14 🌐 Kamu?
🌍🌍🌍
Riuh tepuk tangan terdengar memenuhi aula pertemuan, mengiringi langkah Lintang turun dari podium usai memberikan kata sambutannya. Malam ini, adalah perayaan atas keberhasilan Lintang dan beberapa kolega lainnya memenangkan tender besar di Bali.
Perusahaan Ayah Lintang yang terancam gulung tikar itu perlahan mulai bangkit. Proses itu pun tak luput dari usaha dan inovasi-inovasi cemerlang yang Lintang lakukan. Dan yang paling utama adalah ... suntikan dana dari perusahaan ayah mertuanya.
Siapa yang tidak tahu dengan keluarga mertua Lintang, seorang yang berasal dari keluarga pengusaha sukses seantero Jakarta. Memiliki banyak bisnis di bidang tekstil, properti, bahkan merambat usaha pertambangan. Namun, pasal kesehatanlah yang menghambat mertuanya itu untuk tetap berada di kursi kebesaran.
Sepertinya adil bukan? Lintang menikahi anak tunggal dari pengusaha tersebut demi sokongan modal untuk menyelamatkan perusahaan ayahnya, sekaligus peran pengganti mertuanya untuk menjaga Achala. Namun, kenyataannya seteguk pil pahit pun tak sebanding dengan apa yang dirasakan Achala dalam pernikahannya.
Lintang berjalan tegap, terlihat sangat gagah sekali, langkahnya berhenti pada meja bundar dan bergabung kembali bersama keluarganya.
"Selamat, ya, Lintang. Kamu memang kebanggaan ayah sejak dulu," ujar seorang wanita dengan nada sedikit menggoda.
"Mbak berlebihan, bukannya Mbak Ajeng yang selalu jadi anak kesayangan ibu dan ayah. Dari dulu selalu dibelain." Lintang membalas dengan tak kalah mencibir.
Mereka tergelak, perempuan yang dipanggil Lintang dengan nama Ajeng tersebut adalah kakak perempuannya. Suara lembut lainnya menginterupsi lagi, Lintang mengalihkan atensinya pada wanita di sampingnya.
"Selamat, ya, Mas. Kamu hebat," puji Achala bangga. Senyumnya tertarik tinggi, menghiasi wajah manisnya.
"Makasih, ya, Sayang. Kamu juga hebat udah dukung aku selama ini." Lintang meraih tangan Achala dan menggenggamnya posesif.
Sudah tahu bukan? Semua perlakuan manis dan ucapan lembut dari bibir Lintang pada Achala, hanya akan keluar jika mereka berada di depan keluarganya. Achala sudah mulai bisa menikmati akting Lintang ini. Sesekali ia mengikuti alur cerita yang Lintang buat, menyajikan plot twist yang tak pernah Lintang tebak sama sekali.
Seperti sekarang ini, tangan Achala yang bebas meraih beberapa lembar tisu, menyeka keringat di dahi Lintang dengan penuh kelembutan.
"Sama-sama, Mas. Kamu nggak gugup kan tadi? Sampe keringatan begini. Dah, selesai ... suami aku udah ganteng lagi," ujarnya tersenyum manis ke arah netra kelam Lintang.
Jakun Lintang naik turun, entah ia kehausan atau gugup karena wajah mereka yang hanya berjarak beberapa senti saja. Ia bisa melihat dengan saksama, mata kecil yang dihiasi bulu mata lentik, hidung mangir, dan bibir yang tidak begitu tebal maupun tipis, yang mungkin terasa manis jika dicecap. Namun, sayangnya selama pernikahan mereka terjalin, Lintang tidak pernah berniat untuk mencicipinya.
"Mas, aku izin ke toilet dulu, ya," pamit Achala melepaskan genggaman posesif Lintang.
Lintang mengangguk, kentara sekali ada sesuatu yang mengganggunya. Wajah pria itu menegang. Achala keluar dari mejanya, berjalan ke sudut ruangan mencari petunjuk keberadaan toilet.
Sepeninggalan Achala, obrolan ringan terjalin di antara Lintang, Ajeng, dan suaminya. Suami Ajeng salah satu kolega Lintang dalam kerja sama tender di Bali. Mereka benar-benar dalam keadaan yang bahagia. Sampai ... ketukkan sepatu hak tinggi terdengar menghampiri meja mereka. Suara lembut menyapa ketiganya.
"Kamu?" Ajeng berseru, seketika ia menampilkan ekspresi tidak suka.
"Selamat malam Lintang, Mbak Ajeng, dan ...."
