23 🌐 Mine

Barter bisa kali, ya. Aku kasih bacaan gratis, kalian follow aku.

***
.

Meski jalannya tertatih, sakit yang ia rasakan masih menjalar hingga menembus atma, Achala tetap menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. Ia tetap bangun pagi, atau mungkin bisa dikatakan tidak tidur sama sekali.

Siapa yang bisa tidur dengan nyenyak saat kehormatan sebagai seorang wanita sudah tercabik tak tersisa. Termasuk Achala sekalipun.

Gerakannya sedikit lamban pagi ini, ia masih merasakan perih di selatan tubuhnya, rasa sakit itu menjalar hingga ke inti hatinya. Achala berpegangan pada meja pantry, menyiapkan bubuk kopi ke dalam gelas. Ketika Lintang bangun nanti dan menginginkan kopi, ia tinggal menyeduhnya saja.

Atensi Achala teralih saat suara langkah sandal yang diseret di lantai terdengar di rungunya. Ia menoleh pada sosok yang menarik kursi makan, pria itu menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi tersebut. Sesekali tangannya memijat kening dan pelipisnya sendiri. Mungkin masih terasa pusing sisa mabuk semalam.

Achala sempat mengerutkan dahinya, penampilan Lintang sudah rapi, itu artinya sang suami akan keluar, tapi ke mana? Bukannya ini hari libur? Seketika wanita itu sadar dan menggelengkan kepalanya.

Bodoh banget, sih, Cha. Kamu ngeharapin apa? Berharap Mas Lintang di rumah menghabiskan hari Minggu sama kamu?

Setelah yang terjadi semalam. Jangan bermimpi Lintang akan mengubah sikapnya pada Achala. Perlu diingat pria itu melakukannya karena mabuk, bahkan mungkin ia tidak mengingatnya sama sekali.

"M-mas Lintang, mau—"

Niat hati ingin menawarkan sarapan atau sekadar secangkir kopi pada Lintang. Namun, ia justru tersentak karena ulah pria itu yang melempar ponselnya ke tengah meja. Entah apa yang salah dari benda canggih itu.

Lintang menoleh, tatapan tajam tepat menghujam hati Achala. Wanita itu memutuskan pandangan lebih cepat, ia menunduk takut. Tidak ada sahutan dari pria Lintang, Achala pun tidak berani menegakkan kepalanya.

"Mau sampai kapan kamu berdiri seperti patung toko pakaian? Cepat lakukan tugas kamu seperti biasa!"

Achala buru-buru membalik badan dan menjalankan tugasnya seperti—yang Lintang perintahkan—biasa. Ia paham dengan tugas paginya, yaitu menyiapkan segala keperluan pria itu tanpa harus banyak bertanya lagi.

Namun, entah apa yang membuat hati Achala tercabik. Padahal ucapan kasar Lintang sudah sering ia dengar, tetapi kali ini terasa sangat menyesakkan.

Kopi panas dan dua potong roti bakar selai nanas sudah siap di dalam piring, Achala menyimpannya di depan Lintang. Pria itu tidak menghiraukan getaran ponselnya di tengah meja, ia fokus pada iPad-nya.

"M-mas Lintang, ponselnya nggak mau—"

Lintang memutar kepalanya, netra elang itu menatap tajam mengintimidasi Achala. "Sejak kapan kamu punya kuasa ikut campur urusanku!" katanya penuh penekanan.

Pria itu bangkit dari kursinya, mengayunkan tungkai ke lantai atas menuju kamarnya. Achala tentu saja tidak berani lagi menyela. Netranya hanya menatap punggung kokoh pria itu yang semakin menjauh.

Sepuluh menit berlalu, Achala membereskan meja makan, menyimpan dua potong roti sarapan Lintang yang belum pria itu cicipi, keburu emosi karena ulahnya. Napas berat Achala embuskan, tatapannya yang sayu terpaku pada benda canggih di tengah meja yang kembali berdering.

