11 🌐 Bertolak Belakang


🌍🌍🌍

Sejak pagi Achala sibuk dengan rutinitasnya sebagai seorang istri. Mulai dari membereskan pekerjaan rumah, menyiapkan semua keperluan Lintang, masak untuk makan siang meskipun hanya dia sendiri yang menikmati. Jangan pernah berharap Lintang akan pulang untuk sekadar makan siang bersamanya.

Semua ia lakukan dengan sangat telaten. Tanpa ia sadari, jam dinding klasik dengan musik mesin quartz mirado yang berdiri kokoh di sudut ruang tengah berdentang syahdu. Jarum pada jam menunjuk tepat di angka tiga.

Langkah perempuan itu ia bawa ke taman belakang, menarik selang yang sudah tersambung dengan keran air. Salah satu kegiatan Achala jika menjelang sore adalah menyirami semua tanaman agar besok pagi terlihat segar.

Telinga Achala menangkap deru mesin mobil yang berhenti di perkarangan depan rumah. Ia sungguh tidak bisa menebak siapa orang yang bertamu di sore hari ini.

Langkahnya bergegas menuju pintu utama, melewati beberapa ruangan luas membuat Achala berlari kecil agar segera sampai. Namun, ada rasa aneh sejak ia memutuskan untuk berlari ke depan, yaitu bel rumahnya tidak kunjung dibunyikan, pertanda yang datang bukanlah seorang tamu.

Achala berdiri tercenung di depan pintu, ada Lintang di balik pintu besar itu. Wajahnya tak menimbulkan aura yang tidak menyenangkan, tetapi tidak pula ramah lingkungan. Datar saja, seperti jalan tol baru dibangun.

"Mas Lintang pulang cepat?" tanya Achala meraih tangan Lintang untuk ia salami dan mengambil tas kerja Lintang.

"Kamu siap-siap, ada undangan makan malam di rumah ibu lagi. Ada acara keluarga," titah Lintang.

Langkah Achala sempat terhenti mendengar tutur Lintang. Ia kembali menyusul ketertinggalannya, takut ucapan Lintang tidak terdengar karena terlalu jauh. Jangan terlalu berharap pria itu akan bersikap lembut, menoleh atau sekadar menarik garis senyum. Tidak! Itu tidak akan pernah Achala dapatkan.

Achala bergegas mengayunkan tungkai ke kamarnya. Ia tahu Lintang tidak akan memberi ampun jika Achala lambat. Sejak menjadi istri Lintang, wanita itu sudah terlatih cekatan dan berhati baja.

Setelah selesai menyiapkan dan mengurusi keperluan Lintang, termasuk menyamakan baju yang akan mereka kenakan agar terlihat sedikit senada.

Ia menunggu pria itu di teras rumah, sengaja tidak berada di sekitar pria yang sedang sibuk menelepon. Achala hanya tidak ingin dikatakan sebagai penguping lagi, hanya karena ia pernah tak sengaja mendengar percakapan Lintang di telepon dengan Trishia.

Salah siapa? Achala yang sengaja menguping atau memang Lintang yang tidak tahu tempat menebar kemesraan via telepon.

Achala meraih gagang pintu utama, mengunci pintu saat pria dengan kaus polo hijau tua itu sudah keluar dari rumah dengan telinga yang tersumpal earphone. Namun, kalimat mesranya masih bisa Achala dengar. Tidak usah berpikir keras, Achala tahu siapa yang menjadi lawan bicara Lintang di seberang sana.

Lantas jika situasinya seperti ini, apakah Achala harus menyumpal telinganya dengan kapas agar tidak mendengar kemesraan mereka?Jangan salahkan Achala jika tidak sengaja mendengar percakapan dua makhluk tidak tahu diri itu.

Di sini, Achala layaknya seonggok batu tak bernyawa, justru Trishia yang berada di ujung saluran telepon yang  menemani Lintang mengobrol di sepanjang perjalanan menuju rumah ibu. Membayangkan Trishia memberikan segenap perhatiannya pada pria yang duduk di samping kanannya. Achala menahan napas tak habis pikir. Sungguh wanita kesayangan Lintang itu sudah benar-benar menggantikan perannya sebagai istri.

