10 🌐 Di Dalam Lift


🌍🌍🌍

Achala mengepalkan tangannya di bawah meja, sejak kemarin dia ragu ingin mengutarakan maksudnya pada Lintang. Wanita itu ingin meminta izin pergi ke pameran lukisan salah satu temannya. Namun, lagi-lagi Achala tidak bisa pergi begitu saja. Mengingat statusnya adalah istri dari seseorang, meski tidak pernah dianggap demikian.

Lintang tidak pernah ingin tahu ke mana Achala pergi, dia tidak peduli apa yang wanita itu lakukan. Hanya saja, Achala tetap melakukan apa yang menurutnya benar. Termasuk meminta izin suami jika ingin bepergian. Ia tidak ingin kejadian kemarin saat ke rumah orang tuanya terulang kembali. Kali ini ia harus memastikan dapat izin Lintang barulah keluar rumah.

Lintang duduk di meja makan berseberangan dengan posisi Achala duduk. Tubuhnya sudah dibalut pakaian kantor dengan rapi. Pria itu berkata ada meeting dadakan di kantor, itu sebabnya ia harus menghadiri meskipun ini adalah hari libur.

Lintang masih fokus pada layar iPad-nya, kopi buatan Achala baru disesap setengahnya. Begitu pula dengan roti bakar selai nanas kesukaan Lintang, baru satu kali Lintang gigit. Achala masih memperhatikan gerak-gerik Lintang, atau lebih tepatnya mengamati suasana hati Lintang. Achala takut, jika nanti Lintang murka hanya karena ia meminta izin saat hatinya sedang tidak baik.

"M-mas," panggil Achala sedikit gagap.

Lintang mendongak, menatap wajah Achala tanpa minat. "Kenapa?"

"Itu, Mas. Aku boleh minta izin, nggak? Aku mau pergi ke pameran lukisan nanti siang."

Lintang kembali fokus pada layar benda canggih miliknya. Sudah dibilang bukan? Lintang tidak pernah tertarik dengan apa yang akan Achala lakukan.

"Mas, boleh aku pergi? Aku janji setelah selesai langsung pulang," jelas Achala lirih.

"Terserah kamu. Aku tidak peduli dengan urusan kamu, mau pergi berapa lama. Kamu bukan orang yang berarti bagiku. Jadi, untuk apa aku repot-repot mencemaskan kamu," ketus Lintang.

Achala meremas ujung roknya, ucapan Lintang lagi-lagi menyayat hatinya. Wanita itu menggigit bibir dalamnya. Lintang acuh tak acuh, berdiri dari posisinya, meraih jasnya yang tersampir di sandaran kursi. Achala turut keluar dari kursi makan, melangkah mengantarkan Lintang hingga ke teras rumah. Mata Achala terus mengikuti gerak mobil Lintang yang keluar gerbang rumah hingga hilang semakin menjauh.

Langkah gontai Achala terayun kembali masuk ke rumah megah, tetapi terasa neraka baginya. Helaan napas berat Achala terdengar setelahnya.

Ia menapaki satu per satu anak tangga. Sebelum pergi Achala akan membereskan terlebih dahulu kamar Lintang serta pekerjaan rumah. Mata Achala menyapu setiap sudut kamar Lintang, miris bukan? Statusnya adalah istri sah di mata agama dan hukum dari Lintang Darmawan, tetapi tidak berarti apa-apa bagi pria itu, bahkan kamar mereka saja terpisah. Kamar Lintang berada di lantai dua, sedangkan kamar Achala di bawah.

Pekerjaan rumah tangga sudah selesai Achala kerjakan dengan baik. Kini di depan kaca meja riasnya Achala menyapukan riasan tipis pada wajahnya. Achala akan bersiap ke pameran temannya, tangannya meraih sling bag yang sudah dia siapkan di atas tempat tidurnya.

