22. 🌐 Mengingau

**Perhatikan alur waktunya, ya, Bestie.

Masih ada yang kesel dengan Lintang di chapter kemarin? Sini keluarkan di kolom komentar.

🌍🌍

"Iya, selamat malam. Ada apa, ya?"

Achala membalas salam seorang pria muda yang menginterupsinya. Pria itu mendekat dan berdiri di depan Achala yang sedang menunggu lift.

"Hmm, itu ... ini Mbak Achala yang tinggal di unit 307 kan, ya?" tanya petugas keamanan yang berada di lobi apartemen tempatnya tinggal.

"Iya, benar." Achala mengernyit. "Ada yang bisa saya bantu?"

Petugas itu tampak kebingungan harus mengutarakan niatnya dari mana. Anak muda ini belum juga membuka suaranya. Achala semakin kebingungan apa yang terjadi.

"Ada apa?" tanya Achala lagi.

"I-itu, Mbak. Dua hari yang lalu ada paket Pak Lintang, tapi sudah dua hari saya tidak lihat Pak Lintang turun dari unitnya. Tadi ada juga kiriman untuk Pak Lintang, tapi ...."

"Kenapa? Ada masalah?" Achala memotong cepat. Bagaimanapun juga Lintang pernah ada di hidupnya, orang yang pernah ia kasihi. Setidaknya, itu menjadi alasan kekhawatirannya.

"Sudah saya coba hubungi, tapi Pak Lintang tidak merespons. Bisa dititipkan ke Mbak Achala?"

Achala meraih ponselnya di tas. Napas lelah diembuskan. Niatnya ingin segera beristirahat dari seharian bekerja, tetapi harus ia tunda karena tetangga sebelahnya.

Ke mana pula orang itu, kenapa hidup aku nggak bisa lepas dari bayang-bayang dia, sih.

"Sebentar, saya coba hubungi Pak Lintang."

Achala menempelkan ponselnya di telinga kanan, butuh beberapa kali dering barulah teleponnya diangkat. Ia semakin cemas saat suara Lintang terdengar sedikit aneh.

"Mas Lintang di mana?" tanya Achala berusaha lembut pada pria di seberang telepon.

"Ada di kamar, Cha. Kenapa?"

Ada terselip rasa penasaran, ingin rasanya ia menanyakan apakah pria itu sehat. Beberapa kali Achala mendengar Lintang terbatuk sebelum menjawab pertanyaan Achala. Namun, ia memilih untuk mengabaikan apa yang terjadi di seberang sana.

"Ada paket Mas Lintang di bawah. Kalau Mas nggak keberatan biar nanti aku yang bawa ke atas sekalian."

Dengan suara serak dan terdengar lemah pria itu tetap menjawab ucapan Achala. "Iya, nggak apa-apa bawa aja ke atas. Makasih, ya, Cha."

Tidak membalas ucapan Lintang lebih jauh, Achala mematikan sambungan telepon secara sepihak. Wanita itu menarik garis senyum ramah pada petugas yang masih berdiri di depannya.

"Pak Lintang ada di kamarnya, biar saya yang mengantarkan." Achala menawarkan diri.

"Ah, terima kasih banyak, Mbak. Sebentar saya ambilkan paketan Pak Lintang."

Petugas itu berbalik, berlari kecil meninggalkan Achala. Dering singkat masuk di ponsel, ia membuka pesan itu. Achala seketika bingung membaca tulisan yang tertampil di sana.

Tetangga:
140214

Achala bingung, maksud dari pesan Lintang. Ia tidak ingin menebak-nebak perkara angka yang sama seperti tanggal pernikahan mereka dahulu. Ia yakin Lintang tidak senorak itu menjadikan hari pernikahan sebagai sandi pribadinya, terlebih pernikahan yang sudah kandas sejak lima tahun lalu.
Lebih baik ia menanyakan langsung, bukan?

Baru saja Achala hendak mengetik sesuatu, tetapi pesan lainnya masuk kembali.

Tetangga:
Itu sandi kamar mas, Cha.

Achala tertawa singkat, tebakan yang ia kira tidak mungkin ternyata benar adanya. Ada apa dengan Lintang? Achala tidak yakin jika pria itu belum bisa move on dari hubungan mereka terdahulu.

"Mbak Achala," panggil sekuriti tadi. Ia mengangsurkan dua buah kotak dan satu paper bag.

Achala masuk ke lift menuju unitnya yang bersebelahan dengannya. Tungkainya terayun santai hingga sampai di pintu unit Lintang. Tangannya menekan angka-angka yang ia dapatkan tadi. Pintu terbuka, Achala melangkah masuk.

