1 🌐 Ibu Mertua
Note : Dalam satu bab cerita ini mempunyai 2 alur. Masa lalu dan sekarang.
Tolong spam komen dan jangan lupa Votenya, Bestie. 🥳🥰
***
Rumah besar dengan halaman luas, beberapa tanaman tumbuh di tanah yang masih terasa lembab akibat diguyur hujan semalaman. Suara bel terdengar syahdu, mengalun teratur hingga memenuhi di setiap ruangan rumah besar yang Achala dan Lintang huni—setelah berstatus suami istri.
Achala bergegas berlari ke pintu utama, menyambut tamu yang sejak tadi memberitahu keberadaannya di luar sana. Tangan Achala meraih handel pintu, menariknya ke dalam. Mata Achala membulat saat yang dia dapati adalah ibu Lintang—mertuanya.
"Ibu? Sama siapa ke sini? Kok, nggak bilang, Acha kan bisa jemput Ibu."
Wanita dengan usia lebih dari setengah abad itu tersenyum ramah, merentangkan tangan meminta sang menantu kesayangan menyambut pelukannya. Tanpa menunggu lama, Achala berhambur ke pelukan sang mertua yang sudah ia dianggap seperti orang tua kandungnya.
"Tadi ibu naik taksi. Nggak usah repot-repot, Nak. Ibu cuma mampir aja, kok."
"Ibu, sehat? Ayo, masuk, Bu. Pasti capek, ya."
Achala membawa ibu mertuanya masuk, duduk di ruang tengah. Sementara dia bergegas ke dapur, hendak memberikan jamuan. Langkahnya bergerak cepat dengan sebuah nampan berisi dua cangkir teh hangat dan satu stoples kue kering.
"Ndak usah repot-repot, toh, Nak. Ibu cuma sebentar," ujar sang mertua lagi.
"Nggak apa-apa, Bu. Cuma ini aja nggak ngerepotin, kok."
Achala duduk di samping ibu mertuanya. Tersenyum hangat pada wanita yang telah melahirkan suaminya itu.
"Suamimu nggak pulang lagi?"
Achala mengangguk, tersenyum pahit setelahnya. "Kata Mas Lintang dia lagi banyak kerjaan, Bu."
Bohong! Achala masih saja menutupi kelakuan suaminya. Jelas-jelas dia tahu alasan Lintang tidak pulang ke rumah mereka. Apa lagi kalau bukan karena wanita lain yang menguasai hati dan seluruh pikiran Lintang. Wanita yang setiap waktu Lintang puja dengan penuh damba.
Tangan sang mertua meraih tangan Achala, mengusapnya lembut. "Maafkan anak ibu, Nak. Ibu gagal mendidiknya menjadi pria dan suami bertanggung jawab," ucap lirih ibu mertuanya dengan tatapan sayunya.
Achala beringsut memeluk mertuanya, mengusap punggung wanita renta itu. Ibu mertuanya adalah satu-satunya orang yang mengetahui bagaimana rumah tangga Achala dan Lintang, termasuk perihal mereka yang tidur di kamar terpisah sejak hari pertama menginjakkan kaki di rumah ini.
"Andai Ayah Lintang mencari solusi lain untuk perusahaannya, kalau saja ibu tidak berinisiatif menjodohkan kalian berdua, mungkin kamu tidak akan terluka seperti ini, Nak."
Di dalam pelukan sang menantu, Ibu Lintang terisak lirih. Bahunya terus bergetar, bibirnya terus berucap penyesalan yang dia lakukan di masa lalu. "Ibu malu, Nak. Ibu menyakiti anak sahabat ibu sendiri. Bagaimana jika orang tuamu tahu. Ibu sudah tidak punya muka lagi."
"Orang tuaku nggak tahu, Bu. Ibu tenang aja. Lagian ini bukan salah ibu, kok. Mungkin sudah jalan hidup Acha begini, Bu."
Selalu saja, lagi-lagi itu kalimat pasrah yang keluar dari bibir tipis Achala. Sang mertua semakin menjadi menumpahkan air matanya. Mendengar penuturan anak perempuan yang sejak kecil dia tahu betul bagaimana dia dibesarkan, dimanja dalam lingkungan keluarga berkecukupan tanpa kurang apa pun, tetapi justru disia-siakan oleh suaminya. Dan yang sialnya lagi, suaminya itu adalah putra yang dia kandung dalam rahimnya, yang dia besarkan dengan tangannya sendiri. Sungguh, dia merasa sudah salah mendidik Lintang.
"Ibu?" Pemilik suara yang sedang mereka bicarakan tiba-tiba menyapa indera pendengaran menantu dan mertua itu.
***
"Mama udah lama di sini?" tanya Achala dengan suara serak khas bangun tidur.
"Udah lama, sangking lamanya mama bisa denger kamu mendengkur," canda ibunya.
Achala bangkit dari berbaringnya, dia duduk seraya merenggangkan otot-ototnya yang terasa pegal. "Mana ada. Acha nggak pernah dengkur, ya, Ma."
"Memangnya kamu tahu? Kamu kan tidur, nggak sadar," ucap mamanya lagi tidak mau kalah.
Achala tersenyum, merentangkan kedua tangannya meminta dipeluk wanita kesayangannya, wanita yang sangat dia hormati. Mama menyambut pelukan Achala, mengusap punggung anak semata wayangnya dengan penuh kasih sayang.
"Pelukan Mama nyaman banget," gumam Achala.
Mamanya hanya terkekeh, mengeratkan pelukan. Achala memejamkan matanya kembali, menikmati pelukan yang sudah lama tidak dia rasakan. Rindu sekalinya rasanya dengan tempat nyaman seperti ini. Achala semakin terbuai, apalagi usapan di punggungnya semakin ingin membawanya ke alam mimpi lagi.