Langkahnya diayunkan dengan pasti, mengendari mobilnya menuju tempat yang tertera di kertas undangan. Achala meneliti jam pada pergelangan tangannya, dia sudah hampir terlambat. Sedikit tergesa memasuki gedung dan berlari kecil ke lift untuk sampai menuju lantai 23. Beruntung, tidak membutuhkan waktu lama Achala menunggu, lift itu terbuka. Ia  segera masuk, tangannya bersiap menekan tombol lift, tetapi pergerakan lain mengurungkan niatnya.

Mata Achala membulat sempurna, ada dua anak manusia berbeda jenis berdiri di luar lift. Ada mimik terkejut di raut si pria, netra Achala berpindah ke lengan si wanita yang mengait dengan posesif pada lengan yang lebih kokoh. Takdir lagi-lagi mengejeknya, semesta benar-benar mempermainkan hidupnya. Dari sekian banyak tempat di Jakarta, kenapa dirinya harus bertemu di sini dengan pasangan ini. Belum siap? Tentu saja. Namun, harus ia hadapi.

"Mau masuk, Mas?" tanya lirih Achala di sela gemuruh jantungnya.

Pasangan itu masuk, Achala sedikit memundurkan posisinya, mereka berdiri di depan Achala. Tangan si pria melepaskan tangan wanitanya, lalu menekan tombol di samping kanan pintu lift.

"Sayang, makasih ya udah repot-repot nganterin aku," ucap si wanita kemudian tanpa sungkan mendaratkan satu kecupan di pipi si pria.

"Trishia, jangan begini. Ini tempat umum." Si pria memperingatkan.

Ya, pasangan itu adalah Lintang dan kekasihnya, Trishia. Achala ingin berdecak kencang rasanya, tetapi dia tahan takut tidak sopan. Dia merasa untuk kesekian kali dibodohi Lintang. Pagi tadi pria itu memintanya untuk menyiapkan keperluannya dengan alasan meeting. Namun, ternyata meeting yang Lintang maksud adalah pergi bersama kekasihnya.

"Tapi kamu suka, 'kan, Sayang? Kamu alasan ada kerjaan, padahal nemenin aku. Gampang banget ya dia dibodohi. Siapa namanya, Ica? Caca?"

"Achala," sahut Lintang membenarkan.

"Iya itulah pokoknya, aku nggak kenal dia sih." Trishia menyandarkan kepalanya di bahu Lintang.

Tangan Achala terkepal kencang, ia menarik senyum miring, mereka benar-benar pasangan yang cocok. Pandai berakting. Lintang seolah tidak mengenal sosok wanita di belakangnya, sedangkan Trishia pun sama saja, berlagak tidak mengetahui nama istri Lintang. Padahal beberapa hari lalu dia terang-terangan menghampiri Achala di toilet salah satu mall, memperkenalkan dirinya sebagai kekasih Lintang, memasang wajah angkuh, bahwa dirinya adalah satu-satunya wanita yang Lintang cintai.

Kepalan tangan Achala mengendur, bola matanya melirik angka di atas pintu. Kenapa lift yang dia tumpangi seakan berjalan lambat. Rasanya ingin dia tendang—kedua manusia—pintu di hadapannya ini. Ia sudah muak.

Suara alarm terdengar nyaring, lift yang mereka tumpangi tiba-tiba berbalik bergerak cepat. Achala berpegangan pada dinding lift, berusaha menyeimbangkan tubuhnya agar tidak limbung. Wanita itu panik, tentu. Namun, Achala sungguh pandai menyembunyikan segala ketakutannya saat di depan Lintang. Berbeda jauh dengan Trishia yang sudah merengek layaknya anak balita, sengaja memeluk Lintang.

"Tolong, ada orang di sana? Kita terjebak di sini!" teriak Lintang di depan pintu saat lift sudah berhenti.

Mereka panik saat menyadari kenyataan bahwa mereka terjebak di lift yang tiba-tiba macet. Beberapa kali Lintang menekan tombol-tombol di pojok kanan pintu agar terbuka, tetapi usahanya sia-sia. Suara rengekan Trishia kian membuat telinga Achala berdenging.

Bisanya cuma merengek. Ini wanita yang selalu Mas Lintang banggakan.

