10. Harapan atau takdir

"Kita akan melakukan operasi segera, silahkan tanda tangani formulirnya, Nona."

Hazel menepuk pelan dadanya yang terasa sesak, bahkan membuatnya susah untuk mengatakan apa pun, napasnya tercekat. Ia tak sanggup bicara. Bayangannya terus muncul tentang apa yang dikatakan pelayan Neneknya, Neneknya pasti sangat tersiksa menunggu kedatangan bantuan.

"Apa Nenek saya akan baik-baik saja, Dok?" tanya Hazel dengan napas tergagap.

"Nenek Anda mengalami Subarachnoid, pada pembuluh darah di antara otak dan selaputnya mengalami pendarhan," titah Dokter pria paruh baya itu. "Operasi dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam otak dan memperbaiki pembuluh darah yang pecah, Nona."

Hazel mengangguk, apa pun itu agar Neneknya bisa terselamatkan ia akan menyetujuinya. Untung saja, selama ini ia selalu menabung jika diberi uang harian Abim. Pria itu juga mengizinkannya. Ia tahu dan mengantisipasi jika ada keadaan darurat nantinya, atau jika ia sudah tidak bersama pria itu lagi.

"Baik, Dok. Apa pun itu, semoga berhasil dengan operasinya."

Dokter itu memelankan nada bicaranya. "Tapi, kemungkinan hidupnya hanya 40% karena beliau mengalami Stroke Hemoragik kritis."

"Apa Anda Tuhan?" desis Hazel tidak terima. Tidak ada yang bisa menentukan umur seseorang di dunia ini. Semuanya sudah diatur dan dikendalikan oleh Sang Pencipta. "Kenapa Anda begitu entengnya mengatakan hal-hal yang bahkan bukan kemampuan Anda. Apa Anda pengendali takdir seseorang?"

Dokter dengan papan nama Farhan itu terdiam, seperti kehilangan semua kata-katanya dalam sekejap. Ia bukan Tuhan, atau pengendali takdir seperti yang dikatakan Hazel. Namun ia mengatakan apa yang ia pelajari tentang penyakit. Itu hanya kemungkinan bukan meyakinkan.

Seorang perawat wanita menemui Hazel dan memintanya untuk menandatangani persetujuan operasi. Setelah itu ia mengikuti perawat wanita untuk membayar biaya administrasi selama beberapa hari ke depan.

Hazel duduk terdiam di depan ruang operasi setelah melakukan semua tugasnya. Wanita itu menunduk seraya menutup wajahnya dengan kedua tangan, dalam diam ia menangis terlihat jelas punggungnya bergetar hebat. Ia tidak bisa melakukannya sendiri, ia butuh seseorang untuk sekedar duduk di sampingnya dan memberikan pelukan. Neneknya adalah keluarga satu-satunya yang Hazel punya, ia terus menyalahkan dirinya sendiri karena tidak becus memastikan kondisi Neneknya.

Hanya doa dan harapan yang Hazel punya sekarang, ia tidak tahu takdir apa yang sedang ia perankan saat ini. Mengapa ia tidak pernah merasakan makna hidup yang sebenarnya.

°°°

"Kamu sudah keterlaluan kali ini, apa kamu merasa cemburu? Pertama, merubah rambut bahkan mengecatnya, yang kedua kamu berusaha menyakiti Aemilie?"

"Tidak, Tuan. Bukan saya ...."

Percakapan singkat itu seperti roda yang terus berputar di benak Abim. Beberapa jam yang lalu ia menerima telepon dari seorang wanita, wanita yang harus menerima setiap kesalahan meskipun ia tidak melakukannya, wanita yang terus sabar sampai sejauh ini.

Abim menunduk seraya memegangi tangan Aemilie, ia harus meminta maaf kepada Hazel karena menuduh wanita itu dengan sesuatu yang bahkan tak terduga, penyebab Aemilie pingsan bukan karena minuman yang diberikan Hazel. Namun itu karena Aemilie merasa stres berlebihan dan tidak makan apa pun dari siang. Dokter bilang, jika Aemilie merasa kurang percaya diri untuk menunjukkan kekurangannya di depan Dunia. Wanita itu terlalu takut mendengar celaan, atau ejekan dari orang lain. Pada hakikatnya, manusia akan mengasingkan orang yang menurut mereka berbeda.

Abim mengambil ponselnya dari saku jas, rasanya sangat berat untuk menelepon Hazel. Ia terlalu malu, dan merasa bersalah atas apa yang telah ia lakukan kepada wanita yang tidak bersalah itu.

