampai di lantai dua puluh. Tempat tujuan mereka. Achala tampak menarik napas panjang, mengembuskan kasar, sejujurnya ia sangat gugup. Om Yanto menepuk bahu Achala, menyalurkan semangat pada keponakan tersayangnya.
"Semangat. Om yakin kamu bisa, Cha." Achala mengangguk.
Langkah mereka sudah berada di depan pintu besar, seorang pria dengan jas rapi membukakan pintu untuk mereka.
"Selamat datang, Pak, Bu. Semua sudah menunggu kehadiran, Bapak dan Ibu," sapa pria itu seraya membuka lebar daun pintu.
Benar saja, di dalam ruangan tersebut sudah hampir dipenuhi oleh rekan bisnis, manajer dari divisi masing-masing, dan staf karyawan. Mereka duduk mengelilingi meja persegi panjang. Om Yanto mengambil posisinya yang sudah disiapkan, sementara Achala duduk di kursi samping kanan pria itu.
Mata Achala terbelalak saat netranya beradu dengan milik seseorang yang duduk di hadapannya. Manik kelam nan tajam yang sudah lama tidak Achala lihat.
Tatapannya masih sama dari terakhir kali Achala lihat di persidangan perceraian mereka. Ya, sepasang mata tajam bak elang mengintai mangsa itu milik Jibran Lintang Darmawan. Mantan suami Achala, orang yang mati-matian ingin Achala hindari, tetapi takdir mempertemukan kembali.
Tanjung Enim, 15 Maret 2021
Revisi 06 Oktober 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top