2 🌐 Apartemen

Coba absen dulu kalian pembaca lama atau baru?

***

Ini adalah malam ke dua Achala menunggu kepulangan Lintang, jam digital pada ponselnya sudah menunjukkan pukul dua belas kurang lima menit. Achala bangkit dari posisi duduknya, berjalan gontai menuju pintu utama, mengintip ke luar dari gorden, kalau-kalau ada mobil Lintang yang baru datang. Achala berbalik, mengayunkan tungkai kembali ke ruang tengah.

Suara dering ponsel terdengar di telinga Achala, menjadi satu-satunya alasan ia mempercepat langkah menuju meja sofa, tempat di mana ia menyimpan ponselnya. Digesernya tanda hijau, menyambungkan panggilan.

"Asalamualaikum, Mas," salam Achala pada sosok di seberang sana.

Tidak ada sahutan perihal salamnya. Achala kembali menyapa, "Halo, Mas?"

"Nggak usah nungguin aku. Aku pulang ke apartemen!"

Kalimat yang keluar dari seberang sana terdengar penuh penekanan di telinga Achala. Wanita itu mengangguk patuh, ia sadar jika pergerakannya tidak bisa Lintang lihat. Namun, Achala lakukan itu hanya ingin menjadi istri yang baik bagi Lintang.

Achala paham dengan apartemen yang dimaksud Lintang. Ia tahu Lintang memiliki apartemen, tetapi yang tidak ia ketahui adalah alasan Lintang membeli bangunan itu. Bukankah ia punya rumah ini untuk tempat pulang?

Mungkin tempat itu Lintang jadikan pelarian jika sedang malas melihat wanita seperti Achala? Atau tempat yang sengaja Lintang beli untuk ia tinggali bersama kekasihnya? Banyak pertanyaan di kepala Achala perihal apartemen itu, tetapi jika opsi ke dua adalah tebakan yang benar. Sungguh Lintang adalah pria terberengsek di dunia ini yang sialnya sudah hampir dua tahun—terpaksa—Achala nikahi.

"Sayang ...."

Suara wanita terdengar setelahnya. Meskipun belum pernah bertemu, Achala hapal suara wanita di ujung sana, yang memanggil suaminya dengan sapaan lemah lembut nan manja. Trishia Agatha, kekasih yang sangat Lintang cintai mati-matian. Wanita yang Lintang perjuangkan, hingga melupakan janji suci pernikahannya bersama Achala.

"Baik, Mas." Suara Achala melirih, refleks membekap mulutnya dengan punggung tangan, ia menjaga suaranya agar tetap stabil dan tidak bergetar lemah.

Sambungan telepon diputus Lintang, Achala menatap miris ponsel di tangannya. Jam digital sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Setetes butiran bening jatuh di atas layar ponselnya, tangan rapuhnya menghapus kasar aliran air mata di pipinya.

Langkahnya diseret menuju kamarnya, merebahkan tubuh dengan pecutan luka tak kasat mata. Ia menarik selimut hingga dada. Harapannya masih sama, semoga besok Lintang bisa lebih sedikit menganggap keberadaannya sebagai istri, menghargai pernikahan yang sakral ini, bukan sebagai peran pengganti.

***

Sejak semalam hingga kini sudah pagi, Achala sibuk menyiapkan barang mana saja yang akan dibawa ke apartemen. Mulai dari berkas penting, pakaian sehari-hari, hingga pakaian yang akan dia gunakan ke kantor. Semuanya sudah ia susun rapi di dalam koper, tinggal diangkut ke mobil.

Achala memutuskan akan bekerja dalam waktu dekat, di perusahaan milik mendiang ayahnya. Perusahaan yang sudah diwariskan padanya sejak beberapa tahun lalu. Achala merasa ini adalah waktu yang tepat, mengingat ia telah menyelesaikan pendidikan dan sempat bekerja selama satu tahun di perusahaan bonafit di Inggris. Achala sudah cukup percaya diri karena mempunyai cukup bekal.

