21 🌐 Nafkah yang Salah
Warning 21+
Yang mau ngumpat silakan.
🌍
Achala gelisah, pikirannya tidak tenang memikirkan Lintang. Sudah dua jam ia berusaha memejamkan mata dan mencoba berisitirahat. Namun, tetap saja gagal.
Bodoh? Iya, katakanlah wanita itu bodoh. Ia tahu Lintang tidak akan pulang malam ini seperti sebelumnya, tetapi harapan itu tetap saja terselip di doanya.
Ia bangkit dari posisi berbaringnya, duduk bersandar di kepala tempat tidur. Melirik jam digital di atas nakas, sudah pukul dua dini hari. Netranya berpindah ke sebelah jam digital. Ada satu bingkai foto di sana, ia meraih benda yang menyimpan potret pernikahannya dan Lintang.
Achala tersenyum sendu, menatap potret yang sama sekali tidak seperti yang ia jalani selama menjadi istri Lintang Darmawan. Ia sadar, pernikahan mereka atas dasar perjodohan. Namun, bukankah banyak pasangan yang awalnya dijodohkan, tapi akhirnya saling jatuh cinta dan menciptakan bahagia mereka.
Namun, rasanya hal itu tidak akan terjadi pada kisah hidup Achala Annandhita. Pria itu, benar-benar tidak pernah mengubah pandangannya terhadap Achala—hanya peran pengganti.
Achala mengembuskan napas kasar, menyimpan bingkai foto ke dalam nakas dan meraih bingkai foto yang lain. Wanita itu patut berterima kasih pada sang fotografer di acara resepsi pernikahan mereka kala itu. Ia ingat betul bagaiman ekspresi Lintang, tidak ada sama sekali senyum yang terkembang meski samar sekalipun. Namun, melalui tangkapan kamera itu, Achala bisa melihat ekspresi lain dari suaminya.
Achala mengusap bingkai foto itu, menyunggingkan senyum selebar mungkin menatap wajah tampan Lintang. Bolehkah ia berharap seperti yang pernah Trishia katakan padanya? Bahwasanya, Lintang akan—khilaf—memenuhi kewajibannya, termasuk perkara nafkah batin yang seharusnya menjadi haknya. Ia yakin putra atau putri mereka nanti akan mewarisi paras rupawan ayahnya.
"Astagfirullah, mikir apa sih, Cha," gumam Achala menyadarkan dirinya sendiri.
Achala kembali membaringkan tubuhnya, menarik selimut hingga dada. Belum juga matanya terpejam, getaran dari ponselnya terdengar gaduh di atas nakas. Ia meraih benda itu, matanya membesar menatap nama Lintang pada layarnya.
Dengan segera Achala menggeser ikon hijau. "Asalamualaikum, Mas."
"Walaikumussalam," balas di seberang sana.
Achala mengernyit, ini bukan Lintang. Suaminya itu tidak pernah suka basa-basi jika meneleponnya. Tidak pernah membalas salamnya. Namun, ini buka hanya perkara salam yang dijawab dengan benar, tetapi suara pria di ujung sana pun berubah, bahkan sepertimlnya berbeda orang.
"Maaf, siapa ini?" tanya Achala memastikan siapa yang sedang menggunakan telepon suaminya.
"Maaf, Bu. Saya Aldi, karyawan Pak Lintang di kantor. Tadi saya ditelepon Pak Lintang dari bar."
"Bar? Lalu suami saya mana?"
Achala sungguh tidak paham dengan situasi ini, tetapi rasa penasarannya sudah tidak sabar ingin bertanya bagaimana dengan keadaan Lintang.
"Pak Lintang mabuk berat, Bu. Saya sudah ada di depan rumah Ibu. Bisa dibukakan pintu."
Achala bergegas keluar kamar, berlarian ke pintu utama. Wanita bodoh itu tidak berpikir panjang, langsung saja percaya pada ucapan pria di seberang telepon. Tidak menaruh curiga sedikit pun. Bisa saja itu adalah modus perampokan atau tindakan kejahatan lainnya. Lagi-lagi Achala mengabaikan keselamatannya jika sudah menyangkut pria berengsek itu.
Ia membuka pintu utama, benar saja di depan rumah mereka sudah ada mobil Lintang dan satu mobil lagi. Seorang pria muda keluar dari mobil Lintang. Ia berjalan mendekat ke arah Achala yang berdiri di ambang pintu.
"Selamat malam, Bu. Maaf mengganggu istirahatnya. Pak Lintang ada di dalam mobil," ucapnya memberitahu.
"Bisa bantu saya? Bantu bopong suami saya ke dalam?"
"Ah, bisa, Bu. Sebentar, saya dan teman saya akan bawa Pak Lintang ke dalam."
Pria itu berbalik, kembali menuju mobil Lintang. Netra Achala hanya bisa memperhatikan, bagaimana dua pria itu membopong tubuh gagah Lintang ke dalam rumah hingga berakhir di kamar tamu.
Iya. Achala membawa Lintang ke kamar tamu. Tidak mungkin ia meminta bantuan kepada dua orang karyawan itu untuk membawa Lintang ke kamar Lintang. Mengingat kamar pria itu berada di lantai atas. Tidak mungkin pula Achala membawa Lintang ke kamarnya. Suaminya itu pasti akan marah besar jika bangun esok hari berada di kamar Achala.
