32 🌐 Tamu (tak) Diharapkan


"Acha ... mama ... aku datang."

Suara Affandra sudah berkumandang sejak memasuki ruang tamu. Semua asisten rumah tangga, tukang kebun, bahkan sopir di rumah Achala sudah tahu bagaimana pertemanan Achala dan Affandra dari dulu. Apalagi mereka yang sudah bekerja puluhan tahun di rumah ini, sudah tidak heran dengan kehadiran laki-laki itu, termasuk Affandra yang ikut memanggil Ibu Achala dengan sebutan "mama".

"Mama ... Acha ... asalamua—astagfirullah kenapa ada makhluk astral di sini!" teriak Affandra terlonjak kaget saat mendapati Lintang duduk di sofa ruang tengah.

"Anda, ada perlu apa ke sini?" Affandra bertanya dengan pongah.

"Saya yang bertanya, tidak adakah sopan santun kamu. Berteriak di rumah orang seperti rumah sendiri."

Affandra tersenyum miring. "Justru ini rumah orang, bukan rumah hantu. Gue bingung kenapa ada makhluk astral di sini."

Lintang berdecak kencang, tidak mau membuat keributan di rumah—mantan—mertuanya. Pria itu kembali menelisik ponselnya, meladeni Affandra bukan tidak mungkin ikut gila.

"Sudahlah. Ngobrol sama tunggul kayu nggak ada guna. Mending ketemu sama Acha dan mama mertua aja." Affandra sengaja menekan kalimat akhirnya.

Pria itu melenggang masuk, masih sama seperti yang ia lakukan tadi—memanggil Achala. Kaki jenjangnya berhenti di pintu penghubung dapur. Sejenak ia memperhatikan aktivitas ibu dan anak yang tidak menyadari keberadaannya.

Affandra melangkah, rasanya sudah cukup bermain bersama imajinasi di kepalanya tentang arti orang yang ada di ujung sana.

"Permisi ... boleh masuk?" ucapnya dengan gaya sopan yang dibuat-buat.

Merasa ada kehadiran tamu yang lain, dua wanita berbeda generasi itu mengalihkan atensinya. Mama tersenyum ramah, menggerakkan tangannya sebagai kode agar Affandra mendekat. Berbanding terbalik dengan Achala, wanita itu tak acuh. Baginya, baik kehadiran Affandra atau Lintang pagi ini, semua tamu yang tak diharapkan untuk ia lihat. Niat hati pulang ke rumah mama mau menghabiskan akhir pekan dengan santai, malah terjebak di acara reunian.

"Cha, kok di depan ada mas-mas batu," ujar Affandra mendekat ke meja pantry.

"Mama yang ngundang," balas wanita itu masih dengan kegiatannya membersihkan daun salada dan lalapan lainnya.

Achala masih sedikit kesal, mama bilang tidak ada Lintang, tetapi nyatanya saat bel berbunyi dengan lantang beberapa saat lalu. Orang yang datang lebih dulu adalah Lintang, bukan ibu dan Ajeng seperti yang mereka bicarakan sebelumnya. Beruntung, mama tidak memaksa Achala untuk menemani Lintang di ruang tengah. Setelah menyuguhi minuman dan makanan ringan, Achala kembali membantu mama di dapur.

Affandra menoleh ke wanita yang lebih tua. "Mau ada acara apa, Ma? Kok, Affa nggak diundang. Mama nggak sayang lagi sama Affa." Pria itu pura-pura merajuk, mengeluarkan ekspresi layaknya anak kecil.

"Bukan gitu, mama juga nggak tahu kenapa Lintang bisa datang. Mama emang ngundang ibu dan mbaknya buat makan siang di sini, tapi, ya, mana mama tahu lebihnya." Mama mengangkat bahu.

"Cha, mau ketemu sama mertua ya?" Affandra menggoda Achala.

"Mantan, Affa!" tegas Achala sembari mengayunkan kaki menuju meja makan, menyimpan piring berisi lalapan ke atas meja.