"Kenapa harus di apartemen, sih, Nak. Kenapa kamu nggak kerja perusahaan utama aja, yang lebih dekat gitu," ujar mama yang sejak tadi membantu Achala.

Achala merangkul bahu mamanya, membimbing wanita paling dicintainya itu duduk di sofa yang terletak di sudut kamarnya.

"Di perusahaan utama kan sudah ada Om Yanto yang mimpin, Acha di anak perusahaan aja dulu, Ma. Acha mesti beradaptasi terlebih dahulu."

Sang mama meraih tangan anak semata wayangnya. "Memangnya nggak bisa, kamu tinggal di sini saja? Sama mama. Di apartemen kamu sendirian, mama juga di sini kesepian."

Achala tersenyum lebar, matanya yang sipit membentuk garis bulan sabit. "Kalau Acha tinggal di sini, Acha berangkat ke kantornya jam berapa, Ma? Jam tiga subuh? Jarak dari sini ke perusahaan cabang lumayan jauh, Ma."

Wanita paruh baya itu menghela napas panjang. "Kamu itu, persis seperti papa kamu. Keras kepala,  tidak bisa dibantah!"

"Namanya juga anaknya, Ma. Kalau nggak mewarisi watak Mama, ya papa." Achala terkekeh.

"Jadi, mama lagi nih yang harus bolak-balik ke tempat kamu kalau kangen?"

Achala menyandarkan kepalanya di bahu sang ibu. "Biar Acha aja yang pulang setiap weekend," ujarnya berjanji.

Tangan yang lebih tua mengusap kepala Achala, menyalurkan rasa sayang yang dia punya. Ibu dan anak itu diam sejenak, menikmati waktu bersama yang mungkin sebentar lagi akan sulit mereka lakukan. Ketukan pada pintu terdengar dari luar kamar Achala. Kompak, mereka menoleh ke sumber suara.

"Mbak Acha? Ada di dalam?" Suara asisten rumah tangga terdengar setelahnya.

"Iya, Bi. Kenapa?" Achala menyahuti panggilan itu sembari mengurai pelukan.

"Itu, Mbak Acha, di bawah ada Mas Fandra."

Achala dan ibunya mempertemukan tatapan mereka beberapa detik. "Affandra ada di sini? Kapan pulang?" tanya mamanya.

Achala mengangkat bahunya. "Mungkin baru sampai. Dari Bandung langsung ke sini."

Ibu Achala berdecak. "Anak itu! Masih saja sama, apa-apa bukannya pulang ke rumah dulu." Mama terkekeh mengingat kelakuan sahabat anaknya itu.

"Dulu ibunya Affa sering bilang ke mama, kalau butuh anak laki-laki adopsi aja si Affa. Toh, dia juga lebih suka pulang ke sini daripada ke rumahnya sendiri."

Achala tergelitik mengingat kejadian lalu, dia mengakui Affandra lebih sering menghabiskan waktu di rumahnya. Entah itu mengerjakan tugas sekolah, sekadar mengobrol, atau Affandra yang sengaja numpang tidur siang di ruang keluarga Achala, dengan alasan sofa di rumahnya tidak seempuk di rumah Achala.

"Ibunya udah sibuk nyuruh Affa nikah. Semua temannya sudah pada nikah dan punya anak. Dia masih aja main-main."

"Emangnya ... selama Achala nggak ada, Affa pernah bawa cewek nggak, Ma?"

"Mama sih kurang paham, tapi ibunya sering cerita. Kalau Affa didesak buat ngenalin perempuan ke ibunya, pasti jawabnya sama. Ibu udah kenal sama orangnya. Ibunya bingung, gimana mau kenal coba, dikenalin aja belum."

Achala terkekeh. "Anak itu ada-ada aja, tetep aja aneh kayak dulu."

"Kamu kenal, Cha? Sama—"

Ucapan Ibu Achala terpotong, suara ketukan di pintu kamar Achala menginterupsi kegiatan ibu dan anak tersebut. Achala menggelengkan diikuti kekehan kecil mendengar suara di balik pintu dengan kelakar khas Affandra.

