0.9 Apa aku boleh berubah?
Pagi-pagi sekali, Hazel sudah dibuat bingung oleh Adik Iparnya, Rayn. Di sini lah ia berada, duduk manis sembari menunggu beberapa orang yang tengah melakukan sesuatu pada rambutnya. Sebelumnya, ia bertanya kepada Rayn tentang Aemilie, dan mengatakan tentang penampilannya yang sangat mirip dengan wanita itu. Rayn merasa tidak terima atas perlakuan Abim kepada Hazel, dan memaksa Kakak Iparnya untuk mengikuti sarannya.
Hazel terkejut melihat penampilannya lewat cermin, wanita yang ia lihat seperti bukan dirinya. Ia tampil sangat berbeda dari sebelumnya, rambutnya dibuat bergelombang dengan warna cokelat di ujungnya. Sebelumnya ketika ia di bandara bersama Aemilie, ia sengaja membuat rambutnya bergelombang untuk sementara agar tidak canggung berada di dekat Aemilie. Tapi kali ini Rayn malah merubah drastis penampilannya.
"Apa ini tidak terlalu berlebihan?" tanya Hazel. Ia tidak bisa membayangkan tanggapan Abim melihatnya seperti ini.
"Kakak bilang tidak suka memiliki kesamaan penampilan dengan Kak Aemilie," sahut Rayn yang juga duduk di samping Hazel.
"Tapi, bagaimana dengan Tuan ...."
Gadis kecil itu menghela napas dan tersenyum kepada Hazel. "Jangan pikirkan Kak Abim. Nanti aku yang akan bicara kepadanya."
Hazel mengangguk, lagi pula ia tidak bisa merubahnya seperti semula. Akan membuang-buang waktu, dan biaya jika ia melakukannya.
"Aku akan pulang ke Victorian House, Kakak Ipar mau ikut?" tanya Rayn setelah selesai mengubah penampilannya juga seperti Hazel.
"Sepertinya tidak bisa, aku harus membersihkan apartemen," sahut Hazel. "Kenapa rambut kamu sama denganku?" Hazel menunjuk tidak percaya dengan apa yang dilakukan Rayn.
"Kakak Ipar bilang canggung jika berpenampilan sama dengan orang lain. Nah, sekarang penampilan kita sama, jadi ngga usah merasa canggung atau apalah jika ada yang menyamai penampilan kita," tutur Rayn tersenyum dengan wajah polosnya.
Terkadang Hazel hanya bisa menggelengkan kepala jika Rayn sudah bertindak semaunya. Dua saudara itu benar-benar sangat berbeda, Abim yang tidak pernah tersenyum, dan Rayn yang selalu membuat lelucon konyol.
"Kakak Ipar ngga mau ikut?"
"Aku sibuk," titah Hazel seraya tersenyum.
°°°
"Kenapa kamu ubah gaya rambut?"
Langkah wanita itu seketika terhenti, sekilas melihat pantulan dirinya dibalik cermin yang terletak tepat di depannya. Ia juga sadar, dua hari ini ia begitu berani menentang perintah suaminya dengan merubah sedikit tatanan rambutnya. Itu bukan kesalahan ia sepenuhnya, ia melakukan itu karena Rayn.
Terkadang ia mengikat setengah, terkadang juga ia biarkan itu bergelombang sesuai yang dikatakan Rayn sebelumnya. Setelah memberanikan diri, ia menarik napas beberapa kali kemudian meletakkan gelas airnya di atas meja.
Hazel berbalik dan menatap Abim yang kini duduk di ranjang dengan laptop di atas paha pria itu. "Rambut saya, semua gaya pakaian saya sama persis dengan teman Anda, Tuan."
"Lantas?"
Ruangan semakin sunyi dan mencekat, bahkan kata-kata penolakan yang selama ini Hazel kumpulkan matang-matang agar bisa diutarakan kepada Abim seakan kembali tertelan begitu dalam, hingga ia tidak bisa mengeluarkannya lagi. Ia tahu kali ini sudah sangat berlebihan menentang Abim. Ia melakukan itu karena merasa sangat malu ketika membandingkan penampilannya yang mirip dengan Aemilie.
"Nanti saya ubah kembali, Tuan," ujar Hazel seraya menundukkan kepala. "Maafkan saya, saya hanya merasa sangat malu ketika berpapasan dengan Nona Aemilie."