"Oh, iya mantan. Mertua kamu, kan, nggak jauh dari sini, ya. Cuma beda dua rumah." Affandra menyengir.

Mama mengernyit tidak mengerti maksud dari ucapan laki-laki yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri.

"Siapa toh, Nak?" Mama menoleh ke arah Affandra. "Siapa calon mertua Acha, Fa? Mama belum dikenalin nih."

"Ibu aku." Affandra tergelak tidak tahan melihat ekspresi kepo dari mama. "Mama mau nggak besanan sama ibu aku?"

Mama mematikan kompor, meraih kain lap untuk mengangkat menu utama makan siang mereka. Wanita itu tersenyum lembut.

"Kalau mama, sih. Siapa aja besan sama mantu mama. Asal anaknya baik, bisa mengayomi Acha. Selebihnya ngiring aja."

Affandra menyengir, senyumnya tertarik lebar. Penuturan lembut dari mama membuat dada dan perut pria itu dipenuhi kupu-kupu. Ia bahagia hanya karena tutur sederhana.

"Cha, udah direstui, tuh. Hayuk kapan?"

Achala memutar tubuhnya menghadap Affandra. Belum juga wanita itu membalas ucapan Affandra, suara bel kembali berbunyi nyaring. Mama semringah, beberapa saat lalu ponselnya mendapat kabar jika teman yang ia tunggu-tunggu sudah memasuki kompleks perumahan mereka.

"Nah, itu pasti mereka. Ayo kita ke depan," ujar mama mengajak putri tunggalnya menyambut kedatangan tamu mereka.

Berjalan beriringan, netra Achala lebih dulu ia lemparkan ke sofa di mana Lintang berada. Pria itu pun turut berdiri, berjalan beberapa langkah.

"Itu pasti ibu dan mbakmu, ayo ke depan," ajak mama pada Lintang saat langkahnya sejajar dengan pria itu.

"Iya, Ma." Hanya jawaban singkat yang pria itu ucapkan.

Mama membuka pintu besar dengan tidak sabaran, jangan ditanyakan soal senyum. Sejak bel berbunyi awal hingga pintu sudah terbuka lebar, senyumnya masih saja terkembang.

"Asalamualaikum," ucap yang lebih tua di hadapan mereka.

"Walaikumsalam. Ayo ... masuk, Ajeng masuk sini."

Ajeng tidak menyahuti ucapan mama, ia tergesa memeluk sosok yang sangat dirindukan. Sosok adik perempuan yang sudah lima tahun tak ia lihat keadaannya. Wanita itu menyalurkan rasa rindu dengan memeluk Achala erat, sempat terisak.

"Mbak Ajeng sehat?" tanya Achala mengusap lelehan air mata Ajeng.

"Alhamdulillah mbak sehat. Kamu kejam banget, loh, Cha. Lima tahun mbak nggak ketemu kamu."

Achala tertawa ringan. Ya, katakanlah Achala kejam. Demi menghapus jejak dan kenangan yang sempat—tidak sengaja—ia dan Lintang rajut. Wanita itu pergi ke negeri seberang melanjutkan pendidikan yang sempat tertunda.

Tubuh Achala dipeluk dari samping, dua lengan renta dengan tenaga yang tak seberapa lagi itu memeluknya dengan rasa yang sama. Achala tersenyum lebar, meraih tangan Ibu Lintang untuk ia cium. Mama benar, jika masih berat melupakan yang terjadi di masa lalu, anggap saja ini cara menghormati teman dari mama.

Tak seperti beberapa saat lalu, interaksi Achala dan mantan mertuanya tidak banyak kata yang terucap. Melalui gerak tubuh, yang lebih tua memberi tahu jika ia pun sangat merindukan Achala.

Dehaman Lintang terdengar kemudian disahuti oleh Affandra, membuyarkan adegan mengharu biru antara Achala, Ajeng, dan ibunya. Ajeng menoleh, melayangkan tatapan tidak suka pada sosok tinggi tegap yang sangat ia kenali selama puluhan tahun hidupnya.

"Kenapa kamu ikut ke sini?" tanyanya dengan nada penuh penekanan tidak suka.

