15. Pelangi setelah Hujan

Abim mengacak rambutnya frustasi, dua bungkus rokok sudah ia habiskan dalam waktu sekejap untuk sekedar mengalihkan fokusnya dari Hazel. Terlihat, beberapa putung rokok yang berserakan di lantai depan televisi apartemen Abim. Ada juga dua gelas kopi yang hanya tinggal ampasnya saja. Entah sejak kapan pria itu duduk di sana sembari merenungi sesuatu.

Sudah satu bulan Hazel tidak kunjung pulang ke Jakarta, Abim kira wanita itu tidak akan pernah meninggalkannya, dan tidak bisa berjauhan dengannya seburuk apa pun ia berperilaku. Namun nyatanya, wanita itu kini sudah berubah. Abim tidak pernah mengabari Hazel terlebih dahulu selama ini, dan Hazel lah yang selalu menanyakan kabar atau apa pun terlebih dahulu kepadanya, tapi sekarang, bahkan jika Abim tidak menelepon, wanita itu tidak pernah menelepon.

Abim tidak tahu apa yang terjadi kepada Hazel. Hal itu membuatnya sangat tidak nyaman, setiap hari ia terus terbayang Hazel di semua tempat pada apartemennya. Ia terus melihat sosok wanita itu di pintu, ranjang, meja makan, sofa, dan semua tempat. Abim sangat frustasi, namun ia juga tidak bisa pergi untuk menjemput Hazel karena keadaan Aemilie yang tiba-tiba membutuhkannya. Ditambah, ia tidak tahu jelas di mana Hazel berada. Lhokseumawe pasti luas, dan ia tidak tahu tepatnya rumah Nenek Hazel karena wanita itu tidak pernah mengatakannya, dan terus menyembunyikannya.

Di lain sisi, Hazel tengah membersihkan tempat tidurnya. Sudah hampir tengah malam, dan ia baru saja selesai membantu pekerjaan Bu Wirna yang menjual kelontong. Setiap malam, Hazel akan membantu membuat kelontong, dan menyiapkan berbagai bahan-bahan untuk memasak kuah kelontong, dan pada pagi harinya, ia akan membantu menyiapkan keperluan jualan di depan rumah.

Sudah satu bulan ia numpang tidur di rumah Bu Wirna karena rumah Neneknya sudah lama digadaikan untuk membayar hutang suami Nenek Hazel di zaman dahulu. Hazel tahu diri, dan tidak ingin bergantung semuanya ke Bu Wirna, jadi ia mengerahkan semua tenagannya untuk membantu Bu Wirna.

Hazel mengambil ponselnya di atas meja, lalu ia merebahkan tubuhnya di atas ranjang seraya menatap layar ponselnya. Sudah lama ia mengacuhkan Abim, tapi rasanya begitu tidak nyaman. Terkadang tangannya gatal ingin langsung menelepon Abim, dan menanyai kabar pria itu di sana. Namun, ia terus menghentikan diri sendiri agar sedikit lebih bernilai, setelah apa yang dilakukan Abim kepadanya. Bahkan sampi sekarang, pria itu masih bersikap biasa saja kepadanya, dan tidak ada niatan untuk menjemputnya di sana. Hazel tidak berharap banyak, akan tetapi hal itu sudah sangat jelas mengatakan jika Abim tidak pernah peduli ia pulang atau tidak.

Hazel meletakkan ponselnya kembali ke atas nakas setelah memastikan tidak ada notifikasi yang terlewatkan. Untuk menghemat kuota ponselnya, Hazel sengaja menyalakan ponsel pada waktu-waktu tertentu saja. Ia harus menghemat uang agar bisa bertahan lama di tempat orang lain tanpa bergantung segalanya.

Hazel memiringkan tubuhnya, menyapu pandangannya pada kamar yang ia tempati. Sangat jauh berbeda dari kamarnya di Jakarta, tempat itu terlihat sangat minimalis dengan barang-barang sederhana yang tertata sedikit dipaksa agar muat di ruangan kecil itu. Tidak ada lemari kaca, hanya ada lemari plastik. Tidak ada meja rias, hanya ada cermin kotak kecil yang terpasang di belakang pintu kamar, bahkan kamar mandi di setiap kamar juga tidak ada di sini, hanya kamar mandi kecil yang berada di belakang rumah. Mungkin karena sudah dua tahun Hazel hidup mewah bersama Abim, jadi ia sedikit tidak terbiasa dengan kamar yang kini ia tempati.

