0.2 Victorian House
"Bersiaplah! kita akan ke Victorian House."
Hazel berhenti menggerakkan sendoknya dan tertegun beberapa saat, sedikit berpikir kemudian berucap, "Apa ini sudah akhir bulan?"
Biasanya, mereka akan pergi ke rumah keluarga Abim ketika akhir bulan. Namun sepertinya baru dua minggu lalu mereka pergi ke sana, dan kini Abim sudah mengajaknya kembali. Rumah mewah itu biasa disebut dengan Victorian House karena desainnya yang khusus seperti rumah-rumah mewah yang ada di Prancis. Ayah Abim adalah keturunan asli Prancis, dan menikah dengan Ibu Abim yang dulunya menjadi model fashion pria itu. Mereka jarang di Indonesia karena menjalani bisnis Louis yang bercabang di Prancis. Hanya satu bulan sekali setiap tanggal akhir, dan kali ini tiba-tiba ada pertemuan keluarga lagi membuat Hazel deg-degan. Pasalnya, di keluarga Abim tidak ada yang menyukainya.
"Sepertinya Grandpa yang menyuruh semua orang berkumpul. Apa kamu keberatan?" tanya Abim yang langsung membuyarkan lamunan Hazel. Ada pengecualian, hanya Kakek Abim saja yang menerimanya di tempat itu.
Hazel mendongak kemudian menggeleng. "Tidak, apa Grandpa sudah kembali pulih?"
"Belum," jawab Abim seraya mengambil gelas di depannya.
"Baiklah, saya akan segera bersiap-siap." Segera, Hazel langsung berdiri membereskan piring-piring bekas sarapan tadi. Membawanya ke wastafel, lalu mencucinya.
Mereka tinggal di apartemen pribadi Abim di Jakarta Utara karena lebih dekat dengan tempat kerja pria itu. Tidak ada pembantu rumah tangga karena Hazel siap menanggung semua pekerjaan rumah, hanya ada bibi pulang-pergi yang datang setiap hari hanya untuk mengirim barang belanjaan dapur yang dipesan Hazel.
Setengah jam kemudian, Abim sudah siap dengan semuanya. Hazel langsung terpaku melihat suaminya, kemeja hitam yang digulung sesiku, serta celana berwarna sepadan sangat cocok dipakai, ditambah gaya rambut baru pria itu langsung membuat pangkling. Beberapa hari lalu, Hazel tidak sengaja mendengar percakapan Abim dan sekertarisnya membicarakan contoh model rambut populer di model-model. Jika tidak salah dengar namanya gaya Side Bangs. Benar-benar menambah kesan maskulin padanya. Abim memang tidak pernah gagal dalam masalah fashion.
Sebaliknya, Abim melihat penampilan Hazel setelah berganti baju tanpa berekspresi. Beberapa detik berlangsung begitu canggung, setelah itu Abim langsung berjalan ke lemari pakaian, dan mengambil beberapa baju pilihannya.
"Pakai ini saja," tuturnya seraya menyodorkan beberapa kain, Hazel langsung menunduk melihat dres hitam berbordir cantik selutut serta outer crop jaring putih, ditambah sepatu heals hitam di tangannya.
"Baiklah," sahut Hazel kemudian pergi kembali ke tempat ganti.
"Pakailah penjepit rambut bunga matahari," imbuh Abim.
Hazel menoleh sekilas, dan mengangguk sembari tersenyum. Jika Abim memang suka dengan pilihannya itu, ia akan melakukannya dengan senang hati.
°°°
Mobil Ferari hitam itu memasuki kawasan elite di Jakarta Selatan. Victorian House, tulisan latin indah sudah sangat terlihat di gerbang utama memasuki taman. Ada air mancur di tengah-tengah taman itu, di sebelah kiri terdapat lapangan golf pribadi keluarga. Baru setelah melewati taman, mobil itu berhenti tepat di depan pintu utama. Ada tiga pelayan yang langsung menyambut Abim dan Hazel dengan hangat. Dua wanita paruh baya dan satu wanita muda seumuran Hazel.
"Selamat datang, Tuan, Nyonya," ujar salah satu pelayan itu.
Hazel membalas dengan tersenyum dan mengangguk, sedangkan Abim begitu saja mengabaikan mereka dan masuk ke dalam rumah.
"Ante Azel."