Achala tak punya nyali untuk mengangkat telepon dari pujaan hati suaminya. Nama Trishia cukup sibuk pagi ini memenuhi riwayat panggilan telepon Lintang. Achala tidak tahu apa yang terjadi dengan Lintang dan Trishia, hanya saja ... Lintang yang pulang dalam keadaan mabuk, menuntut paksa haknya pada Achala dengan mengumandangkan nama Trishia dan rancauannya tentang wanita itu, cukup membuat Achala paham akan situasi. Bahwasanya hubungan pasangan kekasih itu sedang tidak baik-baik saja.

Achala tersentak lagi saat benda yang sedang ia amati itu diraih oleh pemiliknya. Perempuan itu menggeser tubuhnya agak sedikit menjauh dari Lintang, takut emosi suaminya merangsak naik lagi hanya karena posisi berdiri mereka yang berdekatan.

"Aku ke apartemen, tidak tahu kapan pulang."

Pulang? Achala mengernyit, sejak kapan pria itu menganggap rumah ini tempatnya pulang. Lalu, sejak kapan pula manusia berhati es itu memberi tahu ia akan ke mana. Tidak ada yang bisa Achala keluarkan sebagai respons, selain hanya mengangguk tanpa suara.

"Oh, iya. Maaf ...."

Buru-buru Achala mendongak, telinganya tidak salah mendengar bukan? Barusan Lintang mengucapkan sepenggal permintaan maaf.

"Kalau semalam aku bawa Trishia ke sini. Kalau aku boleh kasih saran ke pacar kamu ...."

Pacar? Lagi-lagi Achala mengerutkan dahinya. Tadi permintaan maaf yang menggantung, sekarang pacar Achala. Siapa? Wanita itu bukanlah seperti dirinya, yang masih menjalani hubungan dengan kekasihnya padahal sudah berstatus suami orang.

"Maksud Mas Lintang?"

Akhirnya, Achala memberanikan diri memecahkan rasa bingung yang menderanya dengan tiga kata.

"I mean, if you guys are making love ... jangan lupa pakai pengaman. Dan satu lagi, jangan meninggalkan jejak di tempat mudah terlihat."

"T-tapi ini ... Mas Lintang yang—"

"Tutupi tanda merah di leher kamu kalau keluar rumah. Aku tidak mau orang beranggapan kamu melakukannya denganku. Dan juga, kalian boleh melakukan di mana saja, kecuali rumah ini."

Hati Achala seketika diremas kencang, jantungnya dihujam secara kejam. Pria itu benar-benar tidak sadar jika apa yang ia lihat pada Achala adalah hasil perbuatannya semalam, bahkan rasa sakit di bagian selatan wanita itu pun masih terasa nyeri. Dan pagi ini ia lukai lagi hingga menembus batin, menghujani dengan tuduhan keji.

"Apa Mas Lintang sering melakukan ini dengan pacar Mas Lintang? Apa nggak ada sedikit rasa bersalah terhadap aku?" tanya Achala dengan suara bergetar.

"She is mine, begitu sebaliknya. Aku akan merasa bersalah pada Trishia jika aku melakukannya dengan kamu!"

Sepeninggalan Lintang, perempuan itu terduduk di lantai ruang makan, sesak di dadanya seakan mengoyak paru-parunya. Hanya tangisan pilu yang membekap nasibnya pagi ini.

Dengan tangan gemetar, berpegang pada kaki meja makan. Wanita itu berusaha bangkit saat dering telepon rumah berbunyi gaduh dan berulang-ulang. Langkah terseok Achala ayunkan ke ruang tengah, berusaha mengatur napas dan meraih alat komunikasi tersebut.

"Halo."

***

"Iya, halo, Affa. Aku denger kamu, kok."

"Di mana, Cha? Aku mampir ke apartemen kamu. Kok, mencet bel nggak dibukain?"

Achala menggaruk kepalanya, wanita itu tidak tahu harus memberi alasan apa dengan sahabatnya itu. Affandra pasti bingung jika mendapati Achala keluar dari unit Lintang.

