24 🌐 Mendatangi

Silakan marah sepuasnya jika chapter ini dianggap menyebalkan.


Retisalya yang menggerogoti hingga batinnya tak jua membuat wanita itu mengangkat bendera tanda menyerah. Achala masih ingat akan kewajibannya tanpa harus menuntut hak.

Meski dengan kaki yang sesungguhnya sudah tak kuasa menahan bobot tubuhnya, wanita itu masih memaksakan diri untuk menyiapkan segala keperluan Lintang selama ia tinggalkan. Beberapa saat lalu, dering telepon yang gaduh itu membawa kabar buruk. Kesehatan ayahnya kembali menurun hingga harus dilarikan ke rumah sakit.

Namun, berita itu tak membuat Achala serta merta berlari ke rumah sakit. Sebagai seorang istri, ia masih harus mendapat izin dari suaminya, meski ia tahu pria itu tak pernah peduli tentang dirinya ataupun keluarga dari istrinya.

"Bu, ada tamu di depan."

Suara Bi Ningsih menginterupsi Achala yang sedang merapikan kemeja serta jas Lintang ke dalam lemari. Wanita berusia empat puluh tahunan itu sengaja Achala panggil untuk membereskan rumah selama ia pergi.

"Tamu? Siapa, Bi?"

"Bibi kurang paham, Bu. Cewek cantik, mungkin teman Bu Acha."

Achala mengangguk, ia segera melangkah keluar kamar menuju pintu depan. Ia penasaran siapa temannya yang berkunjung pagi ini.

Atau jangan-jangan Arika? Mau jemput langsung jenguk papa di rumah sakit?

Tangan Achala menarik pintu utama hingga terbuka, menampilkan sosok yang tidak asing di matanya, tetapi tidak pula akrab. Trishia berdiri dengan pongah di hadapannya, balutan busana yang serba minim membuat Achala berdecak pada wanita kesayangan suaminya ini.

"Ada apa? Apa yang kamu cari di sini?" tanya Achala santai.

"Mana Lintang? Kamu jangan mengambil kesempatan, ya!"

Achala berdecih kencang, tangannya terlipat di depan dada. "Mbak, kesempatan apa yang saya ambil? Mas Lintang nggak ada di—"

"Lintang ... Lintang, please turun. Aku ada di sini, Sayang. Kita bicarakan dulu."

Wanita tak tahu malu itu mendorong Achala yang berdiri di depan  pintu, Trishia menerobos masuk berteriak memanggil Lintang.

"Mbak, Mas Lintang nggak ada di rumah. Anda tidak ada rasa malu sedikit pun? Malu, Mbak. Berteriak membuat keributan, mencari pria yang statusnya suami orang."

Trishia berbalik menatap Achala tajam, ketukan dari sepatu hak tingginya mendekat ke arah Achala. Wanita itu mengepalkan tangannya, rahangnya mengencang. Namun, semua ucapan, bahkan perlakuannya tak membuat Achala takut.

"Kamu bilang apa tadi? Ke mana Lintang, sialan! Kamu sembunyikan di mana Lintang! Ingat, ya, Lintang hanya cinta gue, dia punya gue. Nggak ada yang bisa merebutnya dari gue!" serunya lebih lantang, menarik perhatian Bi Ningsih yang bersembunyi di balik pintu penghubung.

"Mbak, Mas Lintang bukan barang yang bisa saya sembunyikan. Mas Lintang cinta sama Anda? Seberapa yakin, jika Mas Lintang tidak akan khilaf ke saya?" Achala mengibaskan rambutnya ke belakang, sengaja memamerkan kemerahan di leher putihnya—hasil karya Lintang semalam. "Anda pasti tahu, kan? Bagaimana Mas Lintang di ran—"

"Perempuan sialan, bitch!"

"Anda yang pelacur di sini, tidak tahu malu! Ke mana harga diri Anda sebagai perempuan, menyerahkan tubuh ke semua pria!" teriak Achala dengan dada naik turun.

Trishia menggeram, tangannya terangkat hendak melayangkan tamparan ke wajah Achala. Namun, belum sempat telapak tangan itu mendarat di pipinya, tangan yang lebih kecil menangkis sekuat tenaga yang ia punya, mendorong tubuh Trishia hingga mundur beberapa langkah.

"Ada apa ini?" Suara laki-laki mendekat.

