3 🌐 Affandra Bujur Putra
***
Selayaknya istri, semua harus serba atas izin suami. Jika suami melarang sepatutnya istri tidak melakukan apa yang dilarang tersebut. Achala tahu ia keluar dari rumah belum sepenuhnya dapat izin dari Lintang. Perempuan itu hanya mengirimkan pesan lalu pergi ke rumah orang tuanya tanpa menunggu balasan pesan dari Lintang terlebih dahulu.
Sudah dua hari ini Achala merasa tubuhnya kurang sehat, itu sebabnya ia pulang ke rumah orang tuanya. Sesuai kesepakatan yang ia tanda tangani, bahwasanya Lintang tidak ingin melihat Achala sakit, apalagi akan merawat dan mengantarkan ke dokter. Jadi, sebelum benar-benar parah, ia memutuskan untuk pulang. Toh, pada surat perjanjian itu juga tertulis jika Achala sakit, dia boleh pulang ke rumah orang tuanya.
“Ma, Affa sering ke sini?” Achala bertanya tentang sahabat kecilnya itu. Kunyahan terakhirnya terpaksa ia tandaskan. Achala mendorong piring yang masih setengah berisi nasi dan lauknya itu ke tengah meja.
“Affa … kayaknya, baru minggu lalu dia ke sini. Sejak kamu nikah, anak itu masih suka tidur di sofa tempat biasa.”
Mata Achala terbuka lebar. “Tidur di sini? Ngapain?!”
Mama mengangkat kedua bahunya. “Mana mama tahu. Dia cuma datang, terus rebahan di sofa tempat dia biasa. Habis itu pamit pulang. Kadang makan malam di sini juga.”
“Terus mama kasih izin?”
Mama menarik satu kursi di seberang Achala. “Ya, iyalah. Masa mama usir. Mama juga nggak merasa sepi kalau ada dia. Kenapa, sih?”
“Lain kali usir aja, Ma. Emang nggak ada malu numpang tidur, makan di rumah orang,” gerutu Achala tak habis pikir dengan apa yang dilakukan pria yang keberadaannya sedang ada di Bandung tersebut—setahu Achala.
“Emang kenapa, sih, Cha. Orang Affa cuma numpang tidur di sofa. Lagian, ya, jangankan cuma sekadar makan. Ingat, kalian kecil juga mama yang suapin makan. Apalagi kamu yang susah minta ampun buat makan. Untung ada Affa.”
“Ma, kenapa malah mengingat masa lalu, sih.” Achala bergedik membayangkan apa yang diceritakan sang mama. “Ma, dulu waktu kita SD. Mama suka suapin kita … kadang pakai sedok yang sama, 'kan?”
Wanita itu mengangguk, membenarkan ucapan sang putri. “Iya, ribet kalau mau ganti-ganti sendok. Lagian Affa juga anaknya sehat."
Katanya kalau minum dari gelas yang sama adalah cara ciuman secara tidak langsung. Kalau pakai sendok yang sama. Sama saja, dong? Berarti … aku sama Affa udah kissing sejak SD.
Lamunan Achala buyar saat ponsel di sampingnya bergetar. Tadinya mau ia abaikan, tetapi si penelpon adalah Lintang. Mau tak mau ia harus mengangkatnya. Mengingat saat berpamitan tadi, Lintang belum memberikan izin atas Achala yang pergi ke rumah orang tuanya.
Achala beranjak, meminta izin pada ibunya untuk meninggalkan meja makan. Kira-kira sudah cukup jauh, ia berada di halaman belakang dan ibunya di ruang makan, barulah Achala menggeser tanda hijau.
"Halo, Mas."
"Kamu di mana?!"
"Masih di rumah mama, Mas."
"Mau apa kamu ke sana? Mau ngadu kalau aku jarang pulang?!" Lintang menodong Achala dengan tuduhan keji.
“A-aku cuma main, Mas. A-aku kangen sama mereka, sekalian anterin papa kontrol. Aku nggak cerita apa pun ke mama atau papa.”
Achala tahu, ia bukanlah istri yang baik. Sudah keluar tanpa izin suami, sekarang berbohong pula. Perempuan itu tidak memberi tahu alasan yang sebenarnya kenapa ia pulang ke sini.
“Kalau kamu mengadu dengan keluarga kamu. Aku akan membalas dengan menceraikanmu. Ingat, kesehatan papamu tergantung dengan peran kamu di pernikahan ini.”
