16 🌐 Tetangga Unit Sebelah
🌍🌍🌍
"Hotel? Kamu kesambet apa gimana, sih, Fa?"
"Aduh! Nggak usah teriak juga kali, Cha."
Affandra mengusap telinga kirinya, pria itu menyetir dengan satu tangan. Pandangannya kembali ke depan, fokus pada jalanan. Dia tidak menyangka jika respons Achala akan seperti ini.
Bagaimana Achala tidak terkejut mendengar cerita Affandra yang sudah pindah pekerjaan. Atau lebih tepatnya ia mengusulkan diri untuk pindah ke Jakarta, tidak di Bandung lagi.
"Ya gimana nggak teriak, Fa. Kerjaan kamu di Bandung udah di posisi aman."
Affandra tergelak mendengar penuturan Achala, tangan kirinya memukul setir. "Posisi aman? Berasa ikutan kuis yang hadiahnya satu milliar itu loh. Titik aman pertama, titik aman ke dua. Titik—"
"Affandra! Orang serius juga. Maksud aku kan, posisi di sana udah bagus. Kalo kamu pindah otomatis kamu harus beradaptasi lagi dengan kerjaan baru." Achala mencebik, tangannya terlipat di depan dada kemudian membuang muka ke luar jendela. Ia kesal dengan Affandra yang selalu bercanda.
"Maaf ... maaf, Cha." Affandra mengulurkan tangannya, mengusap singkat belakang kepala Achala. "Dengerin alasan aku dulu, ya. Kerjaannya juga nggak jauh beda. Cuma beda tempat aja. Lagian aku pengin deket keluarga aja, Cha. Biar ibu nggak capek telepon terus nanyain kapan pulang, kapan cuti."
Achala mendengarkan dengan saksama, ada benarnya juga kata pria itu. Sebagai anak tua, apalagi laki-laki. Tentu kehadiran Affandra sangat berpengaruh di keluarganya. Achala bisa merasakan itu, ia pernah berjauhan dari keluarga. Tidak berlebihan jika ibunya Affandra seperti itu, mamanya juga demikian.
"Terus juga ... biar kamu tinggal telepon aja kalo butuh bantuan aku. Kamu kan suka gitu biasanya, nggak bisa apa-apa tanpa bantuan aku."
Mata Achala membeliak, ia tidak terima sekali dengan penuturan yang sahabatnya sampaikan barusan. Kalimat Affandra seolah mendeskripsikan bahwa ia adalah wanita yang bergantung padanya. Achala berdecak kencang, rasanya ingin memukul kepala laki-laki yang tertawa jahil di sampingnya.
"Fa, aku lima tahun hidup di Inggris sendirian loh, seorang diri," sindir Achala memukul telak ucapan Affandra, meski ia tahu sahabatnya hanya bercanda soal dirinya.
Mobil Achala yang dikendarai Affandra sudah terparkir di basemen apartemen. Mereka berjalan santai menuju lift. Dentang berbunyi setelah pria itu menekan tombol angka lantai yang akan mereka tuju.
"Cha, omong-omong ...."
"By the way, Fa."
"Ya elaah, motong terus sih, Cha. Iye tau by the way itu omong-omong. Kan lupa aku mau tanya apa tadi." Affandra berkacak pinggang, kemudian mencak-mencak mengingat apa yang mesti ia ucapkan tadi.
Pria itu mengetuk-ngetuk dahinya dengan telunjuk, seolah itu bisa mengembalikan kalimat yang terlupa sebelum ia keluarkan. Achala tertawa ringan memperhatikan tingkah sahabatnya.
"Ah, iya." Affandra memukul dinding lift, telunjuknya mengacung ke atas dengan ekspresi semringah. "Unit sebelah kamu udah ada penghuninya, Cha?"
Achala menipiskan bibir. "Ada. Temen kamu penghuninya, makhluk alus," ucap Achala enteng.
Atensi mereka teralih saat pintu lift sudah terbuka, bergegas mengayunkan langkah menuju unit Achala. Lagi-lagi pria itu penasaran dengan unit di sebelah Achala.
Affandra tidak main-main ingin menyewa unit di sebelah Achala, tetapi keadaan ekonominya yang tidak sanggup. Ia tahu pasti butuh merogoh saku yang dalam untuk biaya tempat ini. Menyewa saja Affandra sudah tidak bisa membayangkan, apalagi membeli. Sudahlah, ia tidak akan sanggup.
