17 🌐 Di Antara Bujur Lintang




🌍🌍🌍

Tarikan napas setelah mengucapkan ikrar ijab kabul Lintang embuskan. Entah napas gusar atau lega, tidak bisa Achala tebak secara kasat mata. Pun pria itu tentu tidak akan bercerita tentang arti embusannya tersebut.

Lintang berdiri dengan gagahnya, pasrah dengan petugas yang membimbingnya melalui serangkaian prosesi adat pernikahan. Dengan pakaian pengantin Jawa, Achala menatap takjub pahatan Tuhan pada wajah Lintang, ia merasa beruntung bisa menikah dengan pria yang dipilihkan oleh kedua orang tuanya, pria yang sudah Achala kenal sejak lama. Lintang, si kakak kelas yang ia kagumi saat duduk di bangku sekolah dasar, si pencuri hatinya secara diam-diam.

Setelah ijab kabul selesai pagi tadi, kini prosesi pernikahan adat Jawa yang akan mereka lakukan adalah upacara panggih atau yang sering akrab dikenal dengan istilah temu manten.

Wanita paruh baya dengan balutan kebaya putih dan jarik batik, rambut disanggul, serta kacamata baca yang bertengger di hidungnya itu, mengangsurkan gulungan daun sirih yang diikat dengan benang putih pada Achala dan Lintang yang berdiri berhadap-hadapan.

"Ini adalah proses balangan gantal," ujarnya. "Le, kamu lempar gantalnya ke arah dada istri kamu. Dan kamu, Nduk. Lempar ke arah lutut suamimu."

Menuruti titah sang ketua prosesi, Lintang mengayunkan tangannya pelan. Gantal yang semula ada di tangannya, sudah terlempar tepat mengenai bros yang terpasang di tengah dada kebaya putih yang Achala kenakan.

"Bagus. Tepat sekali sasarannya. Ini tanda bahwa ia telah mengambil hati sang pengantin wanita," ujar wanita itu menjelaskan makna prosesi yang dilakukan Lintang tadi.

Tak kalah jauh berbeda, Achala juga melemparkan gantal ke arah Lintang, tetapi yang dilemparkan Achala mengenai betis Lintang.

"Untuk pengantin wanita, ini adalah sebagai tanda bakti terhadap suamimu."

Sang ketua prosesi memberi titah agar kedua pengantin berpindah ke tempat lainnya. Di sana terdapat baki persegi panjang yang berisi sebutir telur ayam mentah dengan taburan bunga dan daun pandan di atasnya. Telur tersebut yang nantinya akan diinjak oleh pengantin pria.

"Ini namanya ritual ngidak tagan atau nincak endog. Ritual ini sebagai harapan agar setelah menyatu sebagai suami istri, pernikahan kalian akan segera dikaruniai keturunan."

Achala dibimbing berlutut di depan Lintang, membasuh kaki pria yang berstatus suaminya beberapa jam lalu. Meski sedikit kesusahan karena kain batik yang ia kenakan, tetapi Achala tetap melakukan dengan telaten, ia mengambil air dari gayung kecil yang terbuat dari batok kelapa. Menyiramkannya ke punggung kaki Lintang, membasuh kaki pria itu dengan teliti.

"Ini adalah sebagai bentuk kasih sayang dari istri untuk suaminya."

Kembali semua rangkaian adat dilaksanakan oleh Lintang dan Achala hingga selesai dilalui dengan baik. Kini, kedua mempelai itu sudah berdiri di atas panggung. Menyalami setiap tamu undangan yang datang, tanpa Achala tahu ada sepasang netra memperhatikannya dengan saksama sejak tadi.

"Affandra," sapa orang tua Achala pada sosok yang sudah naik ke atas panggung itu.

Affandra menyalami kedua orang tua sahabatnya. Pria itu tersenyum seperti biasanya. Ia memeluk kedua orang tua Achala layaknya seperti orang tuanya sendiri.

"Kamu kapan pulang, Fa? Kata ibumu, kamu nggak bisa pulang karena banyak tugas kuliah."

Affandra menyengir, laki-laki yang sudah tercatat sebagai mahasiswa di salah satu universitas negeri Yogyakarta itu, menyempatkan diri menghadiri pernikahan sahabat kecilnya. Ia berjongkok di depan Ayah Achala yang duduk di kursi roda.

"Pakde, sehat? Jangan sakit-sakitlah, De. Jaga kesehatan, ya, biar bisa ajak cucu main bulu tangkis," gurau Affandra.