Lutut Achala melemas, pandangannya nanar ke sembarang arah menahan butiran bening jangan sampai jatuh. Ia lemah jika sudah menyangkut perihal kesehatan ayahnya. Wanita itu seketika limbung, berpegang di dinding agar tidak terjerembab jatuh.
Ia berbalik saat bahunya dirangkul agar tak limbung, aroma maskulin yang sudah lama tak ia hidu kini kembali menyapa. Kapan terakhir kali wangi perpaduan Citrus dan mint ini menggelitik indera penciumannya? Ia sudah tak ingat lagi. Semenjak menikah dan menjadi istri Jibran Lintang Darmawan, Achala sangat membatasi kegiatan di luar rumah. Semua harus seizin suaminya, termasuk bertemu dengan sahabat kecilnya, Affandra Bujur Putra.
"Cha? Kamu nggak apa-apa?"
***
"Woi, Cha! Malah melamun."
Achala tersentak dari lamunannya sesaat menginjakkan kakinya di garasi rumah orang tuanya. Salah satu ruangan favorit ayahnya. Ada beberapa koleksi kendaraan antik milik almarhum ayahnya di sini.
"Aku boleh nyobain mobil yang itu nggak?" Affandra menunjuk satu mobil mewah yang berjejer di garasi rumahnya.
Semua barang Achala sudah berada di dekat pintu penghubung garasi, tinggal dimasukkan ke mobilnya. Namun, mereka sempat bingung memilih kendaraan untuk transportasi Achala pindah ke apartemen.
Achala menarik senyum getir, mobil Audi A6 berwarna silver. Kereta besi kesayangannya itu masih terawat meski sudah beberapa tahun ia tinggalkan ke Inggris. Kendaraan yang banyak memberinya kenangan berharga. Mobil yang ayahnya hadiahkan saat kelulusannya di SMA terdahulu. Namun, setelah menikah tak ia bawa karena sang—mantan—suami tidak memberi izin.
“Cha, boleh nggak? Dari dulu aku kepengin banget nyetir mobil kamu ini.”
Achala lagi-lagi tersentak, panggilan dari Affandra membubarkan pikirannya tentang masa lalu. Ia mengangguk, mengizinkan Affandra untuk menyetir mobil tersebut. Lagi pula Achala memang mau mengenakan mobil itu sebagai kendaraannya sehari-hari.
“Aseeekkk … berasa orang kaya beneran aku, Cha.” Affandra tergelak bahagia.
Semua barang dan koper-koper Achala tentu tidak akan muat jika dimasukkan ke dalam bagasi mobilnya. Ujung-ujungnya ia masih tetap meminta sang sopir ibunya untuk mengantarkan barang-barangnya ke apartemen.
“Fa, kamu ada kerjaan nggak? Aku pengin beli beberapa perabotan buat di apartemen. Mau temenin aku nggak?”
Affandra menoleh beberapa detik pada wanita yang duduk di sebelah kirinya, kemudian ia mengangguk dan berujar, “Boleh. Dengan senang hati aku, mah. Anggap aja simulasi beli perabotan rumah tangga kita nanti.”
Achala menggeleng, senyumnya lebar sekali. Berada di samping Affandra tidak ada alasan baginya untuk tidak tertawa bahagia. Mobil Achala yang dikendarai Affandra sudah keluar dari garasi setelah sekian tahun lamanya, kendaraan itu membelah jalanan dengan sangat tenang dan elegan. Sampai akhirnya berhenti di sebuah jaringan toko perabotan bergaya Skandinavia.
"Beneran di sini paling gede, Fa?"
Affandra menggaruk dahinya. "Sebenernya ada, sih. IKEA Garden City, tapi kejauhan. Udahlah sama aja, Cha. Nggak apa-apa ya di sini aja."
Seperti menimang-nimang perempuan itu melemparkan pandangan ke luar kaca mobil. Menelisik bangunan mall itu kemudian mengangguk.
"Ya, udah nggak apa-apa, deh. Ayo, turun."
"Jangan kalap, ya. Kita beli yang benar-benar dibutuhkan aja. Aku belum gajian."
Achala tegelak, ucapan pria itu seolah sedang menasihati istrinya agar berhemat dengan uang belanja. Tanpa memedulikan sahabatnya lagi, Achala melenggang keluar mobil meninggalkan Affandra.
Tanjung Enim, 3 September 2023
RinBee 🐝
Yang belum menentukan pilihan drop komen kalian dong di postingan terbaru Instagram : Literasi.zeri4bee_
jangan lupa difollow.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top