0.8 Demam
Pukul sepuluh lebih lima menit, Hazel sudah duduk manis di kursi pesawat sesuai nomor yang dipesan Abim. Tak disangka jika Abim akan bersama Aemilie juga di dalam pesawat, duduk berdampingan. Sedangkan Hazel, duduk di kursi seberang mereka bersama Sekertaris Ender.
"Apa wanita itu teman baru kamu?" Aemilie tersenyum lembut ke arah Hazel. Ia sedikit tidak enak kepada wanita itu sebab pakaian yang mereka kenakan saat ini sama. Namun, berbeda dengan gaya rambut Hazel yang sepertinya baru saja dicatok dan sedikit bergelombang.
Abim mengangguk dan berkata lirih, "Dia teman dekatku."
"Benarkah?" tanya Aemilie kembali.
"Hmm. Sudah dua tahun."
Sebelum Aemilie kembali bertanya perihal keadaan pria di sampingnya, mereka sudah diinstruksikan untuk tetap tenang karena pesawat akan lepas landas.
"Please remain seated."
Aemilie tersenyum ke arah Abim, lalu menggenggam erat tangan pria itu.
Sedangkan di sini, Hazel memalingkan wajahnya ke jendela, dan hanyut dengan perasaannya sendiri. Sebelumnya ia sengaja meminta Sekertaris Ender untuk menukar posisi duduk mereka dan membiarkannya untuk duduk di samping jendela. Untung saja, pria itu langsung menyetujuinya.
Hazel hanya ingin menghindari untuk melihat Abim berdampingan dengan orang lain, bahkan tepat di sampingnya. Jadi, ia terus mengalihkan pandangannya ke luar, melihat langit malam yang sangat indah dengan kedua telinga yang ia tutupi menggunakan earpohone.
°°°
"On behalf of The Airlines and the entire crew, I'd like to thank you for joining us on this trip. We are looking forward to seeing you on board again in the near future. Have a nice day!"
Setelah berjam-jam mereka duduk di pesawat dari Prancis ke Indonesia, mereka akhirnya mendarat dengan selamat di Bandara Soekarno Hatta. Sekertaris Ender membantu untuk membawakan beberapa barang Aemilie dan Abim, dan Hazel membawa barang miliknya sendiri. Sedangkan Abim, membantu Aemilie untuk duduk di kursi roda, dan juga membantu mendorongnya.
"Kita akan ke mana, Tuan?" tanya Hazel setelah mereka turun dari pesawat. Wanita itu berulang kali menggosok kedua lengannya, sepertinya perkiraan cuaca pada ponselnya tidak akurat. Hari ini adalah musim panas, namun Hazel merasa begitu dingin.
"Kamu pulanglah bersama Sekertaris Ender, aku harus mengantar Aemilie terlebih dahulu ke Tanggerang."
"Apa Anda akan pulang?"
"Tentu."
Aemilie melambai untuk berpamitan kepada Hazel. "Sampai jumpa lagi, Nona Hazel."
Hazel mengangguk dan tersenyum kemudian berpencar, setelah itu masuk ke dalam taxi yang sudah dipesan Abim beberapa waktu lalu bersama Sekertaris Ender. Mulai saat ini, ia harus terbiasa jika Abim akan sering pulang-pergi ke Tanggerang.
Sekertaris Ender terus menoleh ke belakang ketika mendengar Hazel yang sedari tadi bersin dan batuk. "Apa perlu berhenti ke apotik, Nona?" tanyanya. "Sepertinya Anda tidak enak badan, atau ingin saya beri tahukan ke Tuan Abim?"
Hazel menggeleng seraya menutup hidungnya yang terasa gatal. "Tidak usah, ada obat di rumah."
"Apa itu tidak apa-apa?"
"Ya, saya hanya masuk angin," sahut Hazel. Pantas saja sedari tadi ia merasa begitu dingin, mungkin ini sebab ia tidak makan apa pun di pesawat.
"Baiklah, Nona." Sekertaris Ender kembali fokus ke jalan, dan menunjukan letak apartemen Hazel kepada Sang sopir.