Hazel menoleh dan langsung melihat anak kecil berwajah blasteran dengan bola ditangannya tengah berjalan dengan girang ke arahnya.
"Jack," seru Hazel kemudian membungkuk untuk mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh anak laki-laki berusia lima tahun itu.
"Let's go play ball with jack, Ante," ucap anak itu dengan suara yang begitu menggemaskan, membuat Hazel tidak bisa menahan diri untuk tidak mencubit pipi putih Jack.
"Ante harus ikut Paman Jack dulu ke sana, setelah itu nanti kita main bola," ujar Hazel seraya menunjuk Abim yang sudah berjalan masuk ke dalam rumah. Ia tidak terlalu faseh berbahasa inggris, jadi ia jawab sebisanya saja. Melihat respons Jack yang langsung mengangguk, anak kecil itu pasti tahu maksudnya.
"Jack," panggil seorang wanita yang tiba-tiba saja menghampiri mereka. Jalan wanita itu sedikit lambat karena keadaan perutnya yang sedang hamil besar. "Apa wanita ini menyakitimu?"
"Mommy," ujar Jack tidak suka. "Ante Azel bukan orang jahat, you know."
"Apa kau mengajari anakku untuk berteriak kepadaku?" desis wanita itu kepada Hazel.
"Tidak sama sekali, Kakak Ipar Valerie. Saya hanya ...."
"Jangan panggil aku Kakak Ipar, aku bukan Kakakmu dan kau bukan adikku, aku muak dengan wajah sok polosmu itu," sela Valerie kemudian menggandeng Jack masuk ke dalam setelah melemparkan bola dengan keras ke samping Hazel.
"Im sorry, Ante," lirih Jack.
Hazel langsung menggeleng dan tersenyum, seperti mengisyaratkan jika ia tidak apa-apa. Walaupun Valerie terlihat galak dan tidak suka kepadanya, dalam lubuk hati Hazel sangat mengagumi wanita itu. Tubuhnya sangat indah walaupun sedang hamil tua, kulitnya berwarna kuning langsat dengan rambut blonde yang dibiarkan begitu saja membuat kesan wajah cantiknya selalu terpancar walaupun dalam keadaan marah.
°°°
Semua orang kini berada di ruang makan, hening dan sunyi. Hanya suara sendok yang beradu dengan piring di meja makan. Tepatnya, di keluarga Azrezi melarang untuk mengeluarkan sepatah kata pun ketika sedang makan. Pendidikan tata krama di keluarga itu dinomor satu kan.
"Ante Azel, bisakah Anda menyuapi Jack? Please!"
Hazel mengerutkan alisnya, dan menggeleng untuk membuat Jack diam. Namun, anak kecil itu malah berjalan dan membawa piringnya ke samping Hazel.
Ragu-ragu, Hazel menoleh ke arah Abim. Bagaimana tanggapan pria itu, jika Abim mengizinkannya, ia akan melakukan itu. Beberapa menit kemudian Abim hanya menghela napasnya, kemudian mengangguk.
"This is delicious," ucap Jack dengan mulut penuh makanan sekali lagi. Membuat semua orang di meja makan langsung menatap tajam ke arah Hazel dan Jack bergantian. Setelah itu mereka melanjutkan makan kembali.
"Valerie, harusnya kamu ajarkan Jack untuk tidak bicara ketika makan, dan suruh dia makan dengan tangannya sendiri!" tukas pria paruh baya yang duduk di ujung tempat makan sebagai pemimpin setelah acara makan malam selesai. Tak lain ia adalah Azrezi, ayah Abim. "Dan kamu juga Erick sebagai ayah, harusnya kamu yang lebih memperhatikan ini."
"Maaf Kak, itu bukan salah Jack. Dia sedikit bergaul dengan wanita yang tidak berpendidikan, mungkin itu sebabnya. Untuk kedepannya, aku pastikan Jack tidak akan mengulanginya," ujar Erick menatap sinis ke arah Hazel.
"Paman," ucap Abim dengan balik menatap tajam Erick-Pamannya.
"Haish, aku lelah dengan drama rumah ini. Bagaimana bisa seorang lulusan College Internationalle Indonesia, bahkan lulusan terbaik Savard Fashion Design Prancis bisa menikah dengan wanita yang bahkan tidak lulus SMA," sindir Valerie dengan tangan yang terus mengusap perutnya. Wanita itu segera memanggil pelayan muda di sampingnya untuk membawa Jack bermain. "Jangan sampai nasib sial terjadi pada anak-anak ku."
