12. Bukan tentang Cinta

Beberapa kali Hazel menoleh ke sampingnya, melihat seorang pria yang tengah menyetir mobil. Tidak ada ekspresi apa pun, hanya saja sepanjang perjalanan, pria itu terus mencengkeram kuat setir mobil hingga buku-buku jarinya terlihat memutih.

Hazel tidak berani membuka suaranya, dan membuat suasana di dalam mobil sangat mencekat.

Setelah kesadaran Neneknya beberapa waktu lalu, Hazel memanggil pelayan Neneknya agar bergantian berjaga di rumah sakit. Sudah dua hari ini Hazel tidak pulang ke rumah, pakaian bahkan wajahnya terlihat sangat kusut. Ia tidak mandi, bercuci muka, atau pun menyikat gigi. Rasanya tidak nyaman, dan kebetulan Abim mengajaknya untuk pulang bersama sekaligus melerai masalah sebelumnya.

"Bagaimana keputusanmu?" tanya Abim sekilas menoleh ke samping.

"Saya akan melanjutkan hubungan ini." Hazel menghela napas, setelah lama berpikir, menurutnya hidup seperti ini pilihan satu-satunya. Ia tidak punya keluarga selain Neneknya, jika ia memutus kontrak dengan Abim pasti kedepannya hidupnya akan lebih menyedihkan. Hidup bukan hanya tentang mencintai dan dicintai, ia butuh usaha agar tetap bertahan di dunia yang kejam ini.

"Baguslah." Setelah mengatakan satu kata, Abim seakan mengendurkan cengkeraman tangannya pada setir mobil. Kemudian tangan kirinya kembali mengelus rambut Hazel.

°°°

Hazel mengemasi beberapa pakaian serta keperluan lainnya yang akan ia bawa ke rumah sakit, setelah selesai wanita itu baru akan membersihkan diri.

Sorot matanya tak henti-hentinya melihat Abim yang tertidur pulas di sofa sejak mereka tiba di sana. Mungkin pria itu lebih kelelahan dibanding Hazel. Setelah mengurus Aemilie dan mengantarkan wanita itu pulang, Abim langsung kembali ke rumah sakit dan menemani Hazel menunggu di sana.

Hazel masuk ke dalam kamar mandi, dan mengguyur tubuhnya di bawah shower air dingin. Harinya begitu melelahkan dan membuatnya terus berkeringat. Akan sangat menyegarkan jika ia mandi dengan air dingin dibanding air panas seperti biasanya.

Entah mengapa, pikiran Hazel terus berputar pada kejadian kemarin. Ia terus mengingat semua perkataan dan perbuatan Abim. Pikiran dan tubuhnya mencoba untuk menerima itu. Namun, hatinya tidak bisa. Hazel tidak bisa lebih sabar lagi, air mata kembali menetes bersamaan dengan air yang jatuh dari shower di atas Hazel. Sesekali wanita itu mengeluarkan suara rintihan kecil karena dadanya yang begitu sakit. Abim tidak akan mendengarnya dari luar karena teralihkan dengan suara air yang jatuh ke lantai, dan suara mesin sanyo.

°°°

Di lain sisi, Abim terbangun dari tidurnya, kemudian ia mengusap wajahnya serta melihat ke sekelilingnya. Tidak ada sosok Hazel di seluruh ruangan yang bisa dijangkau mata Abim. Pria itu bangkit untuk mencari keberadaan istrinya, langkahnya terhenti tepat di depan pintu kamar mandi. Ia ulurkan tangan untuk mengetuk pintu, memastikan seseorang yang ia cari benar-benar ada di dalam dan dalam keadaan baik-baik saja. Namun, sekali lagi langkahnya terhenti ketika ia mendengar suara rintihan tangis dari dalam ruangan itu. Abim mengurungkan niatnya dan menarik kembali tangannya. Wajahnya menunduk serta ia memejamkan matanya. Ia membalikkan badannya dan menyenderkan punggungnya di pintu tanpa ekspresi, tatapannya dingin.

Beberapa menit kemudian Hazel ke luar dengan menggunakan jubah tidur putih. Ini sudah terlalu larut, jadi ia berniat akan kembali ke rumah sakit esok hari.

Bruk!

Hazel mendongak kaget melihat Abim tiba-tiba di depannya. "Tuan, Anda sudah bangun?"

"Hmm." Abim hanya menjawab sekilas, kemudian memeluk erat Hazel. Menggendong wanita itu ke ranjang.

"Tapi, Tuan. Saya baru saja mandi," titah Hazel. Ia juga merasa sangat lelah.

