28 🌐 Duka itu ....?


Tidak ada luka yang paling pedih, selain duka seorang anak perempuan yang kehilangan cinta pertamanya. Harusnya, termasuk wanita kuat bermental baja seperti Achala.

Namun, wanita itu bersikap seolah ia tegar dan sanggup menghadapi sendirian. Sudah dua jam ia berdiri, bahkan sesekali bergerak gusar di depan pintu sebuah ruangan. Padahal, tubuhnya belum beristirahat sama sekali, perutnya belum terisi sejak kemarin sore hingga kini waktu sudah menunjukkan pukul tiga dini hari.

Kemarin malam, sang ayah kembali mengalami penurunan dan harus dilarikan ke ruang ICU agar mendapat penanganan intensif oleh para dokter.

Wanita itu masih saja bersikap tangguh, mendampingi sang ayah dengan lantunan ayat suci dan asa yang ingin ia wujudkan bersama cinta pertamanya. Sampai ... cardiorespiratory monitors menyampaikan kabar duka itu, membuat pertahanannya benar-benar runtuh.

Takdir Tuhan memutus segala harapan seiring dengan garis lurus pada layar pendeteksi jantung ayahnya. Lalu, Achala bisa apa? Ia tidak bisa menentang ketetapan Tuhan selain mengikhlaskan.

Isak tangis pun mengiringi perjalanan di tengah berisiknya suara sirine ambulans menuju rumah—duka—orang tuanya. Usapan lembut Achala berikan pada tubuh yang tertutup kain panjang. Wanita itu menangis dalam, tidak bersuara sama sekali sehingga membuat dadanya semakin teremas sesak.

Dia ... pria pertama yang menjadi pahlawan dalam hidupnya kini telah pergi. Pria pertama yang menopang tubuh rapuhnya agar tetap berdiri, sudah tidak ada lagi. Lantas, pada tangan siapa Achala berpegangan? Siapa yang akan mengobati lukanya nanti.

Lintang? Pria yang diamanati oleh ayahnya untuk menjaganya, tidak bisa ia harapkan. Jangankan menjaga Achala lebih lama, hadir di saat-saat wanita itu membutuhkan topangan saja, ia justru absen dan lebih memilih menciptakan kebahagiaannya sendiri di apartemen mewah bersama sang kekasih.

Tangan gemetar Achala meraih ujung kain, membuka penutup wajah sang ayah yang tertidur melintang di hadapannya. Wanita itu mengamati setiap inci wajah pucat ayahnya. Jemari lentiknya menelusuri rahang dengan tali perban yang terikat menyanggah dagu hingga ke puncak kepala sang jenazah.

"Papa sudah sehat, Papa nggak sakit lagi, kan?" lirihnya masih dengan tangan rapuh mengusap dahi sang ayah.

"Maafin Acha ya, Pa. M-maaf Acha b-belum merasa bahagia dengan pria pilihan Papa. Acha sayang Papa. Kalau Acha tahu Papa akan kayak gini, mungkin Acha akan lebih sering nengokin Papa." Achala terisak di telinga kanan ayahnya. Gumaman itu seakan mengiris siapa saja yang mendengar, tak terkecuali sang ibu mertua yang berada di seberangnya.

"Pa-pa udah ja-janji ... na-nanti sehat akan ngajarin Acha di perusahaan. Kenapa Papa nggak tepatin janji. Nanti Acha belajar s-sama siapa, Pa?"

Tangisan itu berubah menjadi ratapan. Sebentang lengan rapuh itu memeluk erat tubuh yang sudah terbujur kaku. Tubuh gemetarnya tak dapat ia kendalikan lagi, segala kalimat menyalahkan si dalang kehidupan pun Achala lontarkan.

"Sabar, Sayang. Ikhlaskan, semua sudah ketentuan di atas. Acha boleh nangis sepuasnya, tapi jangan diratapi. Papa juga sayang Acha," ujar seorang pria di belakangnya, mengusap punggung Achala. Suara itu sangat familiar di telinganya.

Wanita itu menegakkan tubuhnya, berbalik menatap sang pemberi nasihat. Air matanya semakin menganak sungai, bibirnya gemetar, tangannya mengepal dan memukul dadanya sendiri.

"Cha, jangan kayak gini. Kamu bukan cuma menyakiti diri kamu sendiri, tapi juga mempersulit papa ke sana."