"Acha?" Suara tiga kali ketukan di pintu kamar Achala terdengar lagi. "Do you wanna build a snowman? C'mon let's go and play!"

Semakin terdengar lantang, Affandra menyanyikan sebuah lagu dari kartun yang sangat Achala sukai. "I never see you anymore, come out the door, it's like you've gone away ...."

"Punten, Neng Acha geulis."

Affandra terkesiap, nyanyiannya langsung terhenti dan berubah menjadi sapaan saat Achala tiba-tiba membuka pintu kamarnya. Cengiran Affandra terbit setelahnya.

"Berisik banget, sih," cibir Achala.

Mata Affandra bergulir ke samping Achala, senyumnya naik saat mendapati mama sudah berdiri di samping Achala.

"Eh, Mama. Sehat, Ma?" Affandra meraih punggung tangan wanita itu untuk dia cium.

"Alhamdulillah, sehat. Kamu udah pulang ke rumah belum, Fa?"

"Udah dong, Ma. Bisa-bisa beneran disuruh pindah KK sama ibu, kalo belum pulang ke rumah, tapi udah ke sini." Affandra terkekeh renyah, mengingat perkataan ibunya yang akan mengusirnya karena lebih suka di rumah Achala ketimbang rumahnya sendiri.

Achala berdecih memperhatikan tingkah sahabatnya ini. Meskipun sudah lama terpisah, bukannya menuntaskan rasa rindu, Achala justru ingin menjitak kepala Affandra.

"Udah siap, Cha? Katanya mau pindahan ke apartemen hari ini."

Achala mengangguk, jarinya menunjuk satu koper besar yang masih di dalam kamarnya. Affandra paham dengan isyarat dari Achala. Bergegas pria itu masuk, membawa koper itu ke lantai bawah.

"Yuk, Ma. Kita tunggu di bawah," ajak Achala pada sang mama.

"Affa, aku tunggu di bawah sama mama. Itu tas aku di atas tempat tidur sekalian tolong bawain, ya!" teriak Achala sedikit menoleh ke belakang.

Affandra sedikit meringis dengan beban yang dia angkat, belum lagi kesusahan meraih tas Achala. Dengan semua tenaga yang dia punya, menggeret koper besar itu ke lantai bawah, melewati anak-anak tangga yang cukup menyulitkan langkahnya.

Affandra menghela napas lelah setelah mengangkut semua koper milik perempuan itu, matanya mencari keberadaan Achala yang tidak dapat dia temukan. Kepalanya menyapu ruang tengah, Achala tetap saja belum ditangkap oleh netranya.

"Cha?" panggil Affandra dengan lantang.

Belum juga ada sahutan, Affandra melangkah ke dapur. Menyirami tenggorokannya yang kering dengan segelas air dingin rasanya menyegarkan. Baru juga sampai di pintu pembatas ruang tengah dan ruang makan, suara Achala sudah menyapa rungu Affandra.

"Nih, buat kamu." Achala menyodorkan satu botol air mineral dingin. "Pasti haus, 'kan? Aku paham kamu selalu gitu, baru kerja sedikit sudah ngeluh," canda Achala pada Affandra yang diiringi kekehan dari keduanya.

"Nggak ada air yang kalau diminum, ada sensasi menggigit di lidah, Cha? Bening banget nih," sindir Affandra meminta mineralnya diganti dengan minuman soda.

"Kopi dengan topping sianida, mau?"

"Cha! Kejam banget kamu mau ngeracuni temen sendiri." Affandra mencebikkan bibir bawahnya.

Achala menepuk bahu pria itu. "Nggak pantes merajuk. Ingat umur udah mau 29 tahun."

Perempuan itu berlalu meninggalkan Affandra yang sibuk meneguk air yang Achala tawarkan. Setelahnya langkah Affandra menyusul si wanita, sesekali suara gelak tawa mereka terdengar di ruang tengah.

Tanjung Enim, 21 Februari 2021
Republish, 03 Oktober 2021

Salam Sayang ❤️
RinBee 🐝

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top