Tanpa repot-repot menoleh, Achala tahu pemilik suara itu. Suara berat yang kerap kali tajam berbicara padanya. Namun, yang tidak Achala ketahui adalah keberadaannya di sini, bukankah tadi pria itu sudah pergi meninggalkan rumah. Kenapa kembali lagi? Sejak kapan?

"Lintang, kamu ke mana aja. Aku ngehubungi kamu, tapi nggak kamu angkat. Honey, aku bisa jelasin yang kamu lihat kemarin, kita bicarain ke apartemen aku aja, yuk."

Lintang tidak menggubris segala rengekan manja dari bibir seksi Trishia, pria itu justru beradu tatap dengan Achala yang berjarak dua meter dari posisinya berdiri.

"Honey, perempuan kurang ajar itu, tadi ngomong kasar ke aku. Katanya, aku menyerahkan tubuhku ke banyak pria," ucap Trishia dengan suara bergetar, wanita itu sudah hampir menangis merasa dihina oleh perkataan Achala.

Namun, lagi-lagi rengekan Trishia tak sama sekali membuat Lintang mengalihkan atensinya ke wanita itu. Netranya justru mengikuti pergerakan Achala menuju kamarnya, kemudian hilang di balik pintu.

"Lintang ... kamu nggak sayang aku lagi? Kamu bilang, kamu nggak akan tergoda dengan perempuan sialan itu. Nyatanya, kamu tidurin juga dia. Aku kecewa sama kamu."

Lintang memutar tubuhnya menjadi menghadap Trishia, tatapan pria itu sangat berbeda dengan yang ia layangkan pada Achala. Beberapa detik ia memandang lamat wanita kecintaannya, sebelum akhirnya ia berucap, "Trishia, namanya Achala. Bagaimanapun status dia di sini istriku."

"Lintang, kamu benar-benar berubah. Sehebat apa dia melayani kamu semalam? Sampai-sampai kamu—"

"Bagaimana jika pertanyaan dibalik? Sehebat apa pria itu memuaskanmu, hingga aku saja tidak cukup bagi—"

Ucapan Lintang tidak rampung karena sesuatu perih di pipi kanannya. Lintang terdiam sesaat, tidak mengeluarkan pembelaan pun tidak pula membalas perbuatan Trishia, bukan karena tamparan wanita itu yang membuatnya bungkam, tetapi netranya yang menangkap Achala keluar dari kamar dengan koper sedang yang ia seret tergesa.

Langkah Achala berhenti tepat di depan pasangan itu. Ia memindai wajah si pria dan wanita itu bergantian. Mungkin Achala sudah benar-benar muak dengan drama yang Trishia dan Lintang buat, hingga decihan meremehkan pun berani Achala keluarkan terang-terangan.

"Mas, kalau selingkuhan suami datang ke rumah seperti ini. Enaknya dijambak rambutnya atau ... dijamu minuman arsenik?"

***

"Kasih sianida aja! Minuman itu lebih pantas buat dia, Cha."

"Kamu gila? Fa, Mas Lintang itu lagi sakit. Sebagai tetangga kita harus baik. Aku cuma mau kasih obat doang."

Perdebatan dua sahabat itu masih saja berlanjut hingga ke unit Achala. Setelah membersihkan diri, wanita itu berniat ingin kembali ke unit Lintang dengan alasan hanya ingin memberikan obat pada pria itu.

Tentu saja niatan Achala ditentang oleh Affandra. Pria itu duduk di sofa dengan tangan terlipat di depan dada. Sementara Achala duduk di seberangnya, jari-jarinya memijat pelipis. Wanita itu benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikiran Affandra yang melarangnya untuk membantu Lintang sebagai tetangga.

"Tolonglah, Fa. Aku cuma mau bantu Mas Lintang aja. Dia lagi sakit, kasihan, Fa."

Posisi duduk Affandra menegak, sedikit condong ke depan. Tangannya bertumpu pada meja sofa.

"Kamu nggak lupa, kan, Cha? Gimana dia dulu memperlakukan kamu? Jangan cuma karena udah beberapa tahun lewat, kamu percaya begitu aja."

"I remember, Fa. Always, but ...."

"Apa?"

Achala mengembuskan napas panjang, berdebat dengan Affandra benar-benar menghabiskan tenaga. Sungguh ia ingin menuruti perkataan Affandra, tetapi rasa tidak teganya pada Lintang tetap saja mengusik.

"Ya udah, kalau itu mau kamu. Aku turuti kemauan kamu."