°°°
Hazel merebahkan tubuhnya yang terasa berat di atas ranjang setelah masuk ke apartemen. Ia melihat dua koper berwarna hitam dan kuning di dekat pintu. Beberapa menit lalu, Sekertaris Ender membawakannya dan meletakkan di sana, ia tidak tahu apa yang Abim beli untuk oleh-oleh beberapa waktu lalu bersama Aemilie. Mungkin akan menyenangkan jika bisa berjalan-jalan santai dengan pria itu dan membeli beberapa barang untuk oleh-oleh, tidak ada kecanggungan, terus tertawa dan tersenyum bersama.
Setelah lima menit melamun di atas ranjang, Hazel bangkit dan membuat mi instan. Ia harus mengisi perut kosongnya dulu sebelum minum obat. Wanita itu selalu siap sedia dengan beberapa obat yang mungkin saja ia butuhkan dikala darurat. Seperti jika Abim pergi, dan ia sakit. Ia tidak akan begitu saja menelepon Abim, atau meminta pria itu untuk merawatnya. Ia akan merawat diri sendiri sebisa mungkin, baru jika keadaan sudah sangat darurat ia akan memberi tahu Abim.
Hazel mengambil obat masuk angin di dalam lemari kotak yang tertempel pada dinding dengan tulisan P3K di apartemennya. Setelah selesai mengisi perut dengan mi instan, ia kemudian meminum obat dan tidur untuk membuat obat yang ia minum bekerja lebih cepat.
Di tengah tidurnya, Hazel berkeringat dan terus menggigil dan badanya terasa sakit semua. Sepertinya ia semakin parah sekarang, mungkin ini waktunya ia memberitahu Abim.
"Tuan, apakah Anda masih lama di sana?" tanya Hazel setelah telepon tersambung.
"Iya, ini baru jam tujuh. Aku akan pulang nanti tengah malam."
Hazel melihat jam kotak kecil di atas nakas, entahlah ia akan bertahan sampai lima jam kedepan atau tidak.
"Abim, aku ingin ke kamar mandi." Terdengar jelas suara lembut wanita di seberang sana hingga mengalihkan fokus Hazel untuk bicara yang sebenarnya.
"Apa ada lagi yang ingin kamu tanyakan?"
"Tuan, saya merasa tidak ...."
"Iya, sebentar. Aku ke sana," teriak Abim yang bukan ditunjukkan ke Hazel. "Kirim aku chat. Sampai jumpa nanti."
Hazel menghela napasnya berat, ia bahkan tidak bisa memberitahu yang sebenarnya kepada Abim tentang kesehatannya saat ini. Akan terasa aneh jika ia memberitahukan kesehatannya melalui pesan, kemudian ia memilih untuk kembali mengambil obat penurun panas, dan tidur.
°°°
Pukul dua belas malam, Abim kembali ke apartemennya. Ia membuka pintu sepelan mungkin, dan melangkah ke dalam dengan hati-hati agar tidak mengganggu seseorang di dalamnya. Di tengah lampu kamar yang temaram, ia melihat seorang wanita yang tertidur pulas di bawah selimut putih.
Abim mendekati wanita itu dan duduk di sampingnya. Mengelus surai hitam milik Hazel, dan menghela napas berat. Ada rasa bersalah pada tatapannya.
"Apa kamu sakit?" tanya Abim setelah Hazel menggeliat dan terkejut dengan kehadirannya di sana.
"Hanya tidak enak badan, Tuan. Mungkin karena perubahan cuaca," sahut Hazel seraya memegangi keningnya sendiri. "Demamnya sudah turun."
Abim berdiri dan melepas jas, serta dasinya. "Sudah minum obat?"
"Sudah, Tuan."
Setelah mendengar jawaban dari Hazel, Abim berjalan ke arah kamar mandi dan meninggalkan Hazel.
Apalagi yang Hazel harapkan? Semuanya sudah bisa ditebak, tentang respons pria itu yang sepertinya biasa saja. Hanya sakit hati yang didapat jika mengharapkan sesuatu tindakan yang lebih dari sekedar bertanya kabar.
Abim ke luar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih fresh menggunakan jubah tidur navy. Ia kembali memandangi Hazel yang tertidur lelap sedikit lama, setelah itu ia berjalan mendekatinya dan ikut merebahkan diri di samping wanita itu. Tangan kekarnya melingkar pada pinggang kecil istrinya, dan perlahan memejamkan matanya.
°°°
Ting! Tong!