Obrolan Lintang dan Trishia sudah terhenti sejak—mobilnya memasuki komplek perumahan orang tuanya—lima menit lalu, pria itu melemparkan earphone ke dashboard.

"Bersikaplah seperti biasa, hindari pertanyaan yang akan menyulitkan kamu, bahkan merepotkan aku!"

Bukan! Lintang bukan sedang membagi perhatiannya pada Achala. Itu kalimat tegas yang selalu ia lontarkan pada Achala saat berada di tengah-tengah keluarga besarnya. Berlakon layaknya pasangan suami istri harmonis.

Pria itu turun lebih dahulu, aktingnya akan dimulai saat tangannya membukakan pintu mobil untuk Achala. Mengulurkan telapak tangan agar disambut wanita itu. Lintang layak diberi penghargaan Oscar.

"Terima kasih, Mas," ucap Achala membalas genggaman Lintang pada tangan kanannya.

Mereka berjalan seiringan, menapaki rumput jepang yang terhampar di luasnya perkarangan rumah, terus berjalan bergandengan menuju pintu utama. Rumah yang cukup besar dan nyaman. Tempat di mana Lintang menghabiskan masa kecil hingga remaja.

"Tante Acha ...." Teriakan anak-anak terdengar gaduh, menyambut kedatangan mereka.

Achala melepaskan genggaman Lintang begitu saja, wanita itu segera menyambut dua anak perempuan yang hampir sama tingginya itu. Senyum Achala kian hangat saat yang lebih tinggi sudah berada di pelukannya.

"Kalian sehat, Sayang?" tanya Achala pada anak dari Kakak Lintang itu.

"Kita baik, Tante."

Achala menguraikan pelukan pada anak itu, kemudian berganti memeluk yang satunya. Tangan Achala mengusap punggungnya, ia sangat merindukan kedua keponakannya ini, mengingat kakak ipar Achala itu tinggal di Bandung. Dua hingga tiga bulan sekali baru bisa pulang ke rumah orang tuanya.

Kemudian mereka masuk, Achala menggandeng tangan kedua keponakannya. Sementara Lintang berjalan mengikuti dari belakang.

Suasana keakraban keluarga besar Lintang sangat kental terasa, semua anggota keluarga berkumpul di meja makan yang cukup menampung untuk sepuluh orang itu. Kehangatan dengan cerita yang seolah tak pernah ada habisnya untuk mereka bagikan. Momen seperti inilah yang sangat Achala sukai, dengan rakus ia akan merekam semua memori kenangan di benaknya.

"Sayang, kamu mau ini?" tawar Lintang mengambil satu potong paha ayam. "Kamu bilang suka banget ayam mentega buatan ibu."

Achala sontak menoleh ke arah pria yang duduk di samping kirinya, acara memperhatikan keakraban untuk ia jadikan kenangan, seketika berlarian entah ke mana. Bukan sekali atau dua kali, Lintang akan bersikap baik jika di depan keluarga mereka.

Namun, perlakuan Lintang kali ini amat terlalu manis. Hingga Achala pun bertanya dalam hati, benarkah ini Lintang? Suami yang selama ini hanya menganggapnya sebagai peran pengganti. Suami yang tanpa segan melemparkan kalimat pahit jika berada di rumah mereka. Sungguh sangat bertolak belakang.

"Om Lintang sayang Tante Acha?"

Pertanyaan itu meluncur lepas dari mulut si kecil yang duduk di seberang Achala, anak perempuan yang tercatat sebagai murid taman kanak-kanak itu sangatlah pintar.

"Sayang dong, nanti Tania Om kasih temen ya dari Tante Acha."

Achala tersedak mendengar penuturan Lintang, tangannya menepuk dada mengurangi rasa sakit yang mencekik tenggorokannya, sesekali ia terbatuk, wajahnya memerah. Sigap Lintang mengusap punggung wanita itu dengan lembut. Mengangsurkan satu gelas air minum pada Achala.

"Makasih, Mas. Aku udah enakan," ujar Achala menepis pelan telapak tangan Lintang  yang masih bergerak di punggungnya.

Jangan begini, aku nggak sanggup nerima perlakuan kamu seperti ini. Ayolah, jadi kamu seperti biasanya. Jangan sok baik. Tolong, Mas.

Tanjung Enim, 16 Oktober 2021
Republish, 11 September 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top