"Kamu tidak perlu merubahnya, itu kenyamananmu dan aku tak bisa memaksa," tukas Abim kemudian memalingkan wajahnya kembali ke layar monitor di depannya. Berperilaku seperti tidak terjadi apa-apa, itulah keahlian Abim.
"Tapi, Tuan ... sekali lagi, saya minta maaf dan akan selalu mendengarkan Anda," lirih Hazel.
"Bersiaplah kita akan datang ke pesta ulang tahun Rachel!"
"Sekarang?" Hazel melihat jam di tangannya, sudah pukul delapan malam. "Pelayan Nenek menghubungi saya, Nenek sakit."
"Besok saja, atau terserah kamu mau pergi ke mana dulu."
Pada akhirnya, Hazel mengikuti apa yang diperintahkan Abim untuk datang ke pesta ulang tahun Rachel yang diadakan di sebuah hotel mewah, Jakarta Utara.
Hazel terus mengikuti Abim dari belakang, melihat ke sekelilingnya. Sepertinya tempat itu sudah di booking seluruhnya untuk acara Rachel. Semua teman Abim rata-rata dari keluarga konglomerat, jadi tak heran jika hanya pesta ulang tahun diadakan sesepesial ini.
Mereka melangkah ke lantai dua setelah meninggalkan lobi. Di sana sudah ada beberapa tamu undangan, suasana tempat itu seperti tengah mengadakan ajang busana. Semua orang menggunakan pakaian bermerk ternama dengan kado berbungkus mewah yang mereka bawa satu-satu.
Hazel menunduk, menyadari jika ia tidak terlalu berbeda dari orang-orang kaya itu. Semua yang ia kenakan dari ujung kepala sampai kaki dari merk ternama. Jadi ia tidak terlalu minder berdiri ditengah-tengah orang kaya.
Mereka duduk di sofa yang berada di tengah-tengah ruangan. Di sana sudah ada meja serta kue berbentuk mahkota di atasnya dengan nuansa gold, dan tulisan angka 23 di atasnya. Hanya menunggu pemiliknya memotong makanan istimewa itu.
Hazel mengikuti kemana pandangan semua orang tertuju. Di sana ada Aemilie yang datang dengan kursi roda serta membawa kotak kado berwarna ungu di tangannya sepadan dengan gaun wanita itu.
Aemilie duduk di dekat Abim setelah menyapa Hazel dengan senyuman.
"Abim, ikut denganku!" ujar Zafran dan langsung menarik tangan Abim untuk ikut dengannya.
"Aku titip Aemilie," ucap Abim kepada Hazel sebelum meninggalkan tempat itu.
Dua wanita dengan satu perasaan saling mengalihkan pandangan. Seperti enggan untuk mengatakan sesuatu ketika hanya berdua. Hanya kecanggungan di wajah keduanya.
"Bisa tolong ambilkanku minuman apa saja, aku merasa haus," ucap Aemilie.
"Baik," sahut Hazel dan pergi untuk mengambil minuman yang Aemilie pesan.
Hazel membawa satu gelas jus alpukat dan ia berikan kepada wanita yang duduk santai dengan kursi roda.
Crang ....
Hazel menoleh dan langsung terkejut melihat Aemilie yang tiba-tiba pingsan setelah meminum jus yang ia bawakan.
"Apa yang terjadi?" Hazel menoleh melihat Abim yang berlari ke arah Aemilie, bahkan melewatinya begitu saja. "Siapa yang memberikan jus alpukat kepadanya?"
"Itu .... Saya ...."
"Cepat bawa Milie ke rumah sakit!" teriak Abim.
"Maafkan saya," titah Hazel, ia benar-benar tak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Ia hanya mengambilkan minuman kepada Aemilie, dan tidak tahu hal seperti ini akan terjadi, ia pastikan tidak ada apa-apa di minuman itu.
"Minggir," sarkas Abim seraya menggendong Aemilie. "Jika benar terjadi sesuatu dengan Aemilie karna minuman yang kamu berikan, aku akan sangat kecewa kepadamu."
Semua orang menatap sinis kepada Hazel, dan mulai berbisik satu sama lain tanpa mencari tahu faktanya. Hazel kembali terpojok, tidak ada siapa pun yang mempercayainya.
