14. Tersadar setelah tertampar

Abim menghentikan mobilnya tepat di depan pintu utama perusahaannya. Di sana sudah ada yang menunggu untuk memarkirkan mobil Abim. Setelah melangkahkan kakinya ke dalam, pria itu bertemu sekertarisnya dan langsung memberikan ponsel serta meminta Sekertaris Ender untuk langsung mengisi daya ponselnya.

"Kita kedatangan tamu penting, Tuan," ujar Sekertaris Ender.

"Baiklah, tolong isikan daya ponselku!Aku akan langsung menemui tamu."

Abim merapikan lagi jas dan dasinya, setelah itu ia membuka pintu ruangannya, menyapa dua orang yang menunggunya di sana. Satu orang berwajah blasteran langsung berdiri dan memberi salam ke Abim, sedangkan yang lainnya masih duduk dengan kaki menyilang.

"Selamat datang di perusahaan kami," sapa Abim seraya duduk di sofa tepat di depan dua orang itu.

°°°

Di lain sisi, Hazel masih menunggu Abim untuk datang. Ia kembali melirik notifikasi yang muncul pada ponselnya, lagi-lagi ia hanya mendapat notifikasi pengeluaran tabungannya. Untuk biaya mengirim jenazah Neneknya ke Aceh membutuhkan biaya hampir 13 juta, Hazel menghela napas pasrah. Uang di tabungannya hanya tersisa 15 juta saja setelah membayar seluruh administrasi biaya rumah sakit Neneknya. Bagaimana hidupnya nanti?

Hazel menoleh mendengar ada seseorang yang memanggilnya, wajahnya kembali datar ketika harapannya ternyata salah, itu bukan Abim yang datang. Melainkan Dokter Farhan yang menginformasikan jika semua persiapan sudah selesai. Mobil ambulance akan segera berangkat ke bandara.

Dengan perasaan yang masih tidak tertata, Hazel mengikuti arahan Dokter Farhan dan kini ia berada di dalam mobil ambulance bersama jenazah Neneknya.

Setelah lima belas menitan, Hazel sampai di Bandara. Ia melihat ponselnya yang akan segera mati karena kehabisan daya. Untuk terakhir kalinya, ia melihat layar itu kembali dan kecewa karena tak kunjung mendapat kabar dari Abim.

Hazel langsung segera mengikuti arahan dari petugas, dan mengikuti ke tempat khusus untuk membawa jenazah Neneknya di dalam pesawat. Sebelum itu, ia lebih dulu menunggu proses penerbangan. Ia duduk di depan ruangan bertuliskan Human Remain Lounge, setaunya itu adalah tempat transit terakhir jenazah sebelum pemberangkatan pesawat.

°°°

"Terima kasih atas kerja samanya." Abim mengulurkan tangan dan menjabat tangan patner bisnisnya.

"Terima kasih kembali, kami permisi dulu. Semoga hari Anda menyenangkan."

Abim mengangguk lalu meminta sekertarisnya untuk membawakan ponsel yang ia titipkan beberapa waktu lalu. Rasanya ada sesuatu yang terus mengganjal di hatinya yang mengharuskannya segera mengecek ponsel.

"Sepertinya ponsel Anda mati bukan karena kehabisan daya, Tuan," ujar Sekertaris Ender seraya memberikan ponsel Abim. "Itu sudah terisi penuh sebelumnya."

Abim sedikit linglung, mengingat waktu sebelumnya. Setelah ia pergi mandi di tempat Aemilie, ponselnya sudah mati. Apa mungkin Aemilie tidak sengaja menjatuhkannya, dan merasa bersalah?

Abim membolak-balikkan ponselnya, akan tetapi semuanya baik-baik saja, tidak ada yang lecet sedikit pun. Mungkin karena sebab lain.

"Hazel," gumam Abim dengan kedua alis tertaut. Ada sepuluh panggilan wanita itu dari beberapa jam yang lalu, dan ada lima pesan tak terbaca dari wanita itu juga.

Abim langsung berlari setelah membaca pesan Hazel, membuat Sekertaris Ender ikut terkejut dengan tingkah Abim yang tiba-tiba seperti itu.

"Tuan ...." panggil Sekertaris Ender.

"Cepat, kita akan ke rumah sakit!" teriak Abim sebelum tubuhnya benar-benar menghilang di balik pintu.

°°°

Lima jam kemudian, Hazel sudah dulu sampai di Lhokseumawe, Aceh dan membawa jenazah Neneknya ke tempat saudara Neneknya di sana.

Sudah ada bendera kuning, serta beberapa orang yang menunggu kedatangannya di depan rumah Bu Wirna, adik dari Nenek Hazel. Tangis duka menyelimuti tempat kecil itu, semua orang memeluk Hazel dengan memberikan kata-kata penguat untuk wanita itu.

