4 🌐 Jakarta-Bandung

Bantu Achala menentukan pilihan. Caranya spam komen di Instagram aku : Literasi.zero4bee_
Jangan lupa difollow, ya, Bestie royal dan loyal 💙

***

Achala mendorong troli belanjaannya, melangkah dengan sangat pelan, takut jika yang dia cari terlewat. Ia menyusuri lorong di antara rak-rak besar, matanya nanar menyapu tiap rak yang ada di hadapannya. Belanja bulanan untuk kebutuhan sehari-hari sering dia lakukan sendiri.

Ia berjongkok di depan sebuah rak peralatan mandi, memilih sabun mandi yang biasa Lintang pakai. Achala berdecak samar, teringat betapa cerewet suaminya itu dalam hal yang biasa dia gunakan. Contoh kecil seperti sabun mandi, pasta gigi, atau detergen sekalipun.

Tiga hari menjadi istri Lintang, Achala pernah mengganti sabun mandi Lintang dengan alasan ingin mencoba varian baru yang menurutnya lebih wangi dan segar, cocok sekali untuk Lintang. Namun, niat baik Achala sama sekali tidak dihargai, justru berakhir dengan Lintang yang membanting pintu kamar mandi. Kemarin, Achala salah menyimpan sabun mandi Lintang di kamar mandinya. Berakhir dengan pria itu mengurungkan niatnya untuk mandi dan meninggalkan rumah.

Achala tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama untuk ke tiga kalinya, sebisa mungkin akan memilih sesuai merek, varian yang Lintang biasa gunakan. Memeriksa dan mengganti ulang keperluan kamar mandi pria itu.

Tangan wanita itu sudah meraih dua botol ukuran besar sabun cair, beberapa pasta gigi dan sikatnya. Ia bangkit dari posisinya, menyimpan barang yang dia ambil ke dalam troli belanjaannya.

"Eh, Mbak Acha. Belanja bulanan, Mbak?" sapa seseorang dengan suara lembut.

Achala menoleh, mendapati wanita paruh baya berdiri di sampingnya. Mendorong troli berisi belanjaan sama sepertinya, bahkan hampir penuh.

"Iya, Bu Dian," sapa balik Achala.

Wanita yang Achala sapa dengan panggilan Bu Dian itu tersenyum ramah. Tidak ada alasan bagi Achala untuk tidak membalas dengan ramah pula.

"Mbak Achala nggak capek? Semalem ada di Bandung. Eh, pagi ini udah belanja bulanan, sendirian lagi."

Achala mengeryitkan dahinya, masih belum paham maksud dari ucapan Bu Dian. Ia mengenal Bu Dian karena sering bertemu saat ada acara pertemuan perusahaan. Suami Bu Dian salah satu kolega di perusahaan ayah Achala—yang sekarang sedang diambil alih sementara oleh Lintang.

"Suami saya sudah dua hari ada kerjaan di Bandung, ada proyek baru yang mesti ditangani langsung katanya. Sama Mas Lintang juga, 'kan? Suami saya telepon, cerita, semalem lihat Mas Lintang sama Mbak Acha di hotel tempat mereka menginap, tapi katanya samar itu Mbak Acha apa bukan. Maklumlah Mbak, mata suami saya sudah faktor U." Bu Dian menutup mulutnya diiringi kekehan dalam telapak tangannya.

Achala hanya mengangguk, tersenyum pahit. "Iya, Bu. Itu saya," kilah Achala.

Masih menahan degupan kencang dari dadanya. Bodoh! Achala tidak mengetahui jika suaminya di Bandung, yang dia tahu mungkin suaminya pulang ke apartemen setelah kejadian sabun mandi. Di sini ia membebani pikirannya dengan rasa bersalah, merasa tidak becus menjadi istri. Namun, ternyata semua hanya alasan semata agar pria itu bisa pergi tanpa harus repot-repot memberitahu Achala.

Lagi pula, sejak kapan Lintang berpamitan pada Achala jika akan berpergian, bahkan Achala pernah tak sengaja mendengar percakapan Lintang dan kekasihnya, justru suaminya itu berpamitan pada wanita yang bukan halal baginya saat akan keluar kota.

