0.7 Oleh-oleh Prancis dan kenangan pahitnya
Hazel sudah siap dengan semuanya, berdandan dan memakai kemeja serta rok selutut pada musim panas ini. Akan tetapi langkahnya tiba-tiba terhenti. Ia mengingat jika ia tidak pandai berkomunikasi menggunakan bahasa asing, belum tentu juga penjual atau ada orang Indonesia sama seperti dirinya di tempat yang akan ia kunjungi nantinya. Jadi, Hazel menunda keinginannya terlebih dahulu sampai Abim pulang. Sebenarnya ia juga bisa meminta tolong Sekertaris Abim untuk mengantarkannya. Namun sekali lagi, ia tidak memiliki nomor ponsel pria itu.
Hazel membuat makanan dari bahan-bahan yang tersedia di dapur, perutnya terus berbunyi karena belum makan apa-apa dari semalam. Ia membuat makanan dua piring, yang satu untuk ia makan langsung, dan yang satu untuk Abim, barang kali pria itu akan pulang ke hotel nantinya.
Hari sudah menjelang sore kembali, namun belum ada tanda-tanda kepulangan Abim, atau balasan pesan dari pria itu. Hazel terus mengirim pesan kepada Abim walaupun tidak ada jawaban. Ia takut jika Abim ternyata sudah pulang duluan ke Indonesia dan meninggalkannya di sana, atau ia lebih khawatir tentang keadaan pria itu.
Suara pintu yang terbuka akhirnya membuat mata Hazel berbinar. wanita itu langsung sedikit berlari untuk membantu Abim melepas jasnya, serta membawakan tas juga.
"Kenapa kamu mengirim banyak sekali pesan?" tanya Abim setelah duduk di sofa putih di ujung ruangan dekat ranjang.
"Karena Anda tidak membalas pesan saya," sahut Hazel. Lebih jelasnya jika ia mengkhawatirkan keadaan pria di depannya itu.
"Aku sudah bilang tunggu aku, jawaban itu seharusnya bisa kamu pahami."
Hazel menghela napasnya sedikit berat, dan duduk di samping Abim seraya mengulurkan gelas berisi air putih yang baru saja ia bawakan. "Maafkan saya, saya terlalu mengkhawatirkan Anda," ujarnya.
Abim menoleh menatap Hazel yang sudah berdandan cantik kemudian memeluknya, dan menenggelamkan wajah lelahnya pada leher wanita itu. "Aku ingin melakukannya."
Hazel tahu maksud kata-kata Abim barusan, setiap pria itu terlihat kelelahan atau stres, ia akan selalu siap sedia melayani kebutuhan Sang suami. Hazel mengangguk dengan senyuman tulus di wajahnya.
Melihat respons Hazel yang sepertinya tidak menolak, Abim langsung menjelajahi tubuh wanita itu dengan intens, membuka satu-per satu baju yang mereka kenakan secara bergantian.
"Apa kita akan melakukannya di sini?" tanya Hazel yang merasa tidak nyaman berhubungan dengan Abim di sofa. Walaupun sofa itu lumayan besar, tetapi tetap saja, ini pertama kalinya Hazel melakukan hal semacam ini tidak di atas ranjang.
"Apa kamu keberatan?" Abim berhenti dan menatap Hazel dengan mata sayu.
"Lanjutkan apa yang Anda mau, Tuan," sahut Hazel ketika keinginannya tidak bisa melawan untuk menolak permintaan Abim.
Beberapa jam setelah mereka selesai melepas hasrat masing-masing, dan membersihkan diri, keduanya kembali duduk berdampingan di sofa putih itu.
"Tuan, siapa wanita yang bersama Anda beberapa waktu lalu?" tanya Hazel setelah berusaha mempertimbangkan pertanyaan yang terus-menerus terngiang di kepalanya beberapa kali.
"Hanya teman," titah Abim seraya terus menggulir layar benda pipih di tangannya.
"Teman semacam apa itu? Kalian terlihat begitu dekat." Hazel tahu, jika Aemilie bukanlah teman biasa Abim. Ada banyak jenis pertemanan antara pria dan wanita, jadi Hazel ingin mendengar langsung jenis pertemanan Abim dan Aemilie dari mulut pria itu.