Hazel memainkan buku-buku jarinya, gelisah. Mau bagaimana pun yang dikatakan Valerie adalah kenyataan. Ia hanya wanita tidak berpendidikan, ia tidak pantas duduk bersama orang-orang kelas atas itu. Bahkan dengan tidak malunya menyimpan perasaan kepada pria kebanggaan keluarga itu. Hatinya sakit, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Setiap berada di sana, hanya ada hinaan yang terucap dari mulut mereka.
Adakalanya Hazel ingin menolak ajakan Abim untuk pergi ke tempat itu yang seperti neraka baginya, tapi ia tidak ingin membuat Abim kecewa padanya karena tidak menuruti perintah. Bagaimana pun mereka tetap keluarga Abim.
"Cukup! Mau bagaimana pun, Hazel adalah menantu di rumah ini," ujar pria tua yang baru saja datang dengan kursi roda. "Jangan pernah menghinanya."
"Ayah, Valerie benar. Jika saja Abim tidak menuruti syarat ayah untuk buru-buru menikah, Abim tidak akan pernah salah pilih orang, bahkan menikah sirih. Harusnya kita menjodohkannya dan pasti akan ada acara besar-besaran tanpa ragu dan malu jika istri Abim orang terpandang seperti kita," ucap Aelita-Ibu Abim.
Di saat semua orang tengah membicarakannya, di sini Abim masih dengan tenang menatap ponselnya seraya meminum air putih, dan acuh membiarkan Hazel yang sedang tertekan keluarganya.
"Itu pilihan Abim sendiri, dan Grandpa tidak mempermasalahkan itu. Siapa pun orangnya, asal Grandpa bisa melihat langsung pernikahannya, itu baik-baik saja," ujar pria tua itu dengan wajah tersenyum.
"Lagian kamu Abim, kenapa begitu terburu-buru mengambil alih perusahaan?" tanya Azrezi.
Abim menoleh kemudian mengatakan, "aku tidak ingin perusahaan yang dibangung Grandpa dengan susah payah dihancurkan oleh orang yang ceroboh dan serakah."
"Apa maksudmu? Sebelumnya perushaan Louis cabang Indonesia aku yang pegang, selama itu perusahaan baik-baik saja. Apa yang kau maksud adalah aku?" tanya Erick.
"Harga saham anjlok karna skandal bodohmu, barang semakin kurang berkualitas. Penggelapan dana di mana-mana, banyak pegawai yang mengeluh dan mengundurkan diri karena ketidak logisan upah kerja. Apa itu yang dimaksud perusahaan baik-baik saja ditanganmu, Paman?" Mata Abim tak henti-hentinya memancarkan laser mematikan ke pamannya. Membuat Erick merasa ciut dengan perkataannya, karena baru kali ini Abim berbicara banyak seperti itu. "Aku permisi. Grandpa, tetap jaga kesehatan."
"Tunggu dulu, kita belum membahas apa tujuan Grandpa mengundang kalian berkumpul."
"Lain kali saja," tukas Abim, kemudian menggandeng tangan Hazel.
°°°
Di dalam mobil, Hazel hanya melamun melihat ke luar jendela. Menghitung satu per satu mobil yang berwarna sama yang mereka lewati.
"Menghitung mobil lagi?" tanya Abim masih fokus menyetir.
"Iya, itu menyenangkan dan bisa mengalihkan pikiran." Hazel menatap Abim seraya tersenyum. Ia tidak ingin jika Abim melihatnya berekspresi sedih.
"Jangan terlalu dipikirkan."
"Ya? Ah tidak, cuma sedikit," sahut Hazel masih dengan senyuman manisnya. Kini jari telunjuknya ia satukan dengan jempol untuk menunjukkan betapa sedikitnya ia bersedih. "Segini, ya ... segini."
"Hmm."
Hazel menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Apa ia terlihat begitu konyol sekarang? Dalam keadaan apa pun, Abim hanya menunjukkan ekspresi yang sama, dingin. Terkadang Hazel membayangkan betapa indahnya wajah itu jika melekukan sedikit kedua ujung bibirnya ke atas.
"Sedikit saja, tersenyumlah untukku," gumam Hazel dalam hati.
TBC.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top