33. 🌍 Free
Warning ⚠️ Bab ini membutuhkan kelegalan usia 21+
🌍🌍
Guyuran air shower yang dingin tak jua membuat kepala Lintang tenang. Sudah hampir seperempat jam pria itu di dalam kamar mandi, berharap perkataan Achala tentang perceraian lenyap dari benaknya. Ya, kalimat Achala itu cukup menganggu kinerja otaknya.
"Sialan!" Lintang mengumpat, tangannya yang berpegangan di dinding terkepal kuat. "Baik, itu yang dia inginkan. Akan aku kabulkan!"
Pria itu bergegas menyudahi aktivitas membersihkan diri, mengenakan pakaiannya dengan dada yang bergemuruh hebat, rahangnya mengeras membayangkan wajah Achala yang menuntut kalimat talak darinya.
Mungkin keputusan ini sudah benar sesuai perjanjian yang pernah mereka sepakati, bahwasanya pernikahan mereka atas dasar urusan bisnis, hanya batas jika Ayah Achala sembuh atau perusahaan keluarga Lintang membaik. Sekarang sang ayah mertua sudah tiada, itu artinya perpisahan sudah di depan mata. Achala akan bebas dari belenggu yang Lintang berikan.
Lintang menuruni anak tangga, otaknya penuh dengan talak berapa yang akan ia berikan pada Achala. Satu atau talak tiga sekaligus? Agar wanita itu puas bebas dari Lintang. Ya, talak tiga akan lebih cocok hadiah untuk Achala malam ini.
Pria itu berdiri di ambang pintu kamar Achala, menghela napas sejenak. Sepertinya tidak perlu basa-basi lagi. Jika itu yang Achala inginkan, malam ini ia akan kabulkan. Lintang mengayunkan tangannya, mengetuk pintu berwarna kecokelatan di hadapannya.
Pintu berderit, tertarik ke dalam. Achala dengan piama panjang merah muda, kepalanya masih terlilit handuk. Bisa ditebak jika wanita itu pun baru selesai mandi.
Netra Achala menelisik Lintang yang berdiri di depannya, belum ada perkataan atau pergerakan dari Lintang. Tiga menit berlalu sia-sia, wanita itu meraih gagang pintu hendak menutupnya kembali.
"Cha," panggil Lintang seraya menahan pintu agar tidak tertutup. "Hmm ... mas ada keperluan mendadak di luar. Kamu makan malam sendirian aja. Mas mau keluar."
Pengecut! Ke mana rangkaian kalimat "saya talak kamu dan mulai sekarang kamu bukan lagi istriku" yang ada di benak Lintang. Kenapa justru berubah menjadi kalimat meminta izin. Lintang takut mengeluarkan kalimat mengerikan itu? Atas alasan apa?
Achala tidak menjawab. Memangnya ia harus apa? Merengek agar Lintang tidak jadi keluar dan makan malam bersamanya? Toh, selama ini pun pria itu tidak pernah meminta izin padanya. Seperti yang sering pria itu ucapkan jika keberadaan Achala hanya peran pengganti bukan istri.
Wanita itu masih bergeming, tidak mengangguk tidak pula mengeluarkan suara. Lintang menggeram samar, matanya terpejam sesaat. Tangan Lintang meraih tangan wanita yang sudah satu minggu ini mendadak menjadi penyandang disabilitas tuna wicara.
"Salim dulu sama suaminya, Acha."
Kepala Achala sedikit terhuyung ke belakang karena pergerakan paksa mencium punggung tangan Lintang. Wanita itu tidak terima, gegas ia menarik diri memutar tubuh dan membalas, "Mantan suami. Sebentar lagi."
Achala menyahuti tanpa emosi, bahkan terkesan datar. Namun, berbanding terbalik dengan Lintang. Ubun-ubun pria itu kembali mendidih. Ia pun berbalik, sudah kepalang tanggung berbohong tentang ada urusan di luar. Lintang meraih kunci mobilnya di atas nakas ruang tengah, berjalan penuh emosi ke garasi mengeluarkan mobilnya.
"Achala sialan!" umpat Lintang menginjak pedal gas dalam.
Kecepatan mobilnya di atas rata-rata, cengkeraman pada kemudi kian kencang. Emosi Lintang benar-benar membumbung tinggi, ia butuh obat penenang. Mobil Lintang sudah melaju sedikit melamban, pada persimpangan berjarak tiga puluh meter, pria itu memberi aba-aba melalui lampu sein yang menyala kemudian memutar kemudi berbalik arah.
Dentuman pintu mobil yang dibanting terdengar nyaring di basemen sebuah apartemen. Berjalan menuju lift dengan emosi yang belum juga mereda, Lintang tidak tahu untuk apa ia ke apartemen Trishia. Orang yang sempat ia lupakan karena seorang Achala Annandhita yang cukup menyita perhatian hatinya.
Malam ini ia butuh Trishia, bahkan Lintang saja tidak tahu arti dari wanita itu sekarang. Trishia sebagai obat penenang di kala gundahnya atau hanya pelampiasan nafsu belaka.
Menekan satu per satu angka pada pintu. Akhirnya, pintu apartemen sang kekasih terbuka. Netra Lintang mengedar seraya berjalan menyusuri setiap ruangan.
Trishia lagi free? Tidak ada jadwal pemotretan.
Lintang menarik kesimpulan demikian, melihat ruang tengah cukup berantakan dengan bekas kaleng minuman dan satu botol wine di atas meja pantry.