Abim mengelus surai hitam Hazel pelan, kemudian berucap, "Jangan terlalu keras memikirkannya, dia adalah teman lamaku."
Tidak ada pertanyaan lagi yang bisa Hazel utarakan. Jawaban pria itu akan tetap sama, menganggap jika Hazel tidak perlu tahu atau memikirkan masalah perasaan pria itu. Dengan kata lain, Hazel tidak sepenting dan sedekat itu dengan Abim hingga ia pantas mendengar hal-hal pribadi tentang Abim.
"Kita akan pulang ke Indonesia besok malam," ucap Abim. "Ada tempat yang ingin kamu kunjungi?"
"Pusat oleh-oleh, saya ingin membelikan oleh-oleh kepada Nenek saya," sahut Hazel gembira. Abim selalu tahu apa yang Hazel butuhkan.
"Baiklah, besok sore kita pergi."
°°°
Sudah tiga jam Hazel membereskan barang-barang yang akan ia dan Abim bawa pulang ke Indonesia. Hari ini adalah hari terakhir ia berada di Prancis. Abim sudah berjanji jika pria itu akan mengantarnya ke pusat oleh-oleh nanti sore.
Hazel terus menoleh seorang pria yang masih sibuk bekerja di depan laptop, ia sedikit risau perihal kesibukan Abim. Ia tidak ingin permintaannya untuk pergi ke pusat oleh-oleh akan dibatalkan karena Abim akan terus sibuk bekerja.
Wanita itu tak henti-hentinya melirik jam bundar di atas pintu, hanya dua jam lagi waktu sudah bisa dibilang sore hari. "Sore ini, apakah kita akan pergi ke pusat oleh-oleh?"
Abim menoleh sekilas dan mengangguk. "Hmm."
Hazel meletakkan koper yang baru saja ia tutup. "Bisakah kita pergi sekarang saja?"
"Kenapa?"
"Saya tidak sabar," sahut Hazel terus menunduk.
Beberapa detik tidak ada sahutan sama sekali membuat Hazel paham jika pria itu pasti menolak ajakannya.
"Bersiaplah, kita akan pergi!" titah Abim.
Hazel mengendus badannya, dan ternyata berbau keringat, padahal ia sudah mandi beberapa jam yang lalu. Mungkin karena cuaca hari ini panas, dan ia bekerja keras membereskan beberapa barang jadi keringat terus keluar dari tubuhnya. Mau-tak mau, ia harus bergegas mandi terlebih dahulu untuk kenyamanannya dan kenyamanan Abim.
Setelah selesai mengguyur tubuhnya di bawah pancuran air dingin, Hazel mengambil handuk di samping kiri tempat sabun-sabun dan segera memakainya.
Hazel mengeringkan rambutnya seraya melihat Abim yang tengah menelepon seseorang di depan jendela.
"Benarkah?"
Melihat wajah Abim yang tersenyum bahagia, Hazel sudah bisa menebaknya. Seseorang di balik telepon itu pasti Aemilie.
"Maaf, sepertinya aku tidak bisa mengantarmu," ujar Abim setelah menutup telepon.
"Kenapa, Tuan?"
"Aku harus mengantar temanku," ucap Abim seraya bergegas memakai jas.
"Bisakah Sekertaris Ender saja yang mengantar saya?" Hazel sudah terlanjur berniat membelikan oleh-oleh Neneknya. Ia tidak ingin membatalkan itu selagi ia masih bisa pergi tanpa Abim.
"Baiklah," sahut Abim dan mengirim nomor ponsel Sekertarisnya kepada Hazel. Setelah itu, ia benar-benar menghilang di balik pintu. Meninggalkan Hazel sendirian dengan wajah kecewa.
°°°
"Tuan, apakah Anda ingin membelikan sesuatu untuk Grandpa?" tanya Hazel setelah ponselnya tersambung ke ponsel Abim.
"Belikan aku sesuatu ...." Suara Abim terhenti, dan terdengar suara seorang wanita di balik sana.