Semua proses tengah di siapkan, sedangkan di pojok ruangan, Hazel duduk dengan buku yasin di tangan kanannya. Matanya sembab, air mata tak henti-hentinya ke luar dari pelupuk mata, sesekali napasnya mulai sesegukan.

"Minum dulu, Kak."

Hazel mendongak, melihat gadis cantik yang kini memberikannya air putih.

"Aku Indah, anak dari Ibu Wirna," ucap gadis itu ketika melihat ekspresi Hazel yang seakan bertanya-tanya.

"Kamu dulu segini," titah Hazel dengan mengukur tangannya sebatas dada. "Sekarang kamu sudah besar, bahkan lebih tinggi dariku."

Indah hanya tersenyum malu, gadis berusia 16 tahun itu kemudian ikut duduk di samping Hazel untuk sekedar membantu menghibur wanita itu.

°°°

"Bagaimana, Tuan?" tanya Sekertaris Ender yang sedari tadi menemani Abim di depan ruangan bekas Nenek Hazel.

Lima jam lalu, Abim datang ke rumah sakit. Namun, Dokter Farhan memberitahukan jika Hazel dan jenazah Neneknya sudah dibawa ke Aceh. Abim tidak bisa membayangkan betapa menderitanya Hazel pada saat itu, ia bahkan tidak menemaninya pada saat-saat penting. Kenapa juga ponselnya harus mati tanpa sebab? Atau mungkin Aemilie ... tidak, wanita itu adalah wanita baik di mata Abim, tidak mungkin jika itu ulahnya.

"Biarkan saja, kita tunggu Hazel datang ke Jakarta kembali," ucap Abim datar.

"Kita tidak menyusul saja ke---"

"Tidak," sela Abim lalu bangkit dari duduknya. "Aku akan pulang."

Setelah itu, Abim berjalan mendahului Sekertarisnya dengan wajah datar. Sekertaris Ender sedikit berlari untuk menyeimbangi langkah Abim yang terlampau cepat. Sikapnya sangat aneh.

Bahkan ketika di dalam mobil, Abim tidak merubah ekspresi membuat Sekertaris Ender terus saja menoleh ke sampingnya. Mungkinkah Abim merasa bersalah? Atau marah karena Hazel pergi tanpa menemuinya terlebih dahulu?

Abim terus melihat ke jalanan padat dari balik kaca mobil, ini sudah sore hari dan jalanan kota Jakarta begitu padat karena jam pulang kerja. Abim memijit pelipisnya yang terasa berdenyut, kemudian ia memejamkan matanya untuk menetralisasikan pikirannya agar kembali jernih. Hazel pasti membutuhkan waktu untuk sendiri di saat sepertin ini, Abim tidak akan menghubungi wanita itu karena mungkin Hazel akan tambah terbebani pikirannya ketika bertemu dengannya. Hazel pasti sudah sangat kecewa kepadanya sekarang.

"Tuan, saya sudah di Aceh. Nenek sudah dimakamkan, mungkin saya akan pulang beberapa hari lagi."

Abim melirik ponselnya yang bergetar, dan membaca notifikasi pesan dari Hazel. Ia menghela napas beberapa kali, kemudian jarinya menari di atas layar ponsel untuk mengirim balasan ke Hazel.

"Baiklah."

Pada akhirnya, hanya kata baiklah yang terlintas di benaknya. Ia juga tidak pandai menghibur orang yang sedih. Ia takut meghibur Hazel, namun ternyata akan membuat wanita itu takut dan menganggap serius perkataannya. Seperti dulu, ketika Hazel sedih karena Neneknya yang tak kunjung sembuh, Abim mencoba mengibur Hazel dengan mengajak wanita itu bepergian mencari suasana tenang. Namun, dari ekspresi kecewa Hazel yang terus ditutupi dengan senyuman terlihat jika ia menganggap Abim tidak peduli dengannya dan malah memintanya untuk menemaninya pergi bisnis.

°°°

Hazel meremas ponselnya, bahkan kematian Neneknya tidak sedikit pun meluluhkan hati Abim untuk sedikit peduli kepadanya. Neneknya benar, kali ini Hazel harus memutuskan sesuatu. Ia tidak bisa membuat dirinya terus disakiti dengan kedok berjuang dengan cintanya. Iya, pada awalnya ia menganggap jika hanya bersama Abim, pria yang ia cintai saja sudah membuatnya bahagia walaupun hadirnya tidak pernah dihargai. Namun itu bohong, tidak lagi sekarang, Hazel tidak bahagia, ia malah lebih menderita jika terus bersama orang yang bahkan tidak pernah menganggapnya manusia yang punya perasaan juga, seseorang yang terus menganggapnya sebagai boneka yang harus menuruti perkataan tuannya.

Hazel mengusap wajahnya, ia harus membuat keputusan yang benar-benar tepat mulai sekarang. Ia tidak ingin diperbudak oleh cinta lagi. Ia akan berusaha hanya membuat dirinya bahagia tanpa mengemis ke orang lain lagi. Ia akan hidup bahagia dengan caranya sendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top