"Temen aku nggak ada yang halus, Cha. Semua kasar, kecuali kamu, sih."
"Jadi, kamu ngatain aku makhluk alus, gitu?"
"Yeeeh ... dia yang mulai, dia yang baperan."
Achala tidak menggubris ucapan Affandra selanjutnya, tangannya sibuk menekan tombol angka pada pintu apartemennya. Setelah bunyi khas pertanda pintu terbuka, Affandra sudah masuk mendahului Achala selaku tuan rumah.
"Kamu nggak pernah kreatif bikin, password. Mainstream sekali, Acha." Affandra menyindir dengan ekspresinya menyebalkan.
Achala berdecak kesal dikomentari perihal kata sandi yang ia masukkan. Tidak ada yang salah bukan jika Achala menggunakan tanggal lahirnya sebagai kata sandi. Namun, Affandra benar, kombinasi angka yang seharusnya sangat rahasia itu justru menjadi mudah ditebak.
Tanpa menunggu dipersilakan, pria itu sudah menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tengah. Si pemilik rumah berjalan santai menuju dapur, tak memedulikan laki-laki itu.
"Nggak usah repot-repot, Cha. Cola aja kayak biasa!" teriak Affandra agar wanita itu peka jika ia adalah tamu yang perlu dijamu.
Lima menit kemudian Achala duduk di sofa seberang Affandra. Baik di rumah Achala maupun di apartemen bagi Affandra tidak ada sofa seempuk ini. Achala berdiri di depan Affandra, mengangsurkan satu kaleng soft drink. Pria itu mengerutkan dahinya, tidak percaya dengan yang barusan terjadi. Bergegas ia duduk dengan posisi yang benar dan menerima minuman soda itu.
"Tumben baik, peka lagi. Biasanya mau aku kehausan sampe mampus pun kamu nggak peduli. Malah teriak 'Ambil sendiri, sih, Fa. Tangan kamu nggak buntung, kan? Iya, kan?" cibir Affandra pada Achala.
"Aku nggak punya tenaga buat debat sama kamu, Fa. Kerja hari pertama capek banget ternyata," keluh Achala, menghembuskan bokongnya di sofa tunggal berseberangan dengan Affandra.
Sesaat suasana menjadi tanpa obrolan. Hanya decapan kencang yang sengaja Affandra buat-buat agar menarik perhatian wanita di depannya. Affandra paham betul jika sahabatnya itu sangat membenci tiruan bunyi saat sedang makan atau minum. Awalnya Achala abai, tetapi lama kelamaan ia geram juga dengan suara itu.
"Astaga! Affandra Bujur Putra, bisa nggak, sih, minumnya biasa aja. Risih tahu, nggak!" Achala mendelik, aktivitas menelisik ponselnya harus terganggu dengan suara yang Affandra buat.
"Nah, gitu dong. Bersuara, Cha. Ngobrol keg atau apalah. Laper nih," keluhnya sambil mengusap-usap perutnya.
Achala membenahi posisi duduknya. "Mau makan keluar atau delivery aja?"
Affandra menarik garis senyum sebelah, memikirkan kira-kira mereka akan makan di sini atau di luar.
"Masak sendiri aja, yuk, Cha. Masakan kamu kan mantep tuh." Affandra menarik senyum menggoda.
"Masak?" tanya Achala agak bingung. Mengingat yang dipilih Affandra bukanlah opsi yang ia tawarkan.
"Jangan bilang di apartemen semewah ini nggak ada beras, Cha?"
Achala bergerak pura-pura hendak melemparkan ponsel di tangannya ke arah Affandra. Pria itu hanya terkekeh saja. Achala berdiri mengayunkan tungkai menuju dapurnya. Affandra pun turut bangkit mengekori Achala. Gerakan mereka terhenti saat bel berbunyi.
"Katanya mau masak. Kok pesen delivery?" Achala mengomel tanpa menunggu penjelasan Affandra, perempuan itu berjalan ke pintu membukakan pintu untuk sang pengantar makanan.
Bel berbunyi lagi tidak sabaran. "Iya sebentar," ujarnya menarik handel pintu.
Mata Achala membulat melihat yang berdiri di ambang pintu bukanlah pengantar makanan, melainkan Lintang.
Tanjung Enim, 16 Sept 2023
RinBee 🐝
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top