0.0 Prolog

Wanita cantik itu tersenyum malu ketika seorang pelayan restoran memujinya sebagai wanita beruntung karena bisa berdampingan dengan Tuan Muda keluarga Azrezi yaitu penerus generasi ketiga orang terkaya di Indonesia. Tidak ada yang tahu jika wanita itu sebenarnya sudah menjadi seorang istri. Hazel melirik suaminya yang masih berekspresi sama tengah melihat ponsel. Sudah satu jam mereka makan di sana, bahkan makanan di depan Hazel sudah hampir habis. Namun, pria di depannya bahkan belum menyentuh makanan apa pun hanya sibuk dengan benda pipih itu.

"Apakah Anda tidak lapar?" tanya Hazel seraya membersihkan sekitar mulutnya dengan tisu.

"Tidak." Abim hanya melirik sekilas Hazel, kemudian kembali tertuju ke ponselnya.

"Baiklah," ujar Hazel seraya tersenyum kembali. "Kita akan pulang?"

"Iya."

Wanita bernama Hazel Sherina Azalia itu menghela napasnya kemudian mengangguk. Itu sudah biasa, sikap dingin Abim kepadanya tidak pernah berubah. Selama dua tahun silam ia menjadi istri pria itu, ia tidak pernah melihat sedikit senyum di wajah Abim. Hazel hanya perlu menunggu entah kapan itu akan terjadi, ia pasti bisa mencairkan sikap dingin Abim.

Dua Tahun Lalu.

"Maukah kamu menikah denganku?"

Hazel tertegun beberapa saat ketika seorang pria yang baru ia kenal beberapa hari ini tiba-tiba datang ke rumahnya dan melamarnya. Ini tidak terlihat seperti lamaran romantis di film-film, hanya seperti seseorang yang tengah menanyakan pendapat.

Hazel hanyalah gadis yatim piatu yang baru pindah ke Jakarta bersama neneknya. 17 tahun lalu ketika terjadi tsunami tepatnya di Banda Aceh, tempat tinggal Hazel, ia adalah salah satu orang yang selamat di keluarganya. Ayah, Ibu, Saudara laki-lakinya menjadi korban. Karena pada saat kejadian, ia kebetulan tidak ikut bersama mereka. Umurnya baru 4 tahun, dan sebelum peristiwa itu terjadi, gadis kecil itu dititipkan ke neneknya yang rumahnya sedikit jauh dari sana karena ayah dan ibunya sedang ada pekerjaan bisnis dan tidak bisa menjaga Hazel.

Hazel kecil kembali ke rumahnya setelah beberapa hari. Namun di sana kosong hanya reruntuhan bangunan dan air di mana-mana. Hazel kecil menangis mencari ibunya, dan tidak pernah bertemu keluarganya lagi. Selama 17 tahun ia hidup bersama neneknya.

"Maaf, Tuan. Kita baru saja mengenal satu sama lain, dan saya hanyalah pengantar kopi di kantor Anda, saya tidak pantas," jawab Hazel. Ia tahu, jawabanya adalah yang paling tepat. Walaupun ia tahu sejak pertama kali ia bekerja di sana, dan melihat Abim ia langsung jatuh cinta. Namun tetap saja, ia harus bercermin dahulu, ia tidak pantas dengan penerus keluarga Azrezi yang kaya dan tampan. Harusnya ia senang dilamar pria itu, masalah cinta mungkin bisa datang kapan saja jika itu takdir.

Abim masih tidak berekspresi, menatap lurus. "Nenek, apakah Anda merestui hubunganku dengan cucu Anda, Hazel?" tanya Abim kemudian berjalan melewati Hazel.

"Dia adalah anak sulung keluarga Azrezi pemilik saham terbesar dan pemilik perusahaan pakaian merk Louis yang ternama," ujar seseorang di samping Abim. Seperti yang terlihat, pria itu mungkin asisten atau sekretaris Abim.

"Aku ingin kehidupan yang lebih baik untuk cucuku Hazel. Jadi aku merestui hubungan kalian," jawab wanita paruh baya yang sedang duduk di kursi roda seraya tersenyum. Melihat pria tampan berjas, nenek sudah langsung menebak jika pria itu adalah orang kaya. Jika Hazel bersama pria itu, ia akan bahagia cucunya tidak hidup susah lagi.

"Bagaimana Nona Hazel?" tanya Abim sekali lagi.

"Tapi keluarga Anda?"

"Bisakah kita bicara berdua saja?" tanya Abim.

Hazel melirik neneknya, kemudian mengangguk. Ia berjalan ke teras rumah bersama Abim di depannya.

"Kita hanya menikah sirih."

Hazel langsung menoleh, hampir tersedak napasnya sendiri. "Maksud Anda? Tidak secara hukum?"

"Aku tau itu tidak mudah untukmu, tapi aku menjamin hidupmu dan hidup nenekmu. Aku akan memenuhi semuanya, biaya berobat nenekmu, dan keperluan sehari-hari."

Hazel menggeleng, ia sudah menduga dari awal. Pria di sampingnya itu memiliki motif tersendiri mengajaknya menikah, apalagi hanya menikah sirih. Pernikahannya tidak diakui Negara, mungkin juga orang lain. Atau ia hanya akan dijadikan simpanan nantinya.

"Kenapa?" Abim menatap Hazel serius.

"Saya tidak bisa, Tuan. Saya tidak tahu apa tujuan Anda yang sebenarnya, apa tujuan pernikahan ini?" tanya Hazel.

