0.3 Harapan Semu
Langit malam begitu gelap, Bulan Purnama dan Bintang-bintang bahkan tak terlihat begitu jelas sebab polusi Jakarta yang semakin tebal. Suara kendaraan semakin jelas di luar sana, mengalahkan suara angin malam. Hazel duduk termenung di sofa depan ruang televisi tanpa menyalakannya, hanya berbolak-balik menggulir layar ponselnya di satu aplikasi hiburan. Sudah satu hari berlalu seperti biasa setelah insiden di Victorian House. Baik Hazel maupun Abim tidak ada yang membahas itu, seperti tidak terjadi apa-apa.
Kesepian setiap hari di kota Jakarta yang padat penduduk terkadang membuat Hazel merindukan suasana tenang kampung halaman Neneknya, di Lhokseumawe, Aceh. Di sana, semua orang akan akrab satu sama lain baik itu dari kalangan orang kaya atau orang miskin. Sudah dua tahun ia tidak pulang ke sana, lagi pula tidak ada tujuan apa pun yang membuatnya harus pergi. Neneknya, satu-satunya keluarganya juga tinggal di Jakarta.
Setiap seminggu sekali, Hazel akan pergi ke Jakarta Pusat tempat tinggal Neneknya. Dua tahun lalu, Abim menepati janjinya dengan membiayai pengobatan Nenek Hazel. Walaupun tidak sampai sembuh total, setidaknya Nenek Hazel sudah bisa melakukan kegiatan seperti kala sehatnya. Hanya perlu menjaga pola makan agar darahnya tetap stabil, dan mengurangi resiko Stroke lagi. Bahkan Abim membelikan apartemen untuk Nenek Hazel, dengan dua pengurus rumah tangga di dalamnya. Satu orang mengurus Nenek Hazel, dan yang satunya mengurus pekerjaan rumah. Kebutuhan seharian juga dibiayai Abim. Dengan cara apa lagi Hazel harus sungguh-sungguh berterima kasih dengan kebaikan pria itu.
Hazel menoleh ketika mendengar suara seseorang yang tengah membuka apartemen dari luar. Buru-buru, ia melangkah untuk menyambut suaminya yang baru saja pulang kerja. Ini sudah pukul tujuh malam, dan pria itu baru pulang. Padahal setau Hazel, jadwal kantor suaminya hanya sampai jam lima sore. Apalagi Abim adalah pemimpin perusahaan, ia bebas untuk berangkat atau mengerjakan beberapa urusannya di rumah saja. Entah apa yang dilakukan pria itu selama dua jam di luar sana.
"Anda mau makan atau mandi dulu?" tanya Hazel seraya membantu melepas jas serta membawakan tas Abim.
Abim duduk di sofa tanpa sepatah kata pun dengan tangan kanan bergerak mengendurkan dasi dan membuka kancing atas kemejanya. Pria itu menghela napasnya kasar, kemudian beralih menatap Hazel.
"Sepertinya rambutmu sudah mulai panjang," kata Abim. "Kapan terakhir kali kamu memotongnya?"
"Itu tiga bulan lalu, ketika kita akan pergi ke pesta pernikahan Aiden," sahut Hazel seraya memegang surai hitamnya.
"Besok kita potong lagi."
Hazel terdiam, sebenarnya ia ingin sekali meminta Abim agar membiarkannya memanjangkan rambut sekali saja. Ia tidak suka rambut pendek karena tidak bisa di ikat, dan itu sangat panas ketika ia melakukan pekerjaan rumah. Namun apalah daya, mentalnya tidak seberani itu untuk membantah perintah Abim.
Lagi, dan lagi Hazel hanya mampu mengangguk untuk membalas perkataan Abim. "Apa Anda ingin makan sesuatu?"
"Hmm."
"Apa? Biar saya masakkan," ucap Hazel seraya mendekati Abim.
"Aku ingin memakanmu," seru Abim kemudian menarik Hazel sehingga wanita itu kini duduk di pangkuannya.
Abim tidak mengatakan sepatah kata pun lagi, dan langsung meletakkan tangannya pada tengkuk Hazel, sedangkan yang satunya memeluk pinggang kecil wanita itu. Setelah itu, Abim mencium leher Hazel dengan berat.
Tidak ada penolakan dari Hazel, ia hanya mendongak sedikit untuk mempermudah Abim melakukan apa yang pria itu inginkan.
Satu per satu, pakaian terjatuh ke lantai, dan tubuh yang hangat saling menempel. Abim segera menggendong Hazel dengan kedua tangannya menuju ranjang.
Pria itu hampir kehilangan akal sehatnya dan melampiaskan keluhannya kepada Hazel dengan meninggalkan banyak jejak di tubuh wanita itu. Sepertinya Abim sedang banyak pikiran, tidak seperti biasanya ia seperti ini.
Hazel mendongak seraya memegangi wajah Abim, berharap bisa diperbolehkan mencium bibir pria itu. Tapi sayangnya, seperti biasa, pria itu selalu menghindar.
"Tidak ada ciuman," lirih Abim membuat Hazel menghentikan gerakannya, dan hanya pasrah di bawah kendali Abim.
Setelah selesai, Abim segera pergi ke kamar mandi meninggalkan Hazel sendirian tanpa menoleh sedikit pun.
Itu sudah biasa.