"Sudah, ah! Kamu malah tidur lagi. Hayo bangun, mandi, terus sarapan. Udah jam sembilan ini, loh. Mama tunggu di bawah, ya."
Dengan berat hati, Achala menguraikan pelukan. Mengangguk patuh terhadap titah sang mama berikan. Langkahnya sudah menuju kamar mandi. Membersihkan diri, mengguyur sisa jet leg perjalanan dengan air hangat, rasanya cukup membuat rileks.
Selesai dengan urusan semua itu, Achala keluar kamarnya, menapaki satu per satu anak tangga. Saat kakinya sudah sampai di undakan anak tangga paling bawah, matanya menyapu ruangan, mencari keberadaan mamanya.
Tungkainya terayun menuju ruang makan, garis senyumnya terangkat tinggi saat mendapati keberadaan mama di ujung sana. Sibuk mondar-mandir bersama asisten rumah tangga, bergelut dengan peralatan dapur dan bahan makanan.
"Ma," panggil Achala menarik kursi meja makan dan menjatuhkan tubuhnya di sana.
Mama menoleh, tersenyum lebar menghampiri sang putri. Melakukan hal yang sama, duduk di kursi depan Achala. "Kamu mau sarapan, Nak?"
Achala mengangguk, mamanya menyodorkan piring yang sudah berisi dua centong nasi goreng. Achala menyambutnya, matanya yang tinggal segaris tersenyum pada yang lebih tua.
"Kenapa nyengir gitu?" tanya wanita itu penuh curiga.
"Acha mau minum cokelat hangat. Udah lama Acha nggak minum itu. Mungkin sudah lima tahun."
Mama berdecak kencang. "Memangnya di Inggris tidak ada cokelat hangat?" Pertanyaan yang mama lemparkan seraya berdiri dari posisinya, membuatkan cokelat hangat untuk putri kesayangan.
"Ada dong, Ma. Ya beda aja gitu. Buatan Mama tuh paling enak sedunia."
Mama yang sedang menuangkan air hangat dari dispenser terkekeh renyah, mendengar penuturan sang anak memuji buatannya. Dia kembali ke meja makan, mengangsurkan satu gelas cokelat hangat yang kurang dari tiga menit berhasil dia sajikan.
"Cha," panggil yang lebih tua.
Achala mendongak di sela-sela kunyahannya. "Ya, Ma?"
"Ibumu masih sering telepon mama, nanyain kabar kamu."
Achala paham siapa ibu yang di maksud. Mata Achala menyipit sejenak. "Ibu Acha yang mana, Ma? Achala kan cuma punya Mama, nggak ada ibu angkat juga."
Jawaban Achala cukup tenang, tapi tidak dengan gemuruh dari dalam rongga dadanya. Ibu apa kabar, ya? Dia baik-baik aja, kan? Dia sehat, 'kan? Semoga wanita pilihan Mas Lintang, bisa jaga ibu.
"Maksudnya ibu mertua kamu, Cha."
Mata Achala memicing menatap mama yang gelagapan, salah menempatkan kata ibu mertua dan mantan mertua.
"Maksud mama, mantan ibu mertua kamu." Mama berdeham sejenak, mengusir sesuatu yang mengganjal di tenggorokan. "Ibunya Lintang sudah tinggal di solo, nggak di Jakarta lagi. Setiap lebaran masih suka ke sini, katanya, berharap bisa ketemu kamu. Dia rindu sama kamu ...." Mama tidak melanjutkan ucapannya, justru menatap lurus manik kecokelatan Achala.
"Tapi nihil, nggak ketemu Acha," Achala menimpali ucapan mama.
"Kamu sih, keenakan di Inggris. Nggak pernah pulang barang satu hari pun sejak pergi. Lebaran aja di sana. Mama yang harus bolak-balik jenguk kamu kalau rindu. Jahat kamu sama mama."
Acha tertawa hambar. Dia tahu, mungkin yang dia lakukan terkesan kejam untuk keluarganya sendiri. Sejak bercerai dengan Lintang lima tahun lalu, dua bulan setelah keputusan terakhir sidang perceraiannya, Achala memutuskan pergi ke Inggris, melanjutkan belajarnya di sana. Di London Business School, Achala menimba ilmu bisnis. Universitas impian yang sempat dia tinggalkan karena harus lebih dulu menyandang status sebagai istri Lintang Darmawan.
Achala melanjutkan mimpinya dengan penuh tekat, meninggalkan keluarga dan mungkin menghapus jejak pria yang masih tersisa di hatinya. Selama lima tahun penuh, Achala tidak pernah kembali ke Jakarta.
"Mama telepon Ibu Lintang, ya? Siapa tahu dia mau ketemu kamu. Kebetulan katanya Minggu lalu dia ada di Jakarta. Mungkin sekarang masih di sini. Nanti dia bisa diantar Lintang ke sini."
Achala tersedak, tangannya dengan ribut meraih gelas air minum di samping kanannya. Ia meminumnya dengan penuh napsu. Sedikit terbatuk.
"Ja-jangan, Ma. Nanti Acha aja yang nemuin ibu lain waktu."
Bertemu ibu sekarang dengan diantar Mas Lintang. Berarti aku harus ketemu Mas Lintang lagi. Cukup! Aku belum siap.
"Menjaga tali silahturahmi itu bagus, Cha. Kalau berat kamu tidak perlu melakukan demi Lintang, lakukan demi Ibunya. Atau pandang ibunya sebagai sahabat mama."
"Baik, Ma. Acha ngerti."
Tanjung Enim, 17 Januari 2021
Republish 02. Oktober 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top