13 🌐 Titipan Dari Ibu
Binatang malam menyapa rungu, hawa dingin pun turut menembus pori. Pertanda jika sudah cukup larut malam, bahkan beberapa menit lagi hari dan tanggal akan berganti.
Mobil Lintang memasuki carport rumah mereka. Selesai acara makan malam keluarga. Seperti biasa, Lintang akan segera mengajak Achala pulang. Jangan harap mereka akan menginap, meski keluarganya memaksa untuk tinggal barang satu malam saja.
Lintang bukan tidak ingin menginap di rumah orang tuanya, tempat yang banyak ia habiskan di masa kecil hingga beranjak dewasa. Hanya saja ... ia tidak ingin menghabiskan tidur malamnya di ruangan yang sama dengan Achala. Maka dari itu, selarut apa pun acara keluarga selesai, ia akan tetap pulang dengan berbagai alasan pada orang tuanya, bahkan keluarga yang lain.
Tangan Achala mendorong pintu mobil, hendak turun dari sana sesegera mungkin. Namun, pergerakannya terjeda karena panggilan dari Lintang. Ia menoleh ke samping, tatapan bingungnya bertaut dengan netra elang Lintang.
"Ya, Mas?"
"Bawa itu," tunjuk Lintang pada jok belakang menggunakan ekor matanya. "Jangan mengotori mobilku dengan permintaan aneh-aneh kamu pada ibu."
Achala mengerutkan dahi, tidak paham maksud dari pria yang-sialnya-berstatus suaminya. Permintaan apa? Dia tidak merasa minta apa pun pada mertuanya itu.
Wanita itu menoleh ke belakang, ada tas berwarna hijau muda dengan ukuran sedang di sana. Achala tahu hanya dengan sekali lihat, tas itu pasti berisi wadah untuk menyimpan makanan, karena mereknya yang populer di kalangan ibu-ibu. Katanya, ibu-ibu akan murka jika salah satu dari koleksi mereka ini dihilangkan anak atau suami mereka.
"Itu titipan ibu, lain kali tidak usah minta macam-macam. Gunakan pikiran kamu, gimana bisa masak seperti masakan ibu."
Acha mengangguk, melanjutkan niat awalnya, yaitu turun dari mobil pria angkuh itu. Ingin sekali Achala menyahuti ucapan Lintang dengan kata-kata tak kalah pedas, bahkan umpatan. Sepertinya tidak berlebihan dilontarkan ke wajah pria itu. Namun, Achala tetap Achala, entah sampai kapan kesabarannya akan bertahan. Akan tetap menunduk meski dicerca.
Wanita itu tidak langsung tidur dan beristirahat, meski jam besar di ruang tengah sudah menunjukkan lewat tengah malam. Langkah Achala diayunkan menuju dapur, ia membuka satu per satu wadah makanan yang tersusun rapi secara bertingkat itu.
Napas lelah Achala embuskan, menelisik titipan ibu mertuanya. Ada ayam goreng mentega, tempe orek kering, tongseng daging, sambal bawang dan sambal matah tersimpan terpisah dalam botol kaca.
Ia bingung, untuk apa mertuanya itu memberi ini semua. Mata Achala sedikit memicing, ada kertas terlipat di sisi kantong samping tas tempat wadah makan. Dengan perlahan ia membuka kertas itu, tulisan tangan rapi membentuk jajaran kalimat.
Ini ibu bekali untuk kalian, ayam mentega kesukaan Acha, yang lainnya kesukaan Mas Lintang. Acha simpan di kulkas dulu, ya. Besok tinggal dihangatkan.
"Makanan kesukaan Mas Lintang nggak begitu ribet ternyata, masakan rumahan," gumam Achala seraya memegang dua botol kaca berisi sambal.
Achala bergerak menuju kabinet sampingnya, memindahkan titipan dari ibu ke wadah yang lain. Menyimpan botol sambal pada jajaran saus, kecap, dan yang lainnya.
Selesai membereskan itu semua, wanita itu barulah melangkah menuju kamar untuk beristirahat. Langkahnya terhenti sejenak, matanya menoleh ke arah ruangan yang ada di depannya. Melalui pintu yang tidak tertutup rapat, Achala bisa melihat jika lampu pada ruangan itu menyala. Itu pertanda, pemiliknya ada di dalam sana.
Tanpa berniat memastikan, Achala melewati saja ruang kerja Lintang. Ia tidak ingin menampakkan wajahnya pada laki-laki itu. Sudah cukup di rumah mertuanya tadi, pria itu pasti ingin menenangkan diri dari hal yang memuakkan baginya. Achala tidak ingin mengganggu ketenangan Lintang, kecuali jika ia ingin dimaki oleh pria wajah dingin itu.
Namun, lagi-lagi langkah Achala harus terhenti, saat derit pintu pertanda dibuka ditangkap rungunya. Dan suara berat memanggil namanya.
"Achala."
***
"Ya, Mas?"
Achala Annandhita, bego banget, sih! Kenapa panggil mas lagi sih, Cha. Ya Allah, tolong lenyapkan saja hamba dari sini.
Achala mengembuskan napas, bisa-bisanya ia menyahuti panggilan dari pria yang duduk di balik kemudi itu dengan sebutan 'Mas' lagi.
"Cha? Kamu nggak apa-apa? Dari tadi mas tanya, tapi diem aja."