Wanita itu menjeda ucapannya karena lupa siapa nama suami Ajeng. Ia mengulas senyum ramah, tetapi tidak serta merta meluluhkan hati Ajeng. Kakak perempuan satu-satunya Lintang itu sangat tidak menyukai wanita ini.
Ajeng keluar dari mejanya, tatapan nyalang ia lemparkan pada Trishia dan Lintang.
"Lintang, ikut mbak sekarang!" perintahnya. Ia sangat geram sekali melihat kehadiran Trishia di sini.
Namun, tak ada pergerakan dari Lintang maupun Trishia. Sampai suara acaman Ajeng pun ia lontarkan.
"Lintang! Jangan sampai acara kamu malam ini mbak hancurkan, mbak nggak takut malu."
Lintang keluar, mengikuti langkah Ajeng berhenti di lorong koridor, menjauh dari keramaian. Wanita yang hanya terpaut dua tahun lebih tua dari Lintang itu berbalik, menatap sang adik nyalang.
"Kamu." Telunjuk Ajeng mengacung pada sang adik yang lebih tinggi darinya. "Kenapa dia masih ada di sini?"
"Aku nggak tahu, Mbak."
Ajeng melipat tangannya di depan dada. "Nggak usah bohong, Lintang!"
Dua bersaudara itu menatap saling sengit. Lintang tak berani menjawab, atau lebih tepatnya tak tahu harus menjawab apa. Ia benar-benar tidak mengetahui, kenapa Trishia bisa berada di acara kantornya.
"Aku ke sini bukan atas undangan Lintang, Mbak Ajeng. Aku jadi salah satu ambasador rekan Lintang," ujar suara di ujung koridor.
Entah sejak kapan Trishia berada di sana, berjalan dengan pongah menghampiri mereka. Senyum licik tercetak jelas di wajahnya. Lengannya mengapit posesif tangan Lintang seraya bergelayut manja.
Benar. Lintang tidak pernah mengundang wanita itu. Ia masih belum siap mati di tangan keluarganya jika ketahuan masih berhubungan dengan Trishia, wanita yang menurut keluarganya tidak punya adab tersebut. Namun, sekarang ... selain ibunya, ada Ajeng yang mengetahui permainan Lintang di belakang Achala.
"Kamu? Perempuan nggak tahu malu. Lepas ...." Ajeng menarik paksa lengan Trishia dari Lintang.
Wanita itu terpekik, saat kuku Ajeng secara tak sadar melukai tangannya. Tidak seberapa, hanya ada goresan merah memanjang di kulit putih itu, tetapi rengekan menjijikkan dari bibir Trishia membuat Ajeng bertambah naik pitam.
"Mbak! Tolong hentikan. Kamu kenapa sih, Mbak?"
"Kenapa kamu bilang?" Ajeng berdecih menatap lurus pada wajah tampan sang adik. "Kamu yang kenapa, Lintang. Kamu sudah punya istri, hei," kata Ajeng memperingatkan, kalau-kalau sang adik lupa.
Ajeng menghela napas berat. Kepalanya akan meledak jika terus-terusan berada di hadapan pasangan laknat tersebut.
"Lintang, mbak ingatkan ke kamu. Jangan bermain api, berhenti sampai hari ini aja. Kamu bereskan yang terjadi sekarang, mbak anggap kamu khilaf. Jangan sampai terdengar oleh Achala ataupun ayah."
Ajeng berbalik, meninggalkan dua sejoli itu. Dadanya masih naik turun menahan amarah yang tidak bisa ia lepaskan semuanya. Namun, sayang. Apa yang ingin ia sembunyikan sudah terlambat. Di balik dinding tidak jauh dari mereka, ada Achala mendengar semua perdebatan mereka tadi.
Perpaduan suara pantopel dan high heels mengalun merdu. Lintang dan Trishia berjalan meninggalkan tempat itu, mengambil jalan berlawanan dari Ajeng. Mata elang Lintang dengan tajam segera menemukan—mangsa—Achala yang bersandar di balik dinding.
"Kamu?"
***
"Kok, kamu bisa di sini, Fa?
Pria dengan tinggi 178 sentimeter itu berdiri di trotoar jalan. Senyumnya terangkat tinggi, tangannya melambai heboh menjadi pusat perhatian orang berlalu lalang, terutama karyawan Achala. Affandra berlari kecil menghampiri Achala, tangan pria itu mengusap puncak kepala Achala. Suatu hal yang biasa ia lakukan pada sahabat kecilnya ini.