"Aku tahu kamu cemburu dengan Aemilie. Tapi aku tidak percaya kamu senekat ini," bisik Zafran di telinga Hazel.
"Kakak Ipar," panggil Rayn kemudian memeluk wanita itu. "Pulanglah bersamaku. Aku tahu itu bukan salahmu."
Seketika pesta mewah itu hancur begitu saja di awal acara. Hazel melihat wanita cantik dengan gaun cokelat di ujung pintu. Seorang wanita dengan tatapan dingin, Sang pemilik acara itu. Ia tidak tahu akan menjelaskan dengan cara apa lagi jika ini bukanlah kesalahannya. Ia tidak tahu apa yang terjadi.
°°°
Pagi hari, Hazel terbangun dengan mata sembab karena semalaman menangis. Ia mengusap wajahnya kasar, kali ini ia tak melihat Abim di sampingnya lagi setelah insiden semalam. Pria itu mungkin masih di rumah sakit merawat Aemilie.
Hazel meletakkan miniatur di dinding apartemen untuk hiasan, di sana sudah ada beberapa hiasan dinding yang dibeli Hazel selama ini. Kemudian yang setengah lagi ia bawa miniatur kecil yang ia dapatkan ketika pergi ke Prancis dua minggu lalu itu ke Neneknya. Ia terus mendapat kesibukan ketika jadwalnya pergi ke tempat Neneknya, dan itu membuatnya merasa tidak nyaman walaupun pengurus Neneknya sering menghubunginya. Ia sangat merindukan wanita lansia itu, dan tidak bisa tenang jika tidak memastikan keadaannya langsung.
Hazel meletakkan kertas pesannya di depan kulkas. Biasanya ia akan mengirim sms kepada Abim jika ada sesuatu yang akan ia katakan. Namun, kali ini berbeda, ia terlalu takut untuk menghubungi Abim setelah kehilangan kepercayaan pria itu.
"Tuan, saya masak Opor, ada di dalam kulkas. jika Anda akan memakannya jangan lupa dipanasi lagi.
Jangan lupa minum suplemennya juga.
Hari ini saya akan ke tempat Nenek, mungkin akan pulang malam.
Terima kasih, semoga Anda membaca ini."
Hazel akan baik-baik saja jika Abim pulang malam, atau ketika ia mendengar percakapan pria itu berbicara kepada Aemilie di malam hari. Terkadang Hazel ingin mengeluh, bisakah pria itu tidak menunjukkan secara jelas perhatiannya kepada Aemilie di depan Hazel? Namun kali ini, hanya satu permintaan yang ia harapkan, ia ingin agar pria itu mempercayainya kembali.
°°°
Hazel terus memanggil Neneknya ketika ia baru sampai di apartemen itu. Ia melihat dua pelayan yang biasa mengurus Neneknya kini terlihat gugup untuk menemuinya.
"Apa Nenek baik-baik saja?"
Pelayan itu tergagap, seperti ragu untuk mengatakannya. "Nenek makan sup Kambing, Nona. Tiba-tiba darahnya naik drastis."
"Kenapa kalian memasak itu?" tanya Hazel, walaupun ia tahu jawaban mereka akan sama. Nenek memaksanya. "Terus kenapa tidak hubungi aku lebih awal?" tanya Hazel.
"Nona tidak merespons, dan tidak membalas pesan saya," titah wanita muda itu.
"Bagaimana bisa ...." Hazel mengambil ponselnya di dalam tas, pelayan itu ternyata tidak berbohong. Sejak kemarin malam mereka menghubunginya beberapa kali, namun Hazel selalu sibuk dengan Abim hingga mengacuhkan segalanya.
"Nenek, ini Hazel. Kita ke rumah sakit, yah," titah Hazel. Namun orang yang diajak bicara hanya diam. Sekujur tubuhnya kaku, serta wajah putihnya berubah pucat.
Hazel gemetar ketika Sang Nenek tidak meresponsnya sama sekali. "Kita bawa Nenek ke rumah sakit."
"Tapi, Nona ...."
"Cepat!" teriak Hazel seraya menyiapkan kursi roda agar mudah membawa Nenek ke luar. "Aku akan mengambil mobil, kalian jaga Nenek di sini."
"Baik."
TBC.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top