Hentakan dari lift terasa kembali, kali ini terasa meluncur ke bawah dengan bebas. Achala tidak bisa menahan tubuhnya agar tetap berdiri tangguh, dia takut. Achala meringkuk, kedua telapak tangannya di sisi telinganya. Tas kecil yang semula dia genggam jatuh begitu saja ke lantai. Lintang berbalik, matanya membesar mendapati keadaan Achala yang tidak bisa dikatakan baik-baik saja.

"Cha?" Suara Lintang memanggil namanya.

Tidak ada sahutan dari Achala, dia terus meringkuk. Menyamakam posisi Achala, tangan Lintang terulur menyentuh bahu wanita di depannya. Meski suara larangan Trisha tidak ia indahkan.

Lintang dapat melihat bahu hingga tangan Achala yang bergetar hebat dengan wajah dibenamkan di antara lututnya. Achala mengangkat kepalanya, tatapan sayu tercetak jelas hingga tertutup pelan dan tubuhnya terkulai lemas bersandar di dada pria itu. Lintang berusaha memanggilnya lagi.

***

"Acha?"

Achala tersentak, panggilan Lintang tidak hanya membuatnya sadar, tepukan di bahunya pun turut andil.

"Y-ya, kenapa, Mas?" Achala tidak sadar dengan sapaan yang digunakan.

Lintang tersenyum, kentara sekali dia merasa bahagia hanya karena panggilan dari Achala yang sangat dia rindukan. Munafik bukan? Dulu ke mana saja telinga Lintang.

"Mau masuk nggak? Aku dari tadi nungguin kamu. Eh, kamu malah ngelamun di situ."

Achala tidak menjawab dengan ucapan justru dengan tindakan. Ia melangkah masuk ke lift, berdiri di samping Lintang. Pandangannya fokus ke depan pada pintu lift yang tertutup.

Lintang berdeham di samping kanannya pun tidak ia hiraukan. Entah mengusir sesuatu di tenggorokan atau mengusir kecanggungan, Achala tidak mengerti dengan dehaman yang Lintang keluarkan, ia enggan menoleh barang beberapa detik pun.

"Kamu sudah berapa lama di unit sebelahku, Cha?" tanya Lintang kemudian.

"Satu minggu," sahut Achala masih fokus ke depan.

"Setelah lima tahun kita ...." Lintang menjeda ucapannya, "ibu suka rindu kamu, Cha," lanjut Lintang melirih.

Achala tahu persis ibu yang Lintang maksud, setelah mendengar cerita dari sang mama perihal mantan mertuanya yang sering berkunjung ke rumahnya, membuat Achala tersentil merasa iba. Wanita sebaik itu, kenapa bisa melahirkan manusia tak berhati seperti Lintang.

Achala berbalik menghadap Lintang. "Sampaikan salamku untuk ibumu," ucap Achala tanpa maksud berarti.

Lintang mengeryitkan dahinya, kata 'Ibumu' cukup membuatnya sadar diri, bahwasanya Achala yang berada di hadapannya sekarang ini, bukan lagi menantu kesayangan ibunya, bahkan mungkin Achala sudah tidak lagi menyayangi Ibu Lintang seperti ibu kandungnya sendiri. Ia hanya menghormati wanita tua itu sebagai sahabat mamanya.

Pintu lift terbuka, mereka sudah melangkah menuju unit masing-masing. Achala berjalan di depan, sedangkan Lintang melangkah gontai menatap punggung sempit Achala.

Achala menekan tombol sandi kunci pintu unit apartemen miliknya, tanpa peduli dengan Lintang yang sejak tadi berjalan di belakangnya. Kunci pintu sudah terbuka. Achala menarik pintu besar itu, berniat segera masuk. Namun, suara Lintang menghentikan pergerakan. Ucapan yang cukup membuat perutnya tergelitik.

"Selamat malam, Achala. Selamat beristirahat bumiku," ucapnya berlalu melewati Achala.

Tanjung Enim, 3 April 2021
Revisi 14 Oktober 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top