Sekretaris Abim datang kembali dan mengambil kertas foto copyan ditengah-tengah dokumen yang ia bawa, kemudian menyerahkan kepada Hazel. "Pernikahan ini bukan karena cinta antar pihak, aku hanya ingin mendapat warisanku saja. Aku tidak bisa memilih sembarang orang, jadi aku pikir kamu cocok."

"Kenapa harus saya?"

"Kamu mirip seseorang, dan aku yakin kamu cocok dengan pernikahan ini. Aku mendengar banyak tentangmu, kamu baru pindah ke Jakarta dan bekerja keras untuk membiayai pengobatan stroke nenekmu. Kamu bahkan tidak melanjutkan pendidikan, dan berhenti di sekolah menengah kelas 2."

Sudah banyak yang Abim tau tentang Hazel, dan itu semua benar. Hazel tidak berpengalaman apa-apa hidup di Jakarta. Namun bukan begitu ia harus menerima tawaran Abim, dan menikah sirih dengan pria itu.

"Sampai kapan?" tanya Hazel.

"Kita lihat saja kecocokannya nanti," jawab Abim enteng.

"Kenapa tidak ada pernikahan hukum Negara? Kenapa harus menikah sirih?"

"Itu tidak penting, aku tidak tertarik dengan pernikahan yang seserius itu. Hanya menikah sirih saja sudah membantuku mendapatkan hak warisku."

Masih banyak pertanyaan-pertanyaan di benak Hazel. Namun, wanita itu tidak tahu mana dulu yang harus ditanyakan, seperti dikejar waktu. Ia tahu, jika orang seperti Abim tidak suka bertele-tele, apa yang akan terjadi nantinya jika ia menolak? Apakah ia akan kehilangan pekerjaannya, dan hidup lebih susah lagi di Jakarta? Sebenarnya penghasilan di Desanya lebih berkecukupan untuk sehari-hari, tapi neneknya butuh pengobatan yang dianjurkan dokter yaitu di Jakarta.

"Bagaimana jika aku atau Anda ada yang jatuh cinta?" Tiba-tiba pertanyaan itu yang keluar terlebih dahulu dari mulut Hazel. Karena ia sudah terjebak dan menyukai Abim dari pertama kali ia bertemu pria itu di perusahaan tempatkerjanya. Sudah dua kali ia mengantarkan kopi ke ruangan Abim, dan terpesona dengan tatapan serius pria itu ketika bekerja.

"Entahlah."

"Jika aku yang jatuh cinta?"

Abim melirik Hazel kemudian dengan isyarat menyuruh sekretarisnya untuk berbicara. "Itu terserah Anda, Tuan tidak melarangnya. Tapi Tuan tidak akan bertanggung jawab apa pun resikonya."

"Baiklah." Ia tidak tahu maksud jawaban Abim yang sebenarnya. Namun, ia berfirasat Abim melarangnya untuk jatuh cinta. Mungkin ada benarnya Abim mengatakan itu dari awal, jadi Hazel tidak akan berharap lebih nantinya. Tapi apakah semumur hidup menjalani cinta tak terbalas akan menyakitkan? Atau itu akan teralihkan dengan hidup baik yang berkecukupan?

"Setuju?" tanya Abim.

Hazel memandang neneknya dari kejauhan, demi kebaikan orang yang sudah merawat dan menyayanginya selama ini. Perihal cinta mungkin tidak ada apa-apanya. "Apakah suatu hari nanti aku atau Anda bisa memutuskan hubungan?"

"Bisa, jika sudah benar-benar tidak cocok dan merugikan kedua belah pihak," balas sekertaris Abim. "Jika Anda sudah setuju, bisa tanda tangan kontrak di sini."

Hazel melihat kertas dokumen yang dibawa sekertaris Abim, sedikit membaca isinya dan kemudian bertanda tangan di atasnya.

Begitulah kehidupan tak terduga Hazel di mulai, nyatanya sikap Abim yang dingin tidak juga membuat pria itu kejam dan membiarkan Hazel begitu saja. Selama dua tahun menjalani pernikahan, pria itu selalu memberikan hak Hazel sebagai istri, ia membelikan mobil, baju, sepatu, dan keperluan lainnya, ketika malam hari mereka juga melakukan hubungan suami-istri seperti pada umumnya.

Hazel selalu menerima apa pun pemberian Abim, atau aturan Abim. Ia tidak pernah memanjangkan rambutnya, karena abim suka rambutnya yang sebahu. Jika sudah melebihi beberapa senti saja, Abim sudah langsung membawa Hazel ke salon untuk merapihkan lagi.

Semua pakaian yang dikenakan Hazel adalah pilihan Abim, bahkan terkadang Abim tidak setuju dengan pilihan Hazel dan langsung meminta wanita itu berganti pakaian sesuai keinginannya.

Hazel bingung antara senang atau sedih, ia sedikit keberatan hidup seperti boneka yang terus diatur Abim, dan tidak bisa melakukan keinginannya. Namun di sisi lain, ia juga merasa bahagia ketika mendapat apa pun pemberian Abim walaupun sesuatu yang tidak ia sukai, asal dari Abim yang ia cintai, itu akan membuatnya senang.

Terkadang, ia berpikir jika mungkin ada sedikit perasaan Abim kepadanya walaupun sekecil debu. Hanya berusaha banyak untuk menumbuhkan cinta itu agar lebih besar. Ia mulai serakah dan berharap jika suatu hari nanti ia akan bisa mencairkan gunung es itu, dan mendapatkan balasan cintanya.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top