30 🌐 Rumah dan Kepulangan.

Haloooowwww..  ngobrol sama aku di live, yuk. Tanyakan apa pun tentang novel Lintang Bumi.
Sampai ketemu di live nanti jam 19.30 wib ya gengs. 🥰🥰🥰

🌐🌐

Tujuh hari sudah pahlawan di hati Achala tidur damai di dalam 1,5 meter bawah tanah. Takziah yang diadakan sanak saudara telah selesai. Rumah yang menjadi tempat berkumpulnya saudara selama tujuh hari itu pun, sudah mulai terasa sepi. Kini, saatnya kembali ke aktivitas semula dan rumah masing-masing.

Achala masih menatap diam lampu-lampu jalanan, dua puluh menit perjalanan menuju rumah mereka, nyatanya tak membuat wanita itu buka suara barang sedikit saja. Termasuk suara menggeram orang di balik kemudi samping kanannya pun, tak Achala hiraukan.

Pikirannya kalut, ia masih belum bisa mencerna untuk apa ia kembali ke sana. Ke rumah yang Lintang sebut 'Rumah kita' saat mengajak Achala untuk pulang.

Bagi Achala, rumah adalah tempat satu-satunya kembali, saat orang-orang di luar sana atau dunia sekalipun menolaknya. Namun, pantaskah ini disebut rumah tempat pulang? Saat pemilik tempat yang ia tuju adalah orang pertama yang menolaknya.

Roda mobil Lintang berjalan lambat, berhenti di depan tingginya pagar besi berwarna gelap. Achala sadar, jika sekarang ia sudah sampai—rumah. Tatapan wanita itu beralih ke depan, memperhatikan pria yang beberapa saat lalu turun dan membuka sendiri pagar penghalang. Sampai mobil Lintang berhasil masuk ke carport pun, wanita itu masih memilih bungkam. Turun secara mandiri dari kereta besi yang ia tumpangi. Memangnya apa yang ia harapkan? Menunggu Lintang membukakannya pintu? Sekalipun Lintang bersedia, rasanya sekarang ia yang akan menolak.

"Cha, kamu langsung istirahat aja," ucap Lintang menginterupsi langkah Achala menuju dapur.

Achala berbalik, mengayunkan tungkai menuju kamarnya. Tidak ada sahutan atau sekadar anggukan kepala tanda respons. Lintang mengembuskan napas kasar, ia harus memaklumi segala tingkah pola yang Achala tunjukkan. Wanita itu masih dalam suasana berkabung.

Pria itu pun turut mengayunkan tungkai, menaiki satu per satu undakan anak tangga menuju kamarnya. Ia duduk di tepi tempat tidur, perutnya terasa kosong belum sempat ia isi sejak siang, bahkan di acara takziah ayah mertuanya pun pria itu tidak sempat mengunyah barang satu potong kue pun. Pukul lima sore sepulang dari kantor, pria itu langsung bergegas ke rumah mertuanya, menghadiri takziah hingga selesai dan membawa Achala untuk pulang. Sekarang, waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam.

Lintang membuka aplikasi memesan makanan, setidaknya perutnya harus diisi sesuatu. Persetan jika rasanya nanti tidak sesuai lidahnya. Selesai dengan memesan makanan, ia bergegas masuk ke bilik kamar mandi, membersihkan diri agar lebih segar.

Hampir dua puluh menit dihabiskan Lintang di dalam sana, pria itu keluar dengan mengenakan bathrobe serta handuk kecil yang tersampir di bahu kokohnya. Tangan kanannya mengusap-usap belakang kepala, mengeringkan rambut legamnya yang basah. Sementara tangannya yang bebas mencari setelan baju tidur dari dalam lemari untuk ia kenakan.

Lintang meraih laptopnya di atas nakas, membuka benda itu untuk memeriksa pekerjaan kantor yang mungkin belum sepenuhnya ia selesaikan. Entah mengapa, akhir-akhir ini pria bermata elang itu sering kali menyelipkan Achala dalam pikirannya di sela pekerjaan.

Baru sepuluh menit ia bergelut dengan laptopnya, rungunya disapa dengan suara bel dari bawah sana. Perutnya pun sudah memberi isyarat untuk diisi. Ia menyimpan laptopnya yang masih menyala di atas tempat tidur, bergegas keluar kamar. Lintang bisa menebak jika pelaku yang membunyikan bel adalah pengantar makanan.