"Tania nggak ikut, Mbak?" Achala bertanya tiba-tiba.

Dari cerita sang mama, ia tahu bagaimana hubungan tidak harmonis antara Ajeng dan Lintang. Ia sengaja mengalihkan perhatian Ajeng.

"Kok, kita masih di sini. Ayo ... ayo, masuk. Kita langsung ke meja makan aja. Acha udah masak dari pagi," ujar mama menimpali.

Mereka berjalan beriringan, tangan Achala melingkar di bahu Ajeng. Sesekali mengusap lembut. Tidak bisa Achala pungkiri, mantan mertua dan kakak iparnya ini sangat baik padanya, bahkan sudah menganggap Achala sebagai saudara dan anak kandungnya.

"Kapan-kapan main ke Bandung, Cha. Anak-anak pasti seneng bisa ketemu kamu lagi. Tania udah kelas empat SD."

Achala tersenyum, menarik satu kursi untuk mantan mertuanya. Membantu wanita itu duduk dengan nyaman. Tanpa Achala sadari, sudah banyak yang berubah sejak sepeninggalnya. Keponakan lucu yang dulu masih berusia lima tahun, sekarang sudah duduk di kelas empat SD. Jujur saja, ia pun sangat merindukan suasana hangat ini—makan bersama di satu meja.

"Sori, gue duluan, Pak." Affandra menyerobot tempat duduk persis di samping Achala saat Lintang menarik kursi tersebut.

Mau tak mau Lintang berjalan gontai ke seberang meja, menarik kursi di sebelah ibunya. Achala duduk di antara Ajeng dan Affandra—berseberangan dengan Lintang dan ibunya.

"Ini semua Achala yang masak, loh." Lagi-lagi mama berujar tentang masakan itu. Padahal, cicak di dinding pun tahu jika yang masak adalah mama. Achala hanya membantu saja.

"Mama berlebihan," balas Achala menggeleng. "Ayo, Bu. Mbak Ajeng jangan sungkan." Achala menawari mantan mertua dan Ajeng, tidak memedulikan tamu yang tak diharapkan di seberang meja.

Suara kekehan terdengar dari samping Achala, ia tahu siapa yang sedang tertawa tertahan itu. Achala pun tahu siapa yang sedang ditertawakan Affandra.

Wanita itu masih melayani mama, mantan mertua, dan Ajeng, membantu mengambilkan nasi ke piring mereka, menanyakan mau makan dengan lauk apa. Semua Achala lakukan, ia senang dengan kegiatan ini, bahkan bisa dikatakan rindu.

"Udah, Nak. Ibu bisa ambil sendiri. Kamu udah repot-repot masak, sekarang repot ngelayani ibu. Udah ... udah ...," ucap Ibu Lintang sungkan.

"Nggak apa-apa, Bu. Acha suka ngelakuinnya. Ibu nggak usah sungkan, ya. Acha masih seperti anak Ibu yang dulu."

Achala cukup peka membaca situasi, ibu dari mantan suaminya itu sedikit sungkan. Mungkin karena statusnya yang sudah berubah menjadi mantan ibu mertua. Atau mungkin ia sungkan karena perbuatan Lintang di masa lalu, tetapi masih dibalas dengan kebaikan.

Semua nasi sudah terisi di piring masing-masing, kecuali piring Lintang dan Affandra. Tangan Achala terulur, memberi kode agar Lintang menyerahkan piringnya untuk diisi. Namun, belum juga piring Lintang diangkat, tangan Achala sudah terisi dengan piring milik Affandra.

Achala menoleh ke samping, pria itu sudah berekspresi jahil. Achala tersenyum geli, ada-ada saja tingkah sahabatnya ini untuk menghalangi Lintang.

Tanjung Enim, 27 Maret 2022

Terima kasih sudah menyayangi Mas Lintang dengan begitu kejamnya. Atau kalian sayang Trishia? 😂

Kalau aku sih sayang Acha 😘

Ini smirk Affa lagi ngeledekin Lintang 😆🤣

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top