Achala mendongak, memicingkan matanya. Bukan. Ia bukan tanpa sebab mengeluarkan ekspresi seperti itu, tetapi karena menghindari cahaya matahari sore yang menerpa wajahnya.
Telapak tangan Achala terangkat, sejajar dengan pelipisnya menghalangi silaunya sinar sang baskara.
"Kamu kenapa ada di sini, Affa. Kamu nggak balik ke Bandung?"
Affandra menggeser tempatnya berdiri menjadi di hadapan Achala membelakangi sinar matahari yang sudah condong ke barat. Tinggi tubuhnya cukup melindungi tubuh Achala.
Dua hari yang lalu, sahabatnya ini baru saja pulang ke Jakarta dan pamit kembali ke Bandung, dengan alasan setumpuk pekerjaannya sudah menunggu. Namun, sekarang yang Achala lihat pria ini masih berada di Jakarta dan berdiri cengengesan di hadapannya.
"Aku ...." Affandra sengaja menggantungkan kalimatnya. "Ada, deh."
Achala gemas dengan pria ini, tangannya bergerak acak memukul lengan hingga bahu sahabat kecilnya itu. Affandra tergelak, tangan kanannya menangkap lengan Achala agar berhenti dari kegiatan memukuli tubuhnya.
"Mobil kamu sudah diperbaiki, tadi aku yang bawa ke bengkel," ujar Affandra seraya mengusap kepala Achala, membenahi rambutnya yang beterbangan tertiup angin.
"Oh, ya? Kok bisa?" tanya Achala penasaran.
"Tadi aku ke apartemen kamu, aku kira kamu belum mulai kerja. Aku ketemu Mas Rendra mau bawa mobil kamu ke bengkel. Jadi, ya udah aku nawarin diri buat bawa ke bengkel."
"Makasih, ya, Affa." Achala tersenyum, ia menaikkan dua jempolnya ke atas. "Kamu terbaik," lanjutnya.
Affandra bersedekap, garis senyumnya tertarik datar. "Makasih nggak bisa buat jajan, Cha," sindirnya.
Achala tertawa renyah, ia paham akan sindiran itu. "Baiklah, mau makan di mana, Fa?"
Mata Affandra terbuka lebar. "Eh, maksudku bukan minta traktir, loh, Cha. Aku bercanda doang, aku bukan pamrih, ta-tapi kalau kamu maksa ya aku sih terima-terima aja."
Ucapan Affandra dan gestur tubuhnya bergerak heboh. Semakin menambah rasa geli Achala pada pria itu.
"Alaah, Fa, Fa. Sok-sokan malu, nggak pantes, udah. Aku paham ya gimana kamu."
Affandra tergelak, kedua tangannya refleks menangkup di kedua pipi Achala. "Tau aja sih kamu, Cha. Emang temen aku paling pengertian."
Kegiatan Affandra di pipi Achala terlepas seketika saat dehaman keras menginterupsi dan mengalihkan atensi mereka pada sosok yang menghasilkan suara tersebut.
Affandra berbalik, memastikan siapa orang yang berdiri di belakangnya. Bayangan tubuhnya saja yang awalnya Affandra lihat.
"Kamu? Eh, maksudnya Mas, Bang, Eh, gimana sih manggilnya ...."
Affandra bingung harus menggunakan kata sapaan apa pada pria yang kini berdiri di depannya, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Matanya tajam menatap Affandra dan Achala bergantian.
"Selamat sore, Pak Lintang," sapa Achala mendahului.
"Kamu belum pulang? Ayo kita pulang, bentar lagi magrib," ujar Lintang.
Alih-alih membalas kalimat sapaan. Ia justru mengucapkan kalimat ajakan yang membuat Achala mengernyit bingung. Jangan lupa kata 'kita' yang sedikit mengandung arti lain di telinga Affandra.
"Maaf Pak Lintang, saya sudah dijemput." Achala tersenyum ringan tanpa beban, tetapi tidak dengan Lintang.
Pria itu berekspresi pahit saat Achala lebih memilih Affandra dan berlalu meninggalkan tempat itu, terlebih melihat tangan wanita itu melingkar indah pada lengan Affandra. Ada sesuatu ingin meledak di rongga dadanya. Namun, ia tak pantas untuk marah. Ia sangat sadar posisi dan statusnya sekarang. Untuk sore ini, Lintang terlalu percaya diri jika Achala pasti akan mau pulang bersamanya lagi. Pria itu lupa, bahwa semesta punya kendali penuh atas semuanya.
Tanjung Enim, 20 Okt 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top