Namun, sayang sekali langkah Lintang kalah cepat. Achala sudah menerima pesanan itu lebih dahulu, wanita itu membawanya ke dapur. Tidak ada alasan bagi Lintang untuk tidak menyusul keberadaan—makanannya—Achala, mengingat perutnya sudah sangat lapar.

Lintang semakin mempercepat langkah, penciumannya mencium aroma masakan yang sangat menggugah selera.

Acha masak?

Pria itu menarik satu stool bar, mendaratkan bobot tubuhnya di sana. Benar seperti dugaannya, Achala masak untuk makan malam. Wanita itu memunggungi Lintang, bisa pria itu lihat, kemampuan Achala di dapur tidak usah diragukan lagi.

"Cha, kamu masak? Mas udah pesan makanan banyak ini buat kita, udah makan aja yang ini."

Tidak ada sahutan, wanita itu tetap keukeuh membangun silent treatment di hadapan suaminya. Lintang menghela napas panjang, lagi-lagi ia harus lebih bersabar. Jika boleh meminta, ia lebih memilih Achala berteriak atau bahkan memakinya saat ini, ketimbang harus berbicara satu arah terus.

Achala menyimpan semua yang ia masak ke atas meja, Lintang menunda makannya. Menahan lagi laparnya, menunggu Achala menyelesaikan kegiatannya agar bisa makan bersama wanita itu.

Tangan Achala sibuk memindahkan apa yang Lintang beli tadi ke dalam wadah yang lain, menyimpan piring serta alat makan ke hadapan Lintang. Meski tidak membuka suara, wanita itu masih menjalankan tugasnya di rumah ini.

Usai dengan semua itu, Achala hendak meninggalkan meja makan. Seperti biasanya, membiarkan Lintang makan sendiri. Ia tahu pria itu muak jika satu meja dengannya. Namun, baru juga dua langkah dari meja makan. Tangan Lintang mencekal pergelangan tangan Achala.

Wanita itu menoleh, mengernyit dahinya bingung. Ia tidak berusaha menepis, tetapi menunggu Lintang memberi alasan atas tindakannya ini.

"Kamu mau ke mana? Temani mas makan, ya? Kita makan sama-sama."

Lintang menelan ludahnya kasar. Harga diri pria itu sudah benar-benar jatuh ketimbang beberapa bulan lalu. Sesuatu hal yang paling ia kutuk, justru ia langgar sendiri. Termasuk makan berdua di meja makan yang sama dengan Achala. Hampir dua bulan menjalani rumah tangga, pria itu membenci jika Achala duduk di meja makan yang sama dengannya.

"Mas boleh mencicipi masakan kamu?" tanyanya ragu, tetapi tatapannya tak beralih pada semangkuk tongseng daging kesukaannya.

Achala tidak menyahut, ia hanya menarik piring Lintang yang telah berisi nasi, membubuhkan beberapa sendok makanan kesukaan Lintang ke dalam piring. Kemudian menyimpan ke depan pria itu lagi.

"Kalau mas merasa kurang ... mas boleh nambah lagi nggak?"

Belum juga habis, sudah berencana nambah. Untuk apa memesan makanan sebanyak ini kalau ujungnya masih akan memakan masakan Achala.

Achala menatap datar wajah Lintang, ekspresi pria itu berubah total. Ke mana mimik wajah bengis yang selalu ia tunjukkan dulu jika di hadapan Achala. Tangan Achala menggeser mangkuk tongseng lebih mendekat ke depan Lintang, respons sebagai tanda mengizinkan, bahkan masakan itu memang sengaja ia masak untuk Lintang.

"Makan, Cha. Kok malah diem aja."

***

"Cha? Kok malah ngelamun. Dengerin mama nggak, sih, kamu?"

Achala berdeham, mengusir sesuatu mengganjal tenggorokan. Netranya mengedar ke meja dapur yang dipenuhi dengan bahan makanan untuk dimasak. Pantas saja jika mamanya pagi buta membangunkannya, meminta bantuan untuk memasak hari ini. Rupanya akan kedatangan sahabat lama mama.

"Mama nggak bercanda, kan? Yang dimaksud temen Mama itu ... ibu?"