Ayah Achala berusaha tersenyum meski susah, strok embolik yang dideritanya sejak dua bulan lalu menyebabkan kelumpuhan di beberapa anggota tubuhnya. Semua gerak dan aktivitasnya sangat terbatas.

Laki-laki berusia sembilan belas tahun itu bangkit berjalan ke tengah panggung, tempat di mana sang sahabat dengan cantiknya mengenakan gaun pengantin. Ia tersenyum lebar hingga deretan giginya terlihat.

"Ciye ... jadi bini orang sekarang," ucapnya heboh.

Achala hanya tersipu malu, pipinya yang dihiasi blush on semakin merona saja. Achala menyalami Affandra seperti tamu yang lainnya. Menanyakan apakah pria itu sudah menyantap hidangan atau belum, bahkan genggamannya pada telapak tangan Affandra belum juga terlepas. Ia sangat bahagia sahabatnya bisa hadir di momen bahagianya.

"Kamu kok baru kelihatan sekarang, Fa? Aku pikir kamu beneran nggak datang. Hampir aja aku nangis gara-gara kamu nggak kelihatan." Achala mengungkapkan semua yang ia tahan sejak tadi.

"Aku datang tadi setelah selesai akad, Cha. Terus ada di belakang."

Affandra tersenyum jahil menatap sahabat kecilnya. "Oh, jadi, ini yang buat kamu nggak mau ambil kuliah ke Yogyakarta sama aku? Beasiswa ke Inggris juga kamu tolak demi dia. Langgeng, ya, Cha." Affandra tertawa sumbang.

Tubuhnya bergeser dua langkah ke samping kanan menjadi berhadapan dengan Lintang, Affandra tanpa gurau dan candaan seperti saat menyalami Achala, ia hanya mengulurkan telapak tangan pada si pengantin pria, memberi selamat. Pria dingin itu menyambut uluran tangan Affandra tanpa ekspresi apalagi beramah-tamah, jangan mimpi!

"Jagain temen gue ya, Mas. Kalau nggak bisa jaga dengan baik, setidaknya jangan sakiti. Balikin aja ke keluarganya, gue bisa jadi peran pengganti jagain dia," bisik Affandra yang hanya bisa didengar oleh Lintang.

"Fa, foto bareng, ya. Buat kenang-kenangan," ajak Achala menarik bagian lengan kemeja batik yang Affandra kenakan.

Affandra berdiri di samping kiri Achala. Lintang tidak seperti Achala dan Affandra, ia hanya datar menatap ke kamera. Posisi yang pas, bumi yang berada di antara lintang dan bujur.

Affandra turun dari panggung setelah selesai sesi foto bersama pengantin itu. Lintang tidak peduli sebenarnya pada laki-laki yang bisa ia lihat lebih muda darinya itu. Hanya saja ... pesan ucapan yang ia tinggalkan membuat Lintang akhirnya penasaran siapa anak itu.

"Siapa?"

Achala menoleh, dari pagi hingga sekarang. Sudah berapa jam mereka berdua berdekatan. Baru sekarang pria itu membuka suara.

"D-dia, Affa. Temen aku dari kecil. Rumahnya nggak jauh dari rumah papa, kok, Mas."

Achala pikir, Lintang akan senang mendengar penjelasannya terkait siapa Affandra. Ia kira Lintang akan menerima, temannya adalah teman Lintang juga. Namun, nyatanya pria itu tetap sama. Masih bersikap dingin, tak peduli tentang kehidupan dan pertemanan Achala.

"Kamu pikir air itu gratisan?! Mau berapa banyak lagi yang akan mau buang percuma?"

Suara bernada menyindir di depan pintu membuat Achala terlonjak, bayangan tentang pernikahannya bersama Lintang seketika bubar entah ke mana dari benaknya. Sudah berapa lama ia melamun ke momen masa lalu itu? Suara bernada tinggi itu kembali terdengar, membuat Achala menarik semua kesadarannya.

Ia gelagapan segera menyimpan alat untuk menyiram bunga-bunga yang ia gunakan tadi, segera mematikan keran air. Benar kata Lintang, mau berapa banyak lagi air yang ia buang percuma.

"M-mas Lintang udah pulang?"

"Menurut kamu?!"

Tanjung Enim, 25 Oktober 2021
Republish, 17 Sept 2023
RinBee 🐝


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top