"Aku cuma mau kamu nggak disakiti lagi, Cha. Itu aja," ujar Affandra lirih. "Baiklah, silakan kamu bantu dia minum obat. Ingat posisi kamu lakuin ini cuma sebagai tetangga. Nggak usah baper!"

Mata Achala terbelalak, ada apa dengan Affandra? Tiba-tiba saja memberi izin. Tadi saja bersikukuh dengan pendiriannya.

Tanpa menunggu lama Achala bangkit, meraih kotak obat yang tadi sempat ia ambil dari nakas penyimpanan. Langkahnya semangat menuju pintu keluar.

"Ingat, Acha. Nggak usah baper, kalo nggak mau aku datangi ke sana. Kalo ada apa-apa cepet hubungi aku." Affandra kembali memperingatkan.

Achala berbalik kembali ke sofa hanya untuk menoyor kepala Affandra. "Iya. Iya Affandraaaa ...."

Affandra terkekeh melihat wajah kesal Achala. Wanita itu berbalik, melanjutkan tujuan awalnya. Ia menarik napas dalam saat sudah berada di depan pintu unit Lintang, tangannya menekan sandi pada pintu. Melangkah masuk.

"Mas Lintang, ini Acha. Aku balik lagi bawa obat," ujarnya belum berani melangkah terlalu jauh.

Tidak ada sahutan, Achala mengayunkan tungkainya menuju kamar Lintang. Mendorong pelan pintu kamar yang tidak tertutup rapat itu. Kepalanya menyembul, mencari keberadaan si empu kamar.

Dahi Achala berkerut bingung. Tidak ada Lintang di atas tempat tidur berukuran king size itu. Ia mengayunkan tungkai lebih masuk ke ruangan kamar Lintang. Suara derit pintu membuatnya menoleh ke sumber suara, Achala menoleh kemudian sigap membantu Lintang yang baru saja keluar dari kamar mandi.

"Mas Lintang, aku bantuin, ya."

"Makasih, ya, Cha." Lintang membalas dengan suara lemah.

Pria itu duduk bersandar di kepala tempat tidur. Achala menarik selimut menutupi hingga pinggang Lintang. Ia duduk di pinggir tempat tidur membuka kotak obat yang ia bawa.

Achala terperanjat, ia sungguh terkejut saat lengan kokoh melingkar di pinggangnya. Dahi hangat Lintang bersandar di bahunya.

"Mas Lintang? Jangan begini," cicit Achala takut dengan perlakuan Lintang yang secara tiba-tiba memeluknya dari belakang.

"Sebentar aja, Cha. Mas mohon."

Achala mengabulkan permintaan itu, sepuluh menit pelukan itu bertahan. Sebelum akhirnya, dilepas oleh Lintang. Pria itu kembali duduk bersandar ke posisi semula.

"Mas Lintang, mau aku buatin bubur? Minum obat dulu, ya."

Lintang mengangguk, tersenyum tipis. Matanya yang sayu seolah mengisyaratkan jika ia sangat membutuhkan sosok seperti Achala untuk tetap berada di sampingnya.

Achala keluar kamar, saat kemudian telah kembali dengan nampan di tangannya. Pria itu menerima tanpa ragu, menelan sebutir pil yang Achala angsurkan bersamaan dengan segelas air minum.

"Aku ke dapur, ya, Mas. Kalau ada butuh sesuatu panggil aja," pesan Achala.

Tanpa ingin berlama-lama lagi, Achala keluar kamar segera. Ia tidak ingin pertahanannya kembali runtuh. Terlebih ia tidak ingin membuat Affandra benar-benar murka saat tahu ia melanggar janji jika tidak akan baper.

Baru juga Achala meraih panci dan menuangkan satu cangkir takar beras untuk bahan membuat bubur. Bel berbunyi nyaring, ia bergegas berlarian ke pintu. Mencari tahu siapakah tamu Lintang yang berkunjung ini.

"Waktunya udah habis, Acha. Pulang sekarang! Kamu tadi bilang cuma mau kasih minum obat."

Lagi-lagi Affandra bersikap menyebalkan, mendatangi unit Lintang hanya untuk menyeretnya kembali ke tempat di mana dia semestinya. Achala mendengkus, ingin sekali ia memukul kepala sahabatnya ini hingga amnesia.

Tanjung Enim, 24 November 2021
Republish, 25 Sept 2023

Hai, apa kabar para pembenci Lintang?

Ayo voting kalian di tim mana?

AchaLintang

AchAffandra

LinTrishia

Salam Sayang
RinBee 🐝

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top