Sang mama hanya mengangguk samar, seraya memotong daging sapi menjadi dadu. Wanita berusia lebih dari separuh abad itu tidak peduli jika sang putri sudah menunjukkan raut wajah yang berbeda.

"Kok, nggak bilang, sih, Ma? Kalo gitu Acha nggak akan pulang. Mending pulang dari Surabaya kemarin langsung ke apartemen aja," gerutu Achala merasa dijebak oleh sang mama.

Ibu beranak tunggal itu menoleh pada sang putri, menaikkan satu alisnya. "Kok, kamu yang senewen, sih, Cha? Kan mama ngundang teman mama. Bukan mau jodohin kamu dengan anaknya temen mama," celetuk wanita itu tanpa dosa.

"Ma, bukan mau, tapi udah. Udah mama jodohin sama anaknya temen mama itu. Lima tahun lalu." Achala memutar bola matanya malas.

"Kenapa, sih, Cha? Bukannya kamu yang bilang, kalau kamu udah moveon dari Lintang, bahkan Lintang sekarang jadi tetangga, kamu biasa aja."

"Tahu, akh! Mama suka nyebelin, nggak kompromi sama Acha dulu." Achala berhenti dari kegiatan membersihkan taoge. Wanita itu cemberut menatap mamanya.

Hening tercipta beberapa menit, yang tua sibuk mengaduk kuah kuning dalam wajan. Achala masih bergeming, enggan lagi membantu sang mama yang semakin kerepotan.

"Nggak ada Lintang, Cha. Cuma ibu mertua kamu sama Ajeng dan anak-anaknya aja. Mama sengaja kasih tahu mereka, keponakanmu kangen kamu pasti."

Achala mendongak, dahinya berkerut. Kenapa mama masih suka terbawa dengan suasana lama. Sudah sering kali ia tegaskan, bahwasanya wanita yang telah melahirkan mantan suaminya itu bukan lagi ibu mertuanya.

"Ada Mbak Ajeng juga?"

"Hmm ...." Mama mengangguk, membalas dengan dengungan.

"Mbakmu itu, sejak kalian bercerai, dia jadi kurang akur sama Lintang. Ibu mertuamu suka cerita, bahkan Ajeng sampai sekarang nggak mau bicara sama Lintang."

Mama melirik Achala yang fokus mendengarkan ceritanya. Achala tahu, sangat paham bagaimana keras kepalanya Ajeng. Ia merasa bersalah, mungkin kalau bukan karena perceraian mereka. Adik kakak itu pasti akan baik-baik saja hubungannya.

"Yo ... mbok tangannya digerakkan, toh, Nduk. Bantu mama iris tomatnya atau celor bihunnya. Malah tega ngebiarin mamanya kerja sendiri," sendir mama pada anak semata wayangnya.

Achala mencebikkan bibirnya, bangkit dari duduknya kemudian meraih satu wadah untuk diisi air panas dan dua bungkus bihun. Gerakan tangannya mengaduk-aduk bihun yang sudah terendam air panas, tetapi pikirannya jauh menerawang entah ke mana.

"Cha, hati-hati. Nggak baik kerja sambil ngelamun," tegur mama.

Achala tersadar, bukan karena teguran dari mama. Namun, suara bel yang berbunyi nyaring itu turut membuat kesadarannya terkumpul.

"Udah datang, Ma?" tanya Achala.

"Masa, sih? Mama bilang makan siang, ini masih jam ... sepuluh." Mama sempat melirik jam dinding yang tergantung di atas kulkas. "Coba, Cha. Kamu lihat ke depan. Siapa yang datang."

Achala mengayunkan tungkainya ke pintu utama, bel itu kembali berbunyi. Langkah ia percepat, tangannya meraih gagang pintu kemudian menariknya.

"Cha," panggil sosok lelaki berpakaian formal di hadapannya.

"Kamu? Ngapain di sini?"

Si pria menarik senyum tinggi. "Pulang," jawabnya enteng.

Achala menyandarkan punggungnya di pintu besar. Melipat tangan di depan dada, tatapannya jelas tidak suka dengan jawaban pria ini.

"Pulang? Ini bukan rumah kamu. Nggak ada alasan kamu pulang ke sini."

"Kamu adalah alasan kepulangan aku, Achala!"

"Sinting!"

Tanjung Enim, 04 Maret 2022
Republish, 02 Sept 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top