Pada akhirnya, Abim kembali menyimpan ponselnya tanpa melihat sedikit pun. Ia tahu, mungkin Hazel butuh waktu untuk merasa tenang dengan semuanya.

°°°

Selalu saja perasaan bersalah itu muncul ketika semua masalah sudah terjadi, orang-orang menyebutnya sebagai penyesalan. Penyesalan yang tiada henti datang menyelimuti pikiran, dan terkadang membuat orang menyerah dengan kehidupan ketika merasa sudah tidak ada gunanya lagi kehadirannya. Namun, Hazel bukan orang itu, selama ia bisa menebus kesalahan itu walaupun gagal, ia akan menerima semua resikonya.

Tiga jam berlalu begitu lama, Dokter Farhan akhirnya keluar dengan wajah tersenyum. Dari ekspresi itu, semua orang bisa menebak jika operasinya berhasil.

"Alhamdulillah, kami berhasi melakukan Endovascular coiling pada pasien, dan menyumbat pembuluh darah agar tidak ke area berbahaya aneurisma," ujar Dokter Farhan.

Hazel tersenyum bahagia mendengar itu, perasaan mencekat yang menyiksa dadanya akhirnya hilang.

"Akan tetapi, Nenek Anda keterlambatan penanganan sebelumnya," sela Dokter Farhan. "Hal itu menyebabkan Nenek Anda mengalami Stroke sebagian badan."

"Apa Nenek saya akan baik-baik saja?" tanya Hazel.

"Seperti yang saya bilang beberapa waktu lalu," titah Dokter Farhan setelah itu meninggalkan Hazel karena ada penanganan lain yang harus ia selesaikan.

Hazel melihat seorang wanita tua berumur 64 tahun yang terbaring dengan beberapa alat medis yang terpasang di tubuhnya dari balik jendela kaca kecil pada pintu ruangan. Pada dasarnya, semua orang memiliki takaran hidup masing-masing, Hazel tidak bisa melawan takdir, tapi setidaknya ia sudah berusaha untuk menahan melindungi dan menjaga Neneknya selama ini. Air matanya mengalir begitu saja tatkala momen-momen di masa lalu terlintas dan merengsek pikirannya hingga menjadi berantakan.

Hazel menunggu seharian di rumah sakit sendirian. Beberapa jam lalu ia menyuruh pelayan Neneknya untuk pulang terlebih dahulu. Mereka manusia yang membutuhkan istirahat, dan makan. Hazel tidak bisa membiarkan mereka kesulitan, atau bahkan menyalahkan diri sendiri akibat ulahnya.

°°°

Hazel membuka matanya ketika mendengar suara orang berlalu-lalang di rumah sakit. Semalam ia tertidur di kursi tunggu depan ruangan ICU Neneknya. Setelah operasi berhasil, Neneknya langsung dipindah tempatkan ke ruangan itu.

Hazel mengambil ponselnya di dalam tas, ia lupa tidak mengabari Abim tentang keberadaannya. Mungkin Abim sudah berulang kali menghubunginya.

Namun, lagi-lagi Hazel salah. Tidak ada pemberitahuan apa pun pada ponselnya tentang Abim. Ia lupa jika pria itu masih marah kepadanya tentang insiden di pesta ulang tahun Rachel beberapa waktu lalu.

"Tuan, saya tidak pulang karena harus merawat Nenek saya di rumah sakit. Mungkin bukan hal penting, tapi Anda perlu tau tentang keadaan Nenek mertua Anda. Jaga diri Anda, dan sampai jumpa."

Setelah mengetikkan beberapa kata perizinan kepada Abim, Hazel bangkit dari duduknya dan pergi untuk mencari makanan. Walaupun ia tidak napsu makan saat ini, ia harus tetap menjaga kesehatannya demi merawat orang-orang yang ia sayangi.

"Baiklah, aku akan ke rumah sakit. Ada hal yang perlu aku bicarakan denganmu."

Hazel penasaran dengan apa yang ingin Abim katakan kepadannya, apa pria itu akan memutuskan hubungan atau mengakhiri kontrak. Rasanya begitu berat bagi Hazel untuk sekedar membayangkan saja. Ia tidak ingin hubungannya berakhir begitu saja tanpa ada perubahan sedikit pun dengan perasaan Abim. Sampai kapan pun itu, Hazel akan setia menunggu Abim membalas perasaannya. Hanya masalah waktu seharusnya tidak masalah.

TBC.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top