Wanita berprofesi sebagai model itu cukup Lintang pahami kebiasaannya. Pernah sama-sama hidup di Amerika, kebebasan budaya barat cukup berpengaruh pada mereka. Termasuk berhubungan tanpa status perkawinan pun bukan hal tabu bagi mereka. Trishia dan Lintang salah satu penganut budaya barat itu.
Semakin dalam pria itu masuk menjelajahi apartemen Trishia, semakin kuat pula kepalan tangannya. Rahangnya mengeras, Lintang tak mau memikirkan hal ini, tetapi adegan kotor itu terus berdesakan di otaknya.
Jeritan dan lenguhan isyarat akan kenikmatan surgawi semakin ia dengar jelas dari kamar Trishia. Lintang tahu itu suara Trishia, tetapi yang tidak ia ketahui adalah siapa pelaku yang membuat kekasih hatinya bertekuk memuja pada permainan menjijikkan itu.
Mata Lintang kian membesar melihat wanita pujaannya terus melontarkan kalimat kenikmatan memuja sang pria. Dari sekian banyak tempat, bahkan ranjang luas yang nyaman pun tersedia. Kenapa harus di sana? Apakah sensasi di tempat itu akan terasa lebih menyenangkan.
Trishia bertumpu pada kaca jendela apartemen yang menampilkan lanskap malam Kota Jakarta. Tubuh atas wanita itu masih dibalut dengan lingerie hitam favoritnya, begitu pula dengan sang pria. Masih mengenakan kemeja yang sudah tidak beraturan.
Semakin kencang pergerakan sang pria di belakang Trishia, semakin menjadi pula jeritan wanita itu. Ini gila. Lintang benar-benar kehabisan akal dengan apa yang wanita itu lakukan padanya. Ia tahu ia berengsek, mengkhianati pernikahan sakral bersama Achala. Namun, setidaknya saat melakukan bersama Trishia, ada rasa cintanya yang begitu dalam pada wanita itu. Ada rasa takut kehilangan yang begitu besar.
"Bajingan!"
Lintang sudah tidak tahan, mau sampai kapan ia menjadi kambing congek menyaksikan pergumulan panas dua orang di hadapannya. Lintang menarik kemeja pria tinggi di hadapannya, tubuh pria itu terjerembab di lantai.
Satu pukulan Lintang layangkan pada rahang yang tak ia ketahui siapa namanya. Jangankan nama, melihatnya saja baru kali pertama. Hal yang membuat Lintang lebih meradang adalah pria ini berbeda dengan yang pernah ia lihat waktu itu. Kali ini sedikit berumur dengan perawakan khas keturunan arab.
"Lintang!" Trishia terjerit dengan manik menggeram kesal.
Mungkin ia tidak terima saat permainannya hampir mencapai puncak harus terhenti karena gangguan seseorang.
"Berengsek! Berani-beraninya, Anda menyentuhnya. Fuck!"
Pria yang menjadi lawan bermain Trishia itu sempat membalas pukulan Lintang, sudut bibir Lintang robek. Darah segar merembes di sana.
Lintang semakin membabi buta melayangkan pukulan bertubi pada pria yang berada di bawahnya, tak menghiraukan jika pria itu dalam keadaan setengah pingsan. Kedua tangannya menarik kuat kerah baju lawannya, mencoba membanting tubuh pria itu ke dinding kaca. Namun, suara Trishia menginterupsi dari kegiatan menghabisi pria asing di antara mereka.
"Lintang, setop! Please, kamu nggak boleh ngelakuin itu!" teriak Trishia.
Lintang menoleh pada sosok wanita yang entah sejak kapan melilitkan selimut pada bagian bawah tubuhnya. Lintang beranjak, mendekati Trishia dengan wajah pucat pasinya.
"Setop? Tidak boleh? Kenapa? Kenapa aku tidak boleh menghabisi pria bangsat ini, Trishia!"
"D-dia bosku di agensi, Lintang. Aku nggak mau karirku hancur," cicit Trishia.
"Terus? Kamu lebih memilih menghancurkan aku? Persetan dengan karir kamu, Trishia. Karirmu akan hancur pun, demi Tuhan aku yang akan menjamin kehidupanmu." Lintang mencengkeram kedua bahu wanita itu.
"Aku bebas melakukan ini, Lintang. Kamu tidak punya hak melarang aku."
Lintang berdecih, tangan kanannya mengapit dagu Trishia. "Apa kamu bilang? Kamu bebas melakukan ini? Apa artinya aku dalam hidup kamu, Trishia! Aku mencintaimu, bahkan selama ini tidak pernah menyentuh Acha secara sadar demi menjaga perasaanmu."
Trishia diam, tidak berani menjawab sepatah kata pun. Lagi-lagi Lintang berdecih kencang, jari-jarinya menarik rambutnya secara kasar.
"Kamu sudah menidurinya, Lintang. Kamu sudah berubah, aku bebas melakukan ini."
"You want to be free? Oke, baik aku kabulkan. Now we break up, Bitch!"
Selesai mengucapkan kalimat yang tidak pernah sama sekali ia rangkai dalam hidupnya. Lintang berbalik, kakinya masih sempat mengayun menendang pria yang tergeletak di lantai dengan wajah penuh lebam itu. Malam ini, ia benar-benar memberi kebebasan pada salah satu wanita dalam hidupnya. Bukan Achala yang ia kira akan bebas, tetapi Trishia. Wanita yang ia cintai mati-matian.
Tanjung Enim, 30 Maret 2022
RinBee 🐝
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top