0.1 Bogor
Bogor pukul 14.57.
Langit tak ada hentinya menyerukan suara gemuruh, seperti mengabarkan jika sebentar lagi akan turun hujan. Sudah dua hari Hazel pergi menemani Abim melakukan perjalanan bisnis ke kota Bogor yang terkenal dengan julukan kota hujan itu. Abim memiliki Villa pribadi di sana, tepatnya di kawasan Sentul Selatan Babakan Madang, Bogor. Dari kamar pribadi Hazel, ia bisa melihat pemandangan indah gunung-gunung dari kejauhan.
Hazel kembali melihat layar ponselnya, berharap mendapat kabar keberadaan Abim. Sudah lima jam ia ditinggal sendirian di sana, sedangkan suaminya pergi dengan sekretarisnya bertemu rekan bisnis. Hazel berdiri di depan jendela kaca yang terbuka seraya menggenggam secangkir kopi panas. Menghirup angin pegunungan yang begitu menyejukkan, serta menenangkan pikirannya.
Setelah memberanikan diri, Hazel menekan tombol hijau untuk menghubungi suaminya. Terkadang ia ragu, dan takut akan mengganggu waktu Abim.
Hanya beberapa detik panggilan itu langsung tersambung, dan Hazel langsung menyuarakan maksud panggilannya. "Jam berapa kira-kira Anda akan kembali?"
"Malam hari," jawab Abim singkat.
"Tidurlah dulu, jangan tunggu aku."
"Baiklah, jaga diri Anda."
Tidak ada jawaban lagi, dan panggilan itu terputus begitu saja.
°°°
Suasana di kamar Hazel terliat sunyi, lampu utama sudah dimatikan dan hanya tersisa lampu tidur yang terlihat sangat redup. Abim menaruh tas kerjanya di atas meja, dan sekilas melirik melihat sosok wanita yang tengah tidur terlelap di atas ranjang dengan posisi meringkuk seperti huruf S.
Abim menyalakan lampu dengan hati-hati agar wanita itu tidak terbangun. Sekarang sudah lewat tengah malam, dan Abim baru bisa kembali ke Villa itu. Sebenarnya urusan bisnis dengan rekannya sudah selesai dari jam lima sore. Namun, ia memilih untuk berkumpul dengan teman-teman lamanya sampai tidak sadar jika sudah sangat larut untuk terus berkumpul.
"Anda sudah pulang?"
Abim menoleh dan mendapati wanita itu terbangun dan sudah duduk sembari mengusap mata. "Tidurlah kembali."
"Apa Anda sudah makan?" tanya Hazel segera bangkit untuk membantu melepaskan jas Abim.
"Sudah."
Hazel mengangguk kemudian berjalan ke kamar mandi. "Akan saya siapkan air hangat."
"Hmm," sahut Abim.
Pria itu duduk bersandar di sofa, memejamkan mata dan memijat pelipisnya. Kepalanya terasa sangat berat sekarang, mungkin karena tadi saat bersama teman-temannya ia meminum sedikit alkohol. Jika sedang bersama teman-teman lamanya, Abim tidak bisa menghilangkan kebiasaan lamanya bergaul dan ikut minum.
Hingga lima menit kemudian pintu kamar mandi terbuka. "Air hangatnya sudah siap," ujar Hazel. "Jangan terlalu lama berendam, sudah larut itu tidak baik."
Abim mengangguk. "Tidurlah!" titahnya melihat wajah Hazel yang masih terlihat mengantuk.
"Baik," sahut Hazel dan kembali merebahkan tubuhnya.
Baru beberapa menit rasanya Hazel memejamkan mata, ia merasakan ada sentuhan hangat di perutnya. Ia menoleh dan mendapati Abim yang kini sudah mengenakkan pakaian tidur dan memeluknya dari belakang.
"Tetaplah seperti ini," ucap Abim dengan mata terpejam.
Hazel mengangguk kemudian ikut memejamkam matanya dibawah pelukan hangat sang suami. Ia tersenyum dan merasa senang.
Rasanya jantung Hazel tidak bisa tenang begitu saja terasa seperti dejavu, walaupun sudah dua tahun ia tidur seperti ini dengan Abim. Ia masih belum terbiasa dengan itu. Hazel menggerakkan tubuhnya dan kini menghadap Abim yang sudah tidur sedari tadi, napasnya tenang dan sesekali terdengar dengkuran halus dari bibir pria itu.
Hazel tidak bisa menahan diri untuk tidak menyentuh bibir pria itu. Seperti apa rasanya jika ia bisa sekali saja menciumnya.