Achala mengencangkan cengkeraman pada pegangan troli. Dia jelas tahu, siapa wanita yang dibawa Lintang ke Bandung, yang dilihat suami Bu Dian. Siapa lagi kalau bukan kekasih Lintang. Sungguh peran istri yang menemani suami yang harusnya Achala lakukan, sudah benar-benar diganti oleh wanita kesayangan Lintang.

***

Mobil Achala yang dikendarai oleh Affandra berhenti di tengah kemacetan Kota Jakarta. Merangkak pelan mencari jalan keluar dari kepungan kereta besi yang lain. Suara bersahutan dari kendaraan lain turut membuat suasana kian riuh. Belum lagi dari klakson yang membahana mengetuk gendang telinga. Setelah berbelanja perabotan, mereka memutuskan segera pulang ke apartemen, menunggu mobil angkutan mengantarkan belanjaannya.

Achala menatap ke luar jendela, memperhatikan beragam kegiatan yang disajikan di sana. Ia menarik napas panjang, menghela dengan perlahan.

"Jakarta nggak banyak berubah, ya, Fa? Masih aja macet kayak dulu," ujar Achala tiba-tiba.

Affandra menoleh ke kiri, mendapati Achala yang masih menatap ke luar jendela. Entah apa yang menarik dari luar sana. Affandra tidak menggubris ucapan serupa pertanyaan itu. Dia kembali fokus pada setir dan jalan di depannya, takut jika tidak fokus dan hati-hati akan menimbulkan jenaka untuk dirinya atau pun orang lain.

"Kira-kira ... setelah lima tahun aku tinggalkan, dia berubah nggak ya, Fa?"

"Kamu ngomong apa, Acha? Siapa yang kamu maksud?"

Affandra tidak menoleh, hanya menyahuti pertanyaan Achala yang tidak tahu arah pembicaraannya ke mana. Achala menarik senyum getir, dia menoleh ke kanan, mendapati Affandra yang masih seperti kegiatan sebelumnya.

"Nggak, kok. Bukan siapa-siapa. Cuma tukang bubur yang biasa kita beli setiap pagi," jawab Achala asal.

Sejenak Affandra memalingkan wajahnya, matanya bertemu dengan manik kecokelatan milik Achala. Tidak begitu lama, hanya beberapa detik.

"Kamu mau makan bubur, Cha? Nanti kita bisa cari kedai bubur sebelum ke apartemen kamu."

"Nggak usah, Fa. Aku nggak pengin bubur, kok."

Affandra mengangguk-angguk mengerti. "Ya, terus mau apa? Seblak mau seblak?"

"Seblak itu makanan, Fa?"

Affandra menggeleng meremehkan pertanyaan Achala. "Gini, nih. Kalau orang Inggris pulang kampung. Mana tahu makanan beginian."

"Apaan, sih, Fa. Aku kan bener-bener nggak tahu." Achala merenggut memalingkan wajahnya lagi ke luar jendela.

Selanjutnya tidak ada obrolan di antara mereka, Affandra kembali fokus ke depan. Sesekali jarinya mengetuk-ngetuk setir. Dengan lihainya memutar kemudi ke arah kanan, memasuki kawasan apartemen yang terletak di Kebayoran Lama Utara, Jakarta Selatan.

Affandra membawa mobil Achala menuju basemen apartemen. Helaan napasnya sesaat terdengar di rungu Achala.

"Kamu tahu nggak, Cha? Aku rasa hari ini dari Bandung-Jakarta aku kebanyakan terjebak macet, deh," ucapnya sembari mencari tempat untuk parkir.

Affandra melepas kunci kontak saat mobil dirasa sudah terparkir di tempat yang benar. Ia melepaskan seat belt di tubuhnya, mengubah posisi duduknya menjadi menyerong menghadap Achala.

"Cha," panggilnya.

Achala melirik Affandra, masih sibuk melepas sabuk pengaman dan memasukkan ponselnya pada tas kecil miliknya.

"Kenapa, Affa?"

"Ini aku nanti pulang gimana, Cha? Aku kan nggak bawa mobil."

"Taksi kan banyak, Affa. Tinggal buka di aplikasi online."

"Besok libur loh, Cha." Affandra masih berbicara yang tidak dimengerti oleh wanita itu.

Achala menghadap Affandra. "Ya terus kalau libur kenapa, Affandra Bujur Putra?"

Affandra berdecak. "Sudahlah! Emang nggak peka cewek satu ini." Affandra melipat tangan di depan dada. "Kamu nggak ada niatan nawarin aku nginep di apartemen kamu? Aku bisa bantuin kamu beres-beres kok," tawar Affandra.