"Bersabarlah," gumam Hazel dalam hati. Ia sudah berniat jika Abim tidak mencarinya dan menyuruhnya pulang, ia akan pergi mencari tempat kerja yang sedikit menghasilkan uang. Ia tidak ingin terus menyusahkan Bu Wirna.

°°°

Pagi, di hari ke 32 Hazel berada di Lhokseumawe. Wajah putihnya sedikit berubah menjadi langsat karena terus berjemur di bawah terik matahari untuk membantu berjualan Bu Wirna. Ditambah, tidak ada sabun pencuci muka yang biasa Abim berikan, dan tidak ada baju mewah yang Abim berikan. Penampilannya sudah seperti anak-anak desa yang sederhana sekarang.

Hazel menggeliat dengan sedikit menguap. Matanya masih sedikit merah karena kurang tidur, semalaman ia terus memikirkan keadaan Abim tanpannya. Apa pria itu makan dengan teratur, dan menjaga pola hidup sehat seperti yang ia lakukan?

Hazel langsung menepis pikiran khawatirnya. Selama orang yang ia khawatiri tidak peduli kepadanya, itu tidak masalah jika ia mencoba untuk tidak peduli.

Sedangkan di tempat lain, di sebuah kamar dengan jendela terbuka semalaman. Abim masih duduk di sana dengan rokok di sela-sela jarinya. Perasaan kesepian itu terus mengganggunya, mau tak mau, ia harus menghilangkan gengsinya dan menelepon Hazel terlebih dahulu.

Tak disangka panggilannya langsung terjawab pada detik ke empat. "Pulanglah!"

"Tuan, sebenarnya saya ingin mengatakan sesuatu selama ini. Saya tidak setuju jika Anda terus berdekatan dengan Aemilie. Saya cemburu," ujar wanita di balik telepon.

Abim memijit pelipisnya kemudian berkata lirih, "Dia hanya temanku."

"Teman? Apa teman bisa mengalahkan istri? Ke mana Anda selama ini ketika saya membutuhkan Anda? Anda selalu bersama Aemilie!"

Abim mendengus kasar. "Apa yang kamu inginkan?"

"Tinggalkan Aemilie, maka saya akan pulang," ucap Hazel. "Sebenarnya, saya tidak suka rambut pendek. Saya juga tidak suka memakai penjepit rambut. Izinkan saya hidup sesuai keinginan saya."

"Kenapa kamu keras kepala sekarang?" tanya Abim. "Hubungan kita hanya ...."

"Sebatas tanda tangan di atas proposal?" sela Hazel. "Kenapa kita tidak mengakhirinya saja?"

"Tidak!"

"Ya sudah, tinggalkan Aemilie. Maka saya akan pulang."

"Argh! Terserah apa maumu!" bentak Abim seraya mematikan ponselnya sepihak, lalu mengacak seluruh barang yang ada di meja kerja tepat di depannya, membuat Sekertaris Ender langsung berlari mendekatinya.

"Ada apa, Tuan?" tanya Sekertaris Ender setelah berdiri di depan Abim.

"Cepat, cari di mana lokasi Hazel saat ini. Kita akan ke sana dan membawa wanita itu kembali agar dia tahu di mana tempatnya yang sebenarnya," titah Abim.

°°°

Hazel menghela napas lega, akhirnya ia bisa mengeluarkan semua kata-kata yang ingin ia ucapkan kepada Abim dengan berani. Ia tidak peduli pria itu akan marah, yang jelas ia sudah mengatakan perasaannya yang sebenarnya.

"Hazel," panggil wanita paruh baya yang kini menjulangkan kepalanya di balik pintu.

"Iya, Tante."

Hazel segera bangkit dari duduknya dan ke luar kamar dengan wajah yang lebih fresh dan sumringah dari sebelumnya. Semua keinginannya sudah tercapai. Abim meneleponnya langsung dan memintanya untuk kembali, dan juga ia bisa mengeluarkan unek-unek selama ini kepada Abim. Rasanya sangat melegakan seakan melihat pelangi setelah hujan walaupun Hazel tidak tahu akan sampai kapan perasaan lega itu menyelimuti hatinya. Atau mungkin hanya dalam waktu dekat ia akan kembali kehilangan Abim, dan menyesali ucapannya.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top