"Tidak ada ciuman."
Suara Abim dua tahun lalu masih terngiang-ngiang di kepala Hazel, memang selama ini ia tidak pernah berciuman dengan pria itu. Dengan alasan, Abim percaya jika ciuman hanya dilakukan oleh dua orang yang saling menyukai saja. Buru-buru Hazel kembali memunggingi Abim, ia melihat jam kotak kecil di atas nakas yang menunjukkan pukul tiga dini hari dan waktunya ia tidur.
°°°
Hari ini sudah hari ke enam Hazel ikut suaminya di Bogor, ia tengah mengemasi semua barang-barang untuk kembali ke Jakarta. Sedangkan Abim kini berada di teras bersama Ender, Sekertarisnya. Terlihat mereka yang sedang sibuk membicarakan pekerjaan.
Hazel merasa ada yang mengganjal di saku jas Abim, dan benar saja, ia menemukan sebuah penjepit rambut di saku jas yang semalam dipakai Abim. Bau pakaian itu juga sangat asing, seperti bau parfum wanita.
Buru-buru Hazel menepis pikiran anehnya tentang Abim. Ia percaya jika suaminya itu tidak mungkin melakukan hal-hal di luar batas. Ia juga mengingat perkataan Abim dua tahun lalu, jika pria itu tidak akan tertarik dengan siapa pun.
Hazel merasa ia adalah wanita satu-satunya yang dekat dengan Abim. Tiba-tiba ia jadi merasa menjadi orang istimewa yang ada di dekat Abim, dan itu membuat pipi wanita itu memerah.
"Ada apa?"
"Eh?" sahut Hazel dengan terkejut. Bukankah pria itu tadi masih ada di teras? "Bukan apa-apa, saya hanya merasa panas."
"Apa itu?" tanya Abim ketika melihat Hazel memegang penjepit rambut dan jasnya.
"Ini saya temukan di saku jas Anda," jawab Hazel seraya menyerahkan penjepit rambut itu. "Apa ini milik teman Anda?"
"Hmm."
Abim mengambil penjepit rambut itu, melihat beberapa detik dan menggosok pelan dengan jempolnya kemudian menyimpan di saku jas yang sedang ia pakai kembali.
"Wanita itu pasti sangat penting bagi Anda," ujar Hazel dengan senyuman manis seperti biasanya.
"Jangan terlalu keras berpikir." Abim mendekati Hazel dan mengelus pelan surai wanita itu.
Hazel tidak melupakan statusnya yang hanya sebagai istri sirih Abim, dengan kata lain, ia hanya wanita simpanan yang tidak pernah diakui statusnya di depan dunia. Ia juga siap jika suatu hari nanti ia akan melihat Abim akan benar-benar jatuh cinta dengan wanita yang dicintai pria itu dan meninggalkannya.
Melakukan pernikahan sirih dengan iming-iming biaya pengobatan neneknya saja sudah membuatnya bahagia. Ditambah berada di dekat Abim, pria yang ia cintai itu membuat Hazel sangat bahagia.
Mereka memasukkan koper ke dalam sebelum akhirnya keduanya duduk berdampingan di kursi belakang. Sedangkan Sekertaris Ender yang mengemudi mobil. Jarak Villa Abim dengan jakarta lumayan dekat, hanya butuh sekitar satu jam untuk sampai.
Setiap kali Abim melakukan perjalanan bisnis ke luar kota, atau tempat jauh, ia pasti selalu membawa Hazel bersamanya. Walaupun wanita itu hanya menunggu berdiam diri di kamar penginapan. Juga terkadang sesekali Abim akan mengajak Hazel ikut bersamanya bertemu rekan bisnis. Sebagian besar teman-teman dekat Abim tahu jika Hazel adalah istri Abim, dan yang lainnya hanya tahu jika Hazel adalah teman kencan pria itu.
Mungkin karena semalam Hazel tidak bisa tidur kembali, di tengah perjalanan ia merasa ngantuk. Wanita itu menyandarkan kepalanya ke kanan, tepatnya jendela mobil. Ketika ia baru saja memejamkan mata, ia merasakan sebuah tangan kekar yang memasangkan bantal berbentuk bulan sabit di lehernya. Ia tahu itu perbuatan Abim. Tidak hanya sekali dua kali ia diperlakukan seperti itu, dan Abim hanya menjawab jika tidur seperti ini akan membuat sakit leher.
Hazel membuka matanya separuh kemudian tersenyum, dan berkata, "Terima kasih."
"Hmm," jawab Abim singkat, setelah itu kembali fokus ke layar ponselnya.
TBC.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top