Jika ada yang menanyakan apa keinginan Hazel, ia hanya ingin mendapat perhatian Abim sepenuhnya. Mendapat pertanyaan tentang keadaannya dari Abim, dan mendapat pertanyaan tentang persetujuannya. Itu saja, tapi sepertinya keinginannya tidak akan pernah terwujud. Abim selalu meninggalkan dan mengacuhkannya setiap kali setelah melakukan hubungan. Pria itu akan berlama-lama di kamar mandi, dan keluar tanpa sepatah kata pun lalu tidur memunggunginya. Hal itu membuat Hazel berpikir jika ia mungkin tidak pandai memuaskan suaminya, dan membuatnya menyalahkan diri sendiri terus-menerus.
°°°
Pagi hari, di hari selasa. Hazel sibuk membuatkan sarapan untuk Abim yang masih tertidur pulas. Hari ini adalah jadwal Hazel untuk menemui Neneknya, jadi setiap pagi di hari selasa wanita itu selalu membuat sarapan banyak untuk ia bawa juga ke tempat Neneknya.
Hazel menyiapkan dua piring nasi goreng sepesial buatannya di atas meja. Sembari menunggu suaminya terbangun, ia juga berganti pakaian dan berdandan untuk mempersingkat waktu pergi menemui Neneknya.
Hazel sudah siap dengan semuanya, waktunya ia buang dengan susah payah untuk menutupi bekas perbuatan Abim semalam di lehernya dengan bedak. Hanya satu sentuhan lagi membuat itu sempurna dan tak terlihat. "Tuan meninggalkan banyak sekali tanda di tubuhku semalam," gumam Hazel dalam hati seraya menoleh melihat Abim yang masih tidur dengan dada telanjang.
Hazel membuka kotak biru muda di tangannya, mengambil penjepit rambut berbentuk bulir-bulir salju kemudian memasangkannya ke rambut sebelah kanannya. Ia tidak terlalu paham alasan Abim yang selalu menyuruhnya memakai penjepit rambut. Sudah berbagai macam penjepit rambut yang Abim hadiahkan kepadanya, dari yang biasa-biasa saja sampai yang termahal karena terbuat dari berlian asli. Mungkin Abim menyukai wanita yang berambut pendek dan memakai penjepit rambut.
"Apa hari ini hari selasa?" tanya Abim yang baru saja membuka setengah matanya, melihat Hazel yang berada tak jauh darinya.
"Iya, sarapan sudah saya siapkan. Setelah Anda cuci muka, mari makan bersama," ucap Hazel.
"Aku akan mengantarmu," tukas Abim seraya bangkit dari tidurnya dan pergi ke kamar mandi. "Setelah itu kita langsung ke salon untuk memotong rambutmu."
Sudah lama sekali dari terakhir kali Abim mengantar Hazel ke tempat Neneknya. Pria itu selalu membiarkan Hazel sendirian, dan langsung pergi bekerja tanpa bertanya atau apa pun.
Dari pertama kali mereka menikah, Abim langsung membelikan Hazel mobil pribadi untuk mempermudah wanita itu pergi ke mana-mana dan tidak bergantung kepada siapa pun. Dengan cepat Hazel belajar, dan memiliki kartu Sim. Namun, wanita itu jarang ke luar dari apartemen dan memilih untuk berdiam diri di sana, sebenarnya alasan ia melakukan itu adalah untuk menghindari cibiran tetangga apartemennya yang selalu menghinanya sebagai wanita simpanan Tuan Muda. Hal itu membuatnya enggan untuk meladeni orang-orang kelas atas itu, hanya membuang waktu dan tenaga saja. Ia juga takut akan mengatakan jika ia adalah istri sirih Abim nantinya, dan membuat kacau semuanya. Hanya pada hari Selasa dan ketika Abim mengajak saja ia akan pergi dan berdandan.
Setelah makan selesai, mereka berdua ke luar dari apartemen menuju basement. Mobil Abim terparkir di tempat khusus, bukan hanya karena mobil Abim adalah mobil mewah Ferrari keluaran baru dengan plat nomor seri cantik, Abim juga berinvestasi besar di gedung apartemen itu.
"Bisakah kita berhenti di toko buah di depan sana?" tanya Hazel setelah mereka ke luar dari basement.
"Bisa."
"Nenek saya sangat suka anggur, setiap ke sana saya selalu membawakan anggur dan Nenek langsung memberi saya pelukan," ujar Hazel dengan senyum manis yang membuat mata wanita itu sedikit menyipit. Memberikan kesan menggemaskan bagi orang yang melihatnya.
"Baguslah," ucap Abim masih fokus menyetir. "Itu saja?"
"Iya itu saja," sahut Hazel langsung.
"Kue?" tanya Abim singkat sekali lagi.
"Maksud Anda beli kue?" tutur Hazel memastikan, dan mendapat anggukan dari pria di sampingnya. "Nenek tidak suka makanan manis."
"Baiklah. Lusa kita akan pergi ke Prancis."
"Tiba-tiba? Kenapa?" balas Hazel. Walaupun ia tidak akan terkejut dengan itu, Abim selalu memberitahu sesuatu secara mendadak ketika akan pergi.
"Ada pameran produk baru Louis cabang Prancis," sahut Abim.
Hazel mengangguk paham, setiap ada produk baru atau model keluaran baru dari perusahaan Louis. Baik itu parfum, baju, sepatu, atau yang lainnya. Abim akan langsung pergi sendiri memeriksanya, pria itu orang yang tidak bisa hanya mengandalkan bawahannya saja tanpa turun tangan langsung.
TBC.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top