"Aku haus, bisa ambilkan minum?"
"Tentu, minumlah dengan pelan."
Hazel memainkan buku-buku jarinya, tebakannya benar. Abim pergi buru-buru untuk menemui Aemilie. Beberapa menit berlalu begitu saja, ia terus menunggu jawaban dari Abim. Namun hanya percakapan antara pria itu dan wanita di sampingnya yang terus terdengar.
"Belikan apa saja," tukas Abim, lalu mematikan panggilan.
Hazel berjalan didampingi dengan Sekertaris Ender, ia melihat miniatur kecil berbentuk Paris dengan pahatan indah. Ia langsung tertarik dan membeli beberapa untuk ia berikan kepada Neneknya. Walaupun Neneknya sudah tidak muda lagi, wanita lansia itu sangat gemar mengoleksi barang-barang yang diberikan Hazel ketika bepergian. Ia menganggap jika itu adalah kenang-kenangan yang mungkin akan sangat berharga suatu hari nanti.
Hazel membeli miniatur dari yang kecil dan yang paling besar. Ia meminta untuk dibungkus rapih agar tidak rusak sampai Indonesia.
Sekertaris Ender mengangguk dan mengatakan semua keinginan Hazel kepada penjual miniatur.
"Apa ada lagi oleh-oleh khas Prancis yang bisa saya beli?" tanya Hazel.
"Cokelat?"
"Benar, mari beli cokelat khas Prancis," titah Hazel kemudian berjalan mengelilingi beberapa ruko kecil yang terletak di pinggir jalan itu.
Langkahnya terhenti ketika melihat seorang pria yang tengah mendorong kursi roda wanita di depannya. Itu Abim, bersama dengan Aemilie.
"Apa itu Tuan Abim?" tanya Hazel untuk memastikan jika pandangannya benar. Ia sering salah menyangka orang jika ia terus memikirkan Abim.
"Iya, Nona."
Hazel terus menatap punggung pria itu yang semakin menjauh. "Sedang apa Tuan di sini?"
"Nona Aemilie akan pulang ke Indonesia dan meminta Tuan Abim untuk mengantarnya pergi membeli oleh-oleh," titah Sekertaris Ender.
"Kenapa tidak sekalian bersama saya?" Hazel kecewa, sharusnya Abim mengajaknya juga, tujuan mereka sama, Hazel bahkan tidak keberatan jika pergi bertiga bersama Aemilie. Tapi mungkin Abim yang keberatan membawanya bersama Aemilie.
"Nona Aemilie tidak tahu jika Tuan sudah menikah," jawab Sekertaris Ender.
"Ah, begitu. Baiklah mari kita pulang." Hazel berbalik arah dan pergi begitu saja. Ia tidak ingin terus melihat Abim bersama orang lain. Rasanya seperti ada listrik yang menyetrum hatinya berulang-ulang kali.
"Tapi cokelatnya?"
"Tidak usah, sudah ada Miniatur," sahut Hazel seraya tersenyum ramah.
"Maafkan saya telah mengatakan hal-hal yang mengyinggung Anda, Nona," lirih Sekertaris Ender ketika mereka kini sudah masuk ke dalam mobil.
Hazel tertawa dan menggeleng. "Tidak sama sekali, saya hanya merasa lelah dan ingin cepat-cepat pulang ke hotel. Hari sudah semakin malam, jadwal penerbangan juga pukul sepuluh. Sebentar lagi," ucapnya.
"Baik, apa Anda tidak ingin mampir makan terlebih dahulu?" tanta Sekertaris Ender sekali lagi.
"Tidak, kita langsung ke hotel saja." Setelah mengatakan itu senyum Hazel memudar dan ia langsung memalingkan wajahnya ke samping untuk menghitung mobil yang mereka lewati. Rasanya sangat aneh melihat Abim bersama wanita lain. Ia tidak bisa baik-baik saja dengan itu, walaupun ia tahu posisinya yang sebenarnya di hati Abim. Ia tidak berarti apa-apa, hanya tinggal menunggu waktu ia akan dibuang pria itu karena pemilik asli hati Abim sudah kembali.
TBC.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top