Lintang kembali bertanya pada wanita yang duduk di kursi belakang. Matanya melirik Achala dari spion dalam, memperhatikan wanita itu sekilas. Seperti ada yang menggangu pikiran wanita itu. Atau sebenarnya yang menggangu wanita itu justru ia sendiri?
"Tidak apa-apa, kok, Pak Lintang. Saya cuma kurang istirahat." Achala menyahuti ucapan Lintang dengan memijit dahinya.
"Jangan capek-capek, Cha. Kamu punya riwayat darah rendah."
Bodoh! Ngapain sih, Cha. Pakai bilang begitu. Makhluk es ini, kenapa juga berubah jadi cokelat hangat.
"Iya, terima kasih, Pak Lintang," ucap Achala masih bersikap membangun tinggi egonya.
Suasana menjadi hening sesaat, pria itu fokus pada kemudi dan jalanan di hadapannya. Sementara Achala sibuk menghalau pikiran tentang masa lalunya bersama Lintang.
Achala menggelengkan kepalanya, memori itu terus saja mengusik. Tangannya meraih ponsel di dalam tasnya, fokus pada benda canggih itu sebagai peralihan bagi Achala.
Semburat senyum Achala terbit, netranya menelisik di layar ponsel, atau lebih tepatnya pada foto yang seseorang kirimkan. Achala mengetikkan sesuatu pada kolom chat, membalas pesan yang orang itu kirimkan.
Kamu dapat dari mana foto ini? Aku dari dulu imut banget, ya, Fa.
A. Bujur putra:
Ibu yang kasih ke aku. Kata ibu, ini yang motret ibu. Aku cuma kelihatan tangannya doang di belakang kamu. Sedih nggak tuh. Anaknya aku atau kamu, sih?
Kamu di Jakarta?
Aku di hati kamu, Cha.
Achala tertawa pelan membaca chat dari Affandra. Belum lagi dengan berbagai emoticon yang pria itu kirimkan, mulai yang berderai air mata, hingga yang tertawa terpingkal. Semua memenuhi hampir seperempat layar ponselnya. Sahabatnya itu, selalu ada cara untuk membuatnya tertawa.
Dehaman keras dari depan menghentikan bahagia Achala sejenak. Garis senyum wanita itu tertarik datar, tidak melengkung ke atas saat ia mendapat chat dari Affandra beberapa menit yang lalu.
Lintang sengaja membuyarkan fokus wanita itu pada benda canggih yang ia genggam. Entah kenapa, pria itu tak menyukai dengan sikap Achala barusan, atau lebih tepatnya tidak bisa menerima bahwasanya senyuman bahagia wanita yang berstatus mantan istrinya itu, bukan disebabkan darinya.
Achala mendongak menatap lurus ke depan, netra mereka bertemu dari pantulan spion dalam. Berbeda dengan Achala, Lintang justru menarik senyum lebar hingga menampilkan lubang di kedua pipinya.
"Ada apa, Pak Lintang?"
"Ah, tidak apa-apa, Bu Acha. Saya cuma mau bilang, sebentar lagi kita sampai."
Sempat mengerutkan dahi dengan ucapan formal Lintang, Achala melemparkan pandangannya ke luar kaca jendela. Benar saja, keberadaan mereka tanpa Achala sadari sudah memasuki area perusahaan cabang. Mobil Lintang masuk ke parkiran khusus untuk para direksi, manajer dan jajarannya.
Setelah kereta besi itu benar-benar berhenti, Lintang tergesa melepas seatbelt dan berbalik menatap Achala yang sedang sibuk menyimpan kembali ponselnya ke dalam tas. Tatapan mereka bertemu, Achala sedikit canggung. Harus menggunakan kata apa untuk berterima kasih pada Lintang atas tumpangannya pagi ini.
"Mas-"
"Cha."
Lintang dan Achala berbarengan menyebutkan sapaan masing-masing. Layaknya pepatah lama, 'Ladies first'. Lintang memberikan kesempatan berbicara terlebih dahulu pada Achala.
"Kamu duluan aja, Cha."
Achala meneguk salivanya, mengusir rasa gugup yang tiba-tiba mendera hingga ke perutnya.
"Terima kasih banyak tumpangannya. Berkat Mas Lintang aku nggak telat di hari pertama ngantor."
Tidak apa-apa, untuk terakhirnya memangil dengan sebutan mas. Menyenangkan hati manusia lain pahala bukan?
Lintang tersenyum, tatapan elang itu berubah menjadi lembut saat Achala kembali menyebutkan sapaan yang selalu ia nantikan. "Sama-sama, Cha. Selamat bekerja, ya."
Achala mengangguk, garis senyum tipis terlukis di wajah manis wanita itu. Tangannya meraih pintu mobil, hendak keluar dari sana. Achala tak sanggup lebih lama menahan debaran jantung yang tidak bisa diajak bekerjasama.
"Cha, ada salam dari ibu. Katanya, sampai kapan pun, kamu tetap menantu ibu."
Penuturan Lintang sukses menghentikan pergerakan Achala. Namun, tak mau cepat terbuai dengan perkataan manis yang berujung semu, Achala tak menoleh sedikit pun pada pria itu, ia tetap melanjutkan niat awal dan berlalu dari mobil Lintang.
Tanjung Enim, 19 Oktober 2021
Salam sayang
RinBee 🐝
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top