Abim mengabaikan ucapan Hazel dan langsung mengecupi seluruh wajah Hazel, dari mulai dahi, kedua mata, sampai kedua pipi. Abim melewatkan bibir Hazel dan langsung mencium dagu wanita itu.

"Apa bibir saya tidak bagus, Tuan?" tanya Hazel. Ia tahu jika miliknya berbeda dengan Aemilie. Aemilie memiliki bibir tipis mungil, sedangkan ia memiliki bibir terisi.

Abim menghentikan kegiatannya, lalu menatap nanar ke arah Hazel. "Bukankah aku sudah beritahu alasannya," ujarnya dengan suara parau.

"Baik, Tuan." Hazel tidak bisa berkata-kata lagi. Pada akhirnya ia terhanyut dalam perlakuan Abim yang selalu membuat candu kepadanya. Dalam urusan ranjang, Abim selalu melakukannya dengan sangat lembut dan sangat intens.

"Apa kali ini saya boleh meminta agar tidak memakai pengaman?" ucap Hazel ditengah-tengah aktivitas panas mereka.

Abim menggeleng. "Saya belum siap punya keturunan."

Hazel mengangguk, lagi-lagi ia harus memendam keinginannya sendiri demi keputusan Abim. Sedangkan dalam lubuk hatinya, ia sangat menantikan sosok bayi kecil yang akan hadir di dalam kehidupannya. Setidaknya ia tidak akan terlalu kesepian nantinya.

Setelah selesai, Abim kembali menggendong Hazel ke kamar mandi, wanita itu tertidur begitu saja karena sangat kelelahan. Dengan hati-hati, Abim meletakkan Hazel di bathub yang belum berisi air, lalu perlahan ia membersihkan tubuh Hazel.

°°°

Pagi hari, Hazel bangun dari tidurnya. Sedikit mengucek kedua matanya agar benar-benar terbuka. Ia melihat tempat di sampingnya kosong, mungkin Abim sudah dulu bergegas ke kantor, atau ke tempat Aemilie yang sudah pulang dari rumah sakit.

Hazel menggeliat pelan, dan menguap beberapa kali. Rasa kantuknya masih ia rasakan. Namun, ia tidak ingin terlambat menjenguk Neneknya. Jadi dengan setengah kesadarannya, Hazel turun dari ranjang. Mengenakan sepasang sandal beruang, dan berjalan ke arah cermin untuk memeriksanya.

Samar-samar Hazel mengingat kejadian semalam yang ia tidak sengaja tidur begitu saja. Ia mengingat ada bayangan Abim tengah membersihkannya. Hal itu membuatnya bingung, pasalnya, selama ini Abim pasti mengabaikannya jika setelah melakukan hubungan. Bayangan itu membuatnya tidak bisa membedakan antara mimpi dan kenyataan, mungkin karena begitu mengantuk.

Hazel menghela napas seraya tersenyum malu. Itu semua bukanlah mimpi, Abim benar-benar melakukannya.

"Jam berapa kita ke rumah sakit?"

"Hah?!" teriak Hazel. Wanita itu mengerjap beberapa saat, dan ternyata Abim belum pergi dari apartemen, pria itu tengah duduk dengan komputer di pahanya, dan kopi di tangannya. Sejak kapan pria itu ada di sana? "Anda tidak ke mana-mana?"

"Ini weekend, aku masih ingin bersantai di rumah," sahut Abim seraya menyeruput pelan kopi di dalam cangkir berukiran indah itu.

"Baiklah, saya akan bersiap-siap ke rumah sakit," titah Hazel yang hanya dibalas dengan anggukan saja.

°°°

"Nenek," panggil Hazel setelah masuk ke dalam ruangan Neneknya.

Wanita lansia yang berambut hitam putih itu tersenyum bahagia. "Hazel," ucapnya dengan susah payah.

Dokter Farhan sudah memberitahu Hazel jika mungkin Neneknya akan kehilangan kelancaran bicara karena ada bagian saraf yang sedikit terluka dan membuat Nenek Hazel akan terus merasa bingung ketika hendak mengutarakan isi pikirannya. Dalam artian ia akan merasa bingung.

Hazel memeluk Neneknya erat, ia begitu mencintai Neneknya. Ia benar-benar tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa wanita itu.

"Apa Nenek sudah makan?" tanya Hazel kepada wanita muda yang sedang berdiri di samping kiri Neneknya.

"Sudah, makanan sehat yang disediakan rumah sakit," jawab pelayan itu.

"Terima kasih," ucap Hazel dan tersenyum. Ia juga sangat berterima kasih dengan kedua wanita yang mau merawat Neneknya dengan sangat baik selama ini.

TBC.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top