"Fa, aku lagi di luar. Belum pulang ngantor. Ada sedikit lembur. Kamu besok aja ke sini lagi, ya," bisik Achala.

"Mobil kamu ada di baseman, Cha. Jangan bohong. Kamu nggak pinter bohong, Acha."

Benar. Achala tak pandai berbohong, apalagi di hadapan Affandra yang sangat mengenal dirinya. Achala mengembuskan napas panjang.

"Aku ada di unit Mas Lintang," bisik Achala takut-takut.

Sambungan telepon tiba-tiba terputus, suara bel unit Lintang terdengar gaduh. Achala menoleh ke kamar Lintang, mempertimbangkan apakah ia akan meninggalkan pria itu sendirian dalam keadaan lemah atau tetap tinggal untuk merawatnya, setidaknya hingga Lintang merasa sedikit lebih baik.

Namun, bel yang berbunyi terus-menerus itu seakan tidak memberi kesempatan Achala mengambil keputusan untuk tetap tinggal. Wanita itu berjalan menuju pintu utama, ia bisa menebak siapa pelaku di balik pintu itu.

"Kamu pulang ke tempat kamu! Ngapain, sih, Cha? Kamu cari penyakit?"

Affandra menggeram, netranya menatap tajam pada Achala yang baru saja membukakan pintu untuknya. Pria itu benar-benar tidak mengerti dengan apa yang ada di pikiran Achala.

"Mas Lintang sakit, Fa. Aku cuma mau ngerawat dia," cicit Achala.

"Kamu sekolah ke Inggris ambil jurusan bisnis, ya, Cha. Bukan keperawatan. Dia bukan idup sebatang kara, kan? Ada keluarga, bahkan orang tuanya."

"T-tapi, Fa. Aku kasihan, tadi panasnya tinggi banget."

"Suruh pergi ke rumah sakit, kan bisa, Acha! Kakinya nggak lumpuh layu, kan? Dia belum sakaratul maut, kan?"

"Affandra!"

Achala menyebutkan nama pria yang sedang berdebat dengannya secara tegas, tanda ia tidak menyukai apa yang sahabatnya ini ucapkan.

Affandra menarik napas panjang, menghempaskan kasar. Jemarinya memijat kening. Keras kepala Achala sangat ia hapal, wanita itu tidak akan melunak jika sudah mengambil keputusan. Pun Achala, untuk pertama kalinya selama mengenal Affandra, ia baru melihat sisi lain sahabatnya yang sekarang. Mungkin pria itu tidak ingin Achala kembali kembali ke lubang kesengsaraan yang sama. Maka itu, untuk pertama kalinya pria itu membentak Achala.

"She is mine," ujar suara berat di belakang Achala.

Sontak Achala menoleh pada sosok yang berdiri lemah, wajah hingga bibir pucat pasi terpampang. Cukup menggambarkan dengan jelas jika pria itu tidak baik-baik saja. Achala tertegun sejenak mendengar ucapan Lintang yang syarat akan menguasai.

"Aku jadi milik Mas Lintang saat berada di depan keluarga kita dulu. Dan itu hanya akting. Selebihnya, hanya ada satu nama yang ada di hati Mas Lintang."

Achala menyuarakan isi hatinya sekaligus kenyataan tentang bagaimana tidak sehatnya rumah tangga mereka dulu. Bagaimana seorang perempuan berstatus kekasih Lintang menghancurkan rumah tangganya hingga akhir.

Pria itu terdiam mendengar ucapan Achala yang menohok. Entah karena tubuhnya yang terlampau lemah atau karena realita yang menamparnya telak. Lintang tidak membalas.

"Sebelum Anda sia-siakan! Seharusnya ... dia menjadi milik Anda. Sekarang dia bukan milik Anda lagi, kalau Anda lupa gue ingatkan itu."

Kalimat balasan yang Affandra lemparkan penuh penekanan. Pria itu meraih tangan Achala, membawa sahabatnya meninggalkan unit Lintang.

Tanjung Enim. 15 November 2021
Republish, 23 September 2023

Salam Sayang
RinBee 🐝

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top