Setelah dua orang karyawan Lintang berpamitan pulang. Satu per satu Achala membuka pakaian Lintang, aroma alkohol menguar kuat dari mulut dan tubuh Lintang. Entah beban pikiran yang mana hingga membuat Lintang melampiaskan pada minuman haram tersebut.
Dengan telaten, Achala membasuh tubuh Lintang dengan handuk dan air hangat. Pria itu perlahan mengerjapkan matanya, menatap Achala yang masih fokus pada kegiatan.
"Sayang ...," rancau Lintang.
Achala tidak menyahutinya, wanita itu paham panggilan sayang itu bukan untuknya. Lintang pasti mengingau.
"Trishia ...."
Benar, bukan? Pria itu sangat mencintai Trisha. Dalam keadaaan mabuk, di bawah alam sadarnya pun Lintang mengigau dan memanggil nama kekasihnya.
"Mas Lintang mau apa?" tanya Achala bingung, saat Lintang berusaha bangkit.
"Mas Lintang pakai dulu bajunya, ya. Udah ini istirahat," ujar Achala berusaha memakaikan Lintang kaus oblong.
Achala terpekik saat tubuhnya ditarik paksa oleh Lintang ke dalam dekapan pria itu. Ia berusaha melepaskan diri, tetapi kekuatannya tidak sebanding dengan pria mabuk itu.
Tangan Lintang menarik tengkuk Achala, memaksa menyatukan bibir mereka. Achala mendorong dada Lintang, sempat terurai. Namun, lagi-lagi Lintang berhasil meraih tubuh Achala dengan mudah.
Dengan napas memburu, Lintang melampiaskannya pada bibir Achala. Menciumi wanita itu dengan tidak sabaran.
"Mas, tolong jangan seperti ini," lirih Achala hampir saja menangis.
"Aku cinta kamu, Trisha. Kamu kenapa tega melakukan itu di belakang aku. Aku nggak mau kehilangan kamu."
Pria itu bangkit, menarik pinggang Achala hingga merapat ke tubuhnya. Lintang menghempaskan tubuh kecil itu ke tengah tempat tidur. Menindihnya dengan posesif, tangannya meraba setiap inci tubuh Achala.
"M-mas tolong jangan begini. Aku Acha, bukan Trishia, Mas. Tolong sadar."
"Tidak ada yang boleh mencicipi tubuh kamu, Sayang. Termasuk bajingan itu!" teriak Lintang penuh amarah.
Lagi-lagi Achala tersentak saat kancing piamanya dibuka paksa, tiga kancing teratas berhamburan entah ke mana. Sama seperti wajah dan leher, Lintang kembali mencumbu dada wanita itu dengan rakus, meninggalkan jejak kemerahan di kulit putihnya.
Pria itu berhasil melucuti segala penghalang yang ada pada tubuh Achala dengan brutal. Tangan Achala sibuk menutupi bagian tubuhnya yang dipaksa terbuka. Air matanya mengalir begitu saja, rintihan wanita itu tidak Lintang indahkan. Pria itu mencumbu leher dan tulang selangka Achala.
Rintihan dan tangisan Achala tak membuat pria itu sadar, bahkan iba sekalipun. Dalam pikiran Lintang, tubuh kecil yang sedang berada di bawah kungkungannya ini adalah wanita yang sangat ia cintai.
"M-mas Lintang, aku mohon sadar. A-ku bukan Trishia," cicitnya dengan sisa tenaga yang ada.
"Diam! Nikmati saja, seperti yang biasa kita lakukan. Aku kangen kamu."
Achala kembali terpekik, saat sesuatu asing menerobos masuk pertahanan yang ia jaga mati-matian. Perih? Tentu saja, rasa sakit itu menjalar ke setiap tulang sendinya. Namun, itu semua tidak ada artinya dibandingkan dengan harga dirinya yang diinjak habis oleh pria yang bergerak brutal di atas tubuhnya.
Wanita itu tahu, ini adalah hak Lintang. Halal bagi pria itu untuk melakukannya, tetapi tidak dengan caranya. Ada kesalahan dengan apa yang Lintang perbuat.
"M-mas, berhenti. Aku mohon. Tolong!" Achala mengiba untuk terakhir kalinya, berharap Lintang tergugah menghentikan kegilaannya.
Untuk pertama kalinya, Achala mengutuk doanya sendiri. Beberapa saat yang lalu, Achala memikirkan tentang hak nafkah batin yang seharusnya ia dapatkan. Namun, ia menyesal jika nafkah yang Lintang berikan dengan cara paksaan, terlebih lagi suaminya itu berada di bawah pengaruh alkohol.
Ia pasrah, merintih dalam tangis. Sudah habis daya upayanya menghentikan Lintang. Pria itu semakin menaikkan tempo gerakannya. Erangan panjang dari bibir Lintang keluar berbarengan dengan tiga kali hentakan terakhir. Lagi-lagi nama Trishia yang ia kumandangkan sebagai penutup kegiatannya.
"Terima kasih, Sayang. Kamu masih sama seperti pertama dulu, bahkan kali ini jauh terbaik. Aku sayang kamu " Lintang mengecup pelipis Achala. "Selamat malam."
Tanjung Enim, 1 November 2021
Republish, 21 September 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top