Pria dewasa itu menatap iba, menangkap tangan Achala agar tak semakin menyakiti dadanya yang ia pukul semakin kencang. Achala membalas tatapan itu dengan sejuta pertanyaan di kepalanya.

"Kenapa papa harus pergi? Kenapa aku harus kehilangan papa? Kenapa ... aku harus merasakan ini semua. Kenapa takdir Tuhan sangat kejam padaku, Om?"

Achala terkulai lemas di dalam dekapan Om Yanto. Adik dari ayahnya itu segera mengangkat tubuh Achala menuju sebuah kamar. Suasana semakin pilu menyaksikan goresan luka kehilangan dari seorang anak perempuan.

Di atas ranjangnya Achala ditidurkan, suara tangisan kencang menyusul dari pintu kamar. Om Yanto terlonjak, ia turut iba menatap sang kakak ipar—Mama Achala—yang tak kalah kacaunya. Semua merasa kehilangan, termasuk ia sendiri. Baginya Achala sudah seperti anaknya sendiri. Kehilangan sang kakak untuk selamanya, itu berarti tugas untuk menjaga keponakan satu-satunya menjadi berpindah ke bahunya sekarang.

"Mbak, udah Mbak. Jangan diratapi, kasihan mas jadi terhambat. Doakan saja semoga mas dilancarkan menghadap sang khalik. Ikhlaskan, Mbak."

"Masmu udah ndak ada lagi, To. Mbak harus gimana, To? Mbak ndak tahu harus apa sekarang, To?"

Sama seperti Achala, mama pun tak kalah melirih. Om Yanto mengusap punggung tangan wanita itu, menenangkan mama yang terduduk di lantai dengan penampilan rambut acak-acakan.

"Udah Mbak, kasihan Acha kalo Mbak juga begini. Mbak nggak usah pusing mikirin ke depan, yang penting sekarang kalian sehat. Urusan ke depan, biar aku yang urus. Aku janji akan jaga kalian berdua."

Wanita itu masih tergugu di samping Achala yang belum juga sadarkan diri. Tangisnya sudah sedikit mereda, diusapnya dahi sang putri yang beberapa saat lalu diurus oleh anggota keluarga yang lain. Ia sadar, hidup harus tetap berjalan meski pincang.

"Om, jenazahnya sudah mau dimandikan," ujar seseorang memberitahu Om Yanto.

"Iya, baik. Saya ke sana."

Om Yanto melirik sang kakak ipar. Netra wanita itu nanar, melihat ke wajah pria di hadapannya bergantian melihat Achala yang tertidur.

"Udah, nggak apa-apa. Acha ditinggal dulu, mudahan sebelum berangkat untuk disalatkan Acha bangun." Om Yanto seakan paham apa yang mama pikirkan.

Ia bangkit dari sana, meninggalkan anak semata wayangnya. Om Yanto tersenyum samar seraya menepuk bahu seseorang yang memberitahunya tadi.

"Om titip Acha, ya. Jagain keponakan om sebentar saja," ujar Om Yanto penuh penekanan kemudian berlalu meninggalkan kamar.

Sepeninggalan Om Yanto dan mama, orang itu melangkah mendekati Achala yang tertidur di atas tempat tidur, wajah pucat Achala menjadi satu hal yang paling ia khawatirkan. Ia duduk di tepi tempat tidur, menelisik tubuh ringkih yang untuk beberapa saat tidak ia lihat. Telapak tangannya mengusap lembut puncak kepala Achala. Ia tahu ini lancang, tetapi tetap saja ia lakukan. Satu kecupan hangat ia tinggalkan di dahi sang sahabat.

"Hei, wake up, Cha. Ini aku, Affa. Kamu tenang aja, ada aku yang akan jagain kamu gantiin pakde."

Affandra rela terbang subuh dari Yogyakarta ke Jakarta saat mendapat kabar sang ayah sahabatnya meninggal. Sepanjang perjalanannya, yang ia khawatirkan hanya Achala. Ia ingin hadir menjadi penyembuh duka perempuan itu. Ingin menjadi penenang dalam gundah sang sahabat.

Bulu mata lentik Achala bergerak pelan, rancauan lirih keluar dari bibirnya. Affandra beringsut lebih mendekat, menggenggam tangan Achala.

"Cha? Sadar, Cha. Bangun ... ayo. Ada aku."

Kelopak matanya terbuka pelan, seketika tubuh itu terduduk. Ia histeris memanggil sang ayah. Tangisnya kembali pecah, dengan segera Affandra mendekap tubuh lemah itu, mengusap punggungnya.