Hazel duduk seraya memegangi kepalanya yang terasa berat ketika mendengar suara bel apartemen yang terus berbunyi. Siapa yang datang pagi-pagi buta begini?
Hazel menoleh menatap pria yang masih terlelap dengan selimut yang menutupi setengah badannya. Ia harus cepat-cepat bergegas membukakan pintu sebelum Abim akan bangun karena suara berisik itu.
"Iya, sebentar," sahut Hazel ketika kini ia berada di depan pintu.
"Kakak Ipar!" teriak seorang gadis di depan pintu ketika melihat Hazel, dan langsung memeluknya.
"Rayn," panggil Hazel kepada gadis muda berparas blasteran Prancis itu.
Dia Rayn Siva Azrezi, adik kandung Abimanyu Syam Azrezi yang bersekolah di luar Negeri. Umurnya baru tujuh belas tahun, namun ia sudah dikirim belajar jauh dari orang tuannya. Setiap pulang ke Indonesia untuk liburan, Rayn akan selalu mengunjungi tempat kakaknya terlebih dahulu. Menurutnya, seseorang yang paling berharga dihidupnya adalah Kakaknya.
"Bulan apa ini? Apa kamu sudah mulai libur?" tanya Hazel seraya mempersilahkan adik iparnya masuk, dan membantu membawa beberapa barang yang dibawa gadis itu.
"Juni," sahut Rayn dan menyapu semua pandangannya ke penjuru arah. "Apa Kak Abim belum bangun?"
"Ssst ... belum, jangan berisik dan biarkan dia tidur."
Baru saja Hazel memberikan perintah agar tidak membangunkan Abim, Rayn sudah dulu berlari dan memukul Abim di sana.
"Kakak, hari ini adikmu pulang dari Amerika. Apa kamu akan terus tidur! Bangunlah!" titah Rayn. "Sambutlah aku!"
Hazel hanya menggelengkan kepala, ini baru pukul lima pagi. Biasanya Abim akan bangun tepat jam delapan ketika hari minggu. Entah apa yang akan didapat Rayn nanti karena membangunkan Harimau yang sedang tidur, karena Abim termasuk pria yang benci ketika waktu tidurnya berkurang.
"Apa?" desisi Abim dengan mata yang masih setengah tertutup.
"Kakak ... bangun!!"
Abim segera duduk dan mengusap matanya berulang kali, rasanya seperti ada lem yang merekatkan matanya hingga ia susah untuk membukanya.
"Rayn, kenapa kau ke sini?" tanya Abim setelah tersadar.
"Ke mana lagi? Papa dan Mommy masih di Prancis, dan aku ngga suka sama Om dan Tante yang suka mengatur ini-itu kepadaku," ucap Rayn dengan wajah yang dibuat-buat agar terkesan menyedihkan.
"Mandilah terlebih dahulu, Rayn."
Rayn menoleh dan berlari memeluk Hazel. "Apa Kakak Ipar sakit? Suara Kakak serak."
"Udah sembuh, semalam aku cuma masuk angin," sahut Hazel. Padahal ia sudah tidak apa-apa, hanya tahap pemulihan saja ia sudah bisa beraktifitas seperti biasanya.
"Apa Kak Abim pulang malam terus?" Rayn menatap tajam Abim seperti mengintimiasi. "Apa Kak Abim merawat Kakak Ipar dengan baik?"
Hazel tersenyum gemas melihat tingkah Rayn. Hanya gadis itu yang berani memarahi Abim, dan hanya gadis itu dan Grandpa yang akan membelanya ketika ia terpojok di rumah keluarga Abim.
"Iya, Kakakmu merawatku dengan baik," ucap Hazel yang langsung membuat Abim tertegun beberapa saat.
"Aku tidak merawatnya," ucap Abim dingin, setelah itu meninggalkan ranjang dan masuk ke kamar mandi.
"Kenapa Kak Abim seperti itu?" Rayn heran dengan Abim, kebanyakan orang akan menerima ketika kesalahan mereka ditutupi orang lain. Namun, pria itu marah, bahkan tidak berterima kasih sama sekali atau merasa bersalah karena tidak merawat Hazel.
"Itu karena kamu membangunkan waktu berharganya untuk tidur, kamu mau makan apa?"
"Nasi goreng buatan Kakak Ipar!"
TBC.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top