Alih-alih hanya memberikan paket, Achala justru melangkah lebih ke dalam. Suasana ruangan yang ia lewati gelap, bahkan gorden pun masih tertutup rapat semua. Terus melangkah ke sebuah kamar, ia berdiri di depan sebuah ruangan yang diyakini kamar Lintang.

Achala menajamkan pendengarannya saat suara lemah serupa merintih terdengar dari dalam. Ia takut sejujurnya, gerakannya tampak ragu. Achala mendorong pintu yang sudah terbuka sedikit tersebut. Akhirnya, ia memberanikan niatnya saat suara Lintang memanggil namanya dan terdengar seperti mengigau.

"Mas Lintang?"

"Jangan pergi, Cha. Mas minta maaf," lirih Lintang yang terbaring di atas tempat tidurnya.

Achala mendekat, memperhatikan Lintang lebih lamat. Peluh di dahi pria itu membasahi sampai ke rambutnya, tidurnya gusar. Matanya tertutup, hanya saja bibirnya terus merancau tentang permintaan maaf dan permohonan agar tidak ditinggalkan. Sesekali nama Achala ia sebut. Hanya Achala, tidak ada yang lain.

"Mas Lintang mengigau?"

Achala berjongkok di samping tempat tidur Lintang, telapak tangannya terulur menyentuh kening Lintang.
Ia terperanjat, suhu tubuh Lintang tidak bisa dikatakan normal.

"Mas Lintang sakit? Kok nggak ke dokter?"

Tidak ada sahutan tentang pertanyaan Achala. Pria itu kembali mengigau. Ucapannya tetap sama, meminta maaf dan memohon dengan penuh iba.

Achala tidak menyangka, beberapa menit yang lalu Lintang masih bisa diajak berkomunikasi. Namun, apa yang ia lihat sekarang adalah Lintang yang terbaring lemah.

Membenahi selimut dan posisi tubuh Lintang, Achala mematikan pendingin ruangan. Belum juga meninggalkan kamar Lintang, suara Lintang kembali terdengar.

"Mas Lintang butuh sesuatu?" tanya Achala kembali duduk di pinggir tempat tidur.

Bukannya menyahut, Lintang justru membalik tubuhnya membelakangi Achala. Selimut yang Achala naikkan batas dada tadi sudah ia sibak hingga teronggok di ujung kaki.

"Selimutnya kenapa dilepas?" Achala kembali menaikkan selimut itu menutupi tubuh Lintang yang tidur menyamping.

"Achala!"

Achala berdiri seketika, nada suara Lintang yang sedikit meninggi membuatnya takut. Di masa lalu ia sudah kenyang sekali dibentak hingga dicaci oleh pria itu. Namun, apa yang ia lihat sekarang membuatnya menarik senyum samar.

Ini orang sakit apa mabuk?

"Panas, Cha. Mas nggak suka panas, seperti di neraka," cicit pria itu, gerak tubuhnya seperti balita yang merengek pada ibunya.

"Terus ... sukanya apa? Masih suka sama aku nggak?" tanya Achala iseng.

Kelopak mata Lintang bergerak pelan, terbuka sedikit kemudian kembali menutup. Tangan pria itu terentang lebar meminta untuk dipeluk. Tentu saja Achala tidak menuruti permintaan yang satu ini.

"Sampai kapan pun mas cinta kamu, Cha. Maaf ... itu bukan anak mas."

Achala tercenung, apa yang terjadi di masa lalu dengan rumah tangganya. Semua sudah ia ikhlaskan, termasuk harus kehilangan bagian paling berharga dalam hidupnya.

Wanita itu tersentak saat dering ponsel di saku blazernya memberontak. Alis rapi Achala bertaut melihat nama Affandra sebagai penelepon. Panggilan pertama ia tolak, tidak tahu harus jawab apa kalau panggilan itu diangkat.

Sudah terbayang di benaknya jika Achala bilang kalau ia berada di unit Lintang, terlebih di dalam kamar hanya berduaan saja. Affandra pasti aku mencak-mencak tantrum.

Sepertinya yang di seberang sana tidak menyerah, dering panjang dari ponselnya menunjukkan eksistensinya lagi.

"Mas Lintang, jangan ngingau dulu, ya. Aku mau angkat telepon."

Konyol memang apa yang dilakukan Achala, tetapi siapa tahu Lintang kali ini bisa diajak kerja sama.

Achala menggeser tanda hijau gamang. "H-halo, Fa?" Suaranya terdengar pelan, bahkan seperti takut-takut.

"Cha ... di sini aja."

Achala gelagapan, bergegas mengayunkan tungkainya menjauh dari tempat tidur Lintang, bahkan keluar dari kamar pria itu. Berharap Affandra tidak mendengar suara lemah Lintang tadi.

"Cha ... halo, Cha? Ah, ini jaringan atau apa, sih!"

Tanjung Enim, 22 September 2023
RinBee 🐝

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top