"Papa, Fa. Papa udah pergi ... aku sendirian, Fa."

"Sabar, Cha. Pakde udah seneng, udah sehat. Kamu nggak sendirian, ada aku. Ada mama, ibu aku, Om Yanto,Tante Melda dan Arika. Semua sayang kamu."

Achala terisak di dalam pelukan Affandra, menumpahkan segala yang menyesakkan dada. Affandra mengusap belakang kepala wanita itu, memberi sandaran sejenak atau mungkin selamanya.

"Udah, ya. Jangan diratapi lagi. Yuk, kita keluar. Sebentar lagi pakde mau disalatkan, mungkin udah selesai dimandikan."

Kalimat itu masih menggantung belum mendapat tanggapan, Achala bergeming bersandar di nyamannya dada Affandra. Pria itu tak mengambil kesempatan dalam kesempitan. Ia benar-benar tulus melakukannya.

"Cha?" panggil suara lain di belakang Affandra.

Melewati tubuh Affandra, pandangan Achala tertuju pada sosok tegap di sana. Netranya meneliti wajah pria yang turut andil membuatnya menyalahkan takdir. Namun, fokusnya bukan hanya di sorot mata pria itu, melainkan di sudut bibirnya yang agak kebiruan serta masih basah oleh luka.

"M-maaf, aku datang terlambat. Maaf aku nggak tahu kalau papa—"

"Fa, ayo kita keluar. Papa udah nungguin aku! Aku nggak mau lama-lama di ruangan yang sama dengan orang yang lebih mentingi selingkuhan daripada keluarga," ujar Achala sarkastik.

Affandra tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya dengan Achala dan Lintang. Ia hanya mengikuti keinginan perempuan itu, meninggalkan Lintang di kamar Achala. Persetan dengan apa yang terjadi dengan pria itu, masa bodoh dengan sudut bibirnya yang robek. Achala benar-benar tidak peduli.

Dari jenazah sang ayah mertua disalatkan hingga diantar ke peristirahatan terakhirnya, Lintang terus berada tidak jauh di samping Achala, walaupun tetap saja diabaikan oleh istrinya.

Semua pelayat sudah berbalik meninggalkan pusara Ayah Achala, wanita itu masih bersimpuh mengusap papan nama. Taburan bunga pun memenuhi gundukan tanah merah yang masih basah.

"Papa doain Acha dari sana, ya. Acha sama mama akan baik-baik aja. Acha janji akan belajar di perusahaan, suatu hari nanti Papa pasti bangga sama Acha."

Wanita itu bermonolog, satu kecupan ringan ia tinggalkan di atas nama ayahnya yang terukir indah di papan berwarna putih. Menaburkan sisa bunga dan menyiramnya dengan air dari dalam botol kaca.

"Papa percaya sama Acha, kan? Papa tahu Acha pasti kuat, papa sendiri yang bilang kalau Acha ini tangguh."

Sekali lagi, tangannya mengusap papan nisan sang ayah. Tersenyum lembut seolah di hadapannya bukan pusara melainkan sosok pria kecintaannya.

"Acha pamit, ya, Pa. Acha akan sering nengokin Papa di sini. Jangan bosen, ya, kalau nanti Acha lebih sering ke sini," ujarnya tersenyum hambar.

Achala bangkit, seketika lengan kokoh membantunya berdiri. Ia menoleh, dengan sigap lengan kurusnya menepis bantuan Lintang. Ia benar-benar tidak butuh bantuan pria itu.

"Affa, bantuin aku. Aku nggak kuat jalan."

Affandra bergeser ke samping Achala, menuntun tangan wanita itu agar berpegangan di bahunya. Lengan satunya ia selipkan di bawah lutut Achala, sementara tangan yang bebas berada di belakang punggung Achala. Dengan hitungan beberapa detik, tubuh Achala sudah terangkat dalam gendongan Affandra melewati Lintang yang diam tidak bisa berbuat apa pun.

Memangnya apa yang bisa Lintang perbuat? Protes karena istrinya lebih memilih digendong pria lain daripada dipapah olehnya? Bagaimana jika dibalik, Achala protes saat Lintang lebih memilih menemani Trishia daripada memberi istri sahnya dukungan moril. Beruntung Achala tidak langsung membahas perceraian, atau ... tidak lagi ia bahas, melainkan surat gugatan perceraian langsung ia layangkan.

Tanjung Enim, 14 Januari 2022
Republish, 29 Sept 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top