"Nggak! Nggak ada acara nginep-nginep. Kamu pulang kalo udah selesai," ketus Achala.

Affandra terkekeh. "Galak banget, sih, Cha. Di Inggris kan biasa hal kayak gini. Nginep di apartemen cowoknya atau temennya, meskipun lawan jenis."

"Itu di Inggris, sekarang di Jakarta. Beda! Ingat ya, kita bukan mahram."

"Ya udah, aku halalin kamu sini," canda Affandra.

"Ngomong apa, sih. Dikata ngehalalin anak orang kayak beli kacang goreng. Ayo turun. Aku tinggal nih." Candaan Affandra justru mendapat pelototan tajam dari Achala.

Mereka bergegas turun menuju lift yang akan membawa mereka ke lantai lima belas. Affandra berdecak kagum pada bangunan mewah ini, sejak kecil mengenal Achala dan keluarganya, jelas Affandra mengetahui perekonomian orang tua Achala. Mengeluarkan uang untuk menyewa, bahkan membeli satu unit apartemen tidaklah sulit.

Achala merogoh kunci serupa kartu untuk membuka unit apartemennya. Melangkah pelan memasuki ruangan luas, Affandra tidak ada pilihan lain selain mengikuti Achala.

"Cha, ini apartemen udah lama kamu beli?"

"Bukan aku yang beli, tapi papa. Dulu ini hadiah ... pernikahan."

Mimik muka Achala berubah saat menyebutkan kata pernikahan. Seolah menabur garam pada luka lama yang mungkin hampir sembuh. Affandra jelas mengetahui perubahan air muka Achala. Affandra berlari kecil menjelajahi setiap ruangan, dengan heboh mengagumi apa yang matanya lihat di apartemen Achala.

Kakinya bergerak ke pintu besar yang terbuat dari kaca tebal. Affandra membuka tabir gorden, menampilkan langsung lanskap malam Kota Jakarta. Tungkai Affandra bergerak ke balkon, berdiri di pinggir pembatas. Pria itu berdiri di pagar pembatas balkon, mendongak menikmati angin berembus dengan langit yang mulai gelap sebagai latarnya. Kepalanya meneleng, balkon apartemen Achala bersebelahan dengan unit di sebelahnya. Hanya berjarak sekitar satu meter.

"Cha, unit sebelah kira-kira kosong nggak, ya?"

Achala menghampiri Affandra, menyandarkan tubuhnya di pintu penghubung. "Emangnya kenapa kalau kosong?"

"Mau aku sewa. Biar nanti kalau aku pulang ke Jakarta, aku bisa pulang ke sini." Affandra terkekeh. "Atau aku pindah kerja di Jakarta aja kali ya, Cha. Biar nggak bolak-balik Bandung-Jakarta."

Achala memicingkan matanya, tersenyum miring mendengarkan celotehan sahabatnya ini. Achala kembali masuk, Affandra berlari kecil menyusul Achala.

"Tapi kayaknya, aku nggak akan mampu bayar sewa apartemen di sini, deh. Apartemen mewah kayak gini, pasti mahal, ya, Cha?"

Achala mengangkat bahu, dia tidak tidak begitu paham berapa harga sewa apartemen. Dia memutuskan tinggal di apartemen pun, karena dekat dengan kantor tempat ia akan bekerja.

"Daripada kamu mikirin yang nggak guna, mending bantuin aku," ujar Achala yang sudah menyingkirkan kain putih yang menutupi beberapa perabotan.

Affandra mematuhi titah Achala, membantu wanita itu menata barang, memindahkan perabotan yang—susah ada —menurut Achala salah tempat, mengangkat barang berat yang sekiranya tidak mampu Achala angkat, meski seluruh kekuatannya sudah dikerahkan semua.

Lelah dengan kegiatan itu semua, Affandra merebahkan tubuhnya pada sofa. Tangannya disimpan di dahi, matanya terpejam. Affandra mencoba beristirahat sejenak, sementara Achala masuk ke kamarnya, memindahkan baju-bajunya dari koper ke lemari. Menyusun peralatan kantornya pada meja kerja. Semua Achala lakukan hingga selesai dan rapi.


Tanjung Enim, 26 Februari 2021
Republish, 04 Oktober 2021

RinBee 🐝
030923

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top