Bab 9. Tawaran Kerja Sama

Bab 9. Tawaran Kerja Sama

"Ayo, masuk!" Saka yang melihat Zi bengong di dekat mobil kantas berbalik dan menghampiri perempuan itu. "Yuk!"

"Ish, ngapain elo mo gandeng-gandeng gue. Gue bisa jalan sendiri!" Zinnia menepis tangan Saka dan mengentakkan kakinya. Dengan bibir manyun, dia gegas masuk ke halaman rumah yang asri.

Ajisaka tersenyum miring melihat sikap ketus Zi. Laki-laki itu mempercepat langkah hingga berjalan bersisian dengan Zi. Dia mengabaikan pandangan Zi yang melirik ke arahnya dengan wajah jutek. Sesampainya di pintu masuk Saka mengucap salam kemudian sedikit berteriak, "Buk, ini calon mantunya dah dateng."

Bu Sri dengan sedikit tergopoh-gopoh keluar dengan senyum terkembang. Beliau mendelik ke arah putra sulungnya. "Le, mulutmu itu mbok, ya, disaring kalo ngomong. Nanti Mbak Zi tersinggung." Sementara tersangka utama malah cekikikan menganggapi omelan sang ibu. Bu Sri langsung menghampiri Zinia yang mematung di ruang tamu. "Maafin anak ibu, ya, Nak Zi. Saka emang suka usil. Tapi sebenernya hatinya baik, kok," sapa Bu Sri ramah.

Boleh enggak, sih, mulut anak Ibu gue bejek-bejek kek sambel, omel Zi dalam hati seraya membalas pelukan Bu Sri. Apalagi dari balik punggung peremuan paruh baya itu, Saka masih saja cengengesan sambil mengedipkan sebelah matanya. Namun, setelah pelukan terurai Zi memasang senyum termanis. Bagaimana mungkin perempuan sebaik Bu Sri melahirkan anak seperti Ajisaka yang tengilnya bikin gue mual? Zinnia geleng-geleng sendiri merasa geram karena otaknya ternodai oleh laki-laki berlesung pipi itu.

"Nak Zi kenapa? Pusing, ya? Ayo, duduk dulu!" ajak Bu Sri seraya menggandeng tangan Zi. Beliau kemudan berpaling ke arah Saka. "Le, minta tolong Mbak Imah bikin teh anget!" titahnya.

"Oh ... eh, saya baik-baik aja, kok, Bu," ucap Zi sopan. Hanya saja ... kelakuan putra ibu yang bikin gue migren, lanjutnya dalam hati.

Tanpa membantah Saka langsung menuju belakang rumah. Sesaat kemudian, laki-laki itu sudah muncul kembali dan langsung mengempaskan tubuhnya di kursi yang kosong. Dering ponsel terdengar. Ternyata benda pintar di saku celana Saka meminta perhatian. Saka beranjak dari kursi serta bergerak menjauh sebelum menjawab telepon.

Zi mengamati pergerakan Saka dengan ujung matanya. Diam-diam dia mengembuskan napas lega saat sosok laki-laki itu menghilang. Bersamaan sosok Saka keluar, seorang perempuan berusia empat puluhan datang dengan membawa nampan berisi teh hangat beserta camilan.

Bu Sri langsung meminta Zi untuk meminum teh terlebih dulu.

"Jadi ... ini calonnya Mas Saka nggih, Bu? Cantik, ya? Kayak artis di tivi," ucap Mbak Imah yang terperangah melihat penampilan Zinnia.

"Uhuuk!" Zinnia tersedak teh yang sedang diminumnya hingga terbatu-batuk. Wajahnya yang putih langsung memerah.

"Huss! Ojok ngawur nek ngomong! Kasian Mbak Zi sampe keselek," omel Bu Sri seraya mendelik tajam.

"Ma-maaf, Buk. Duh, maaf, ya, Mbak. Tapi cocok, loh ... yang satu cantik yang satu ganteng," ucap Mbak Imah sambil terkikik. Dia menutup mulutnya dengan nampan yang sedang dibawanya.

"Wes, sana masuk lanjutin masak di dapur!" perintah Ibu Sri seraya mengibas-ngibaskan tangannya, menyuruh Mbak Imah segera pergi. Ibu Sri meminta maaf atas kelakuan asisten rumah tangganya. "Nak Zi, Ibu minta maaf kemain dulu malah kelupaan enggak bahas masalah lahan. Jadi gimana rencana Nak Zi?"

Zi meletakkan cangkir yang dipegangnya. Dengan mengulas senyum manis, dia membeberkan rencananya. Bu Sri menyimak setiap penjelasan yang meluncur dari bibir Zi. "Jadi, Ibu minta harga berapa untuk lahan itu?"

"Hmm ... gimana kalo kita kerja sama aja?" tanya Bu Sri antusias.

Zi mengerjap. "Eh, maksud Ibu tidak jadi dijual? Jadi saya sewa, gitu?"

Perempuan paruh baya itu tertawa kecil seraya menggeleng samar. "Bukan ... kita kerja sama. Anggap saja saya jadi investor Mbak Zi. Gimana? Kebetulan ibu juga ada lahan di Sidoarjo kota. Nanti kita bisa buka cabang di sana."

"Hah?" Zi benar-benar terkejut dengan penawaran Bu Sri.

"Nanti Nak Zi bikin hitungannya, semacam proposal gitu. Biar nanti dilihat Saka," ucap Bu Sri penuh semangat. "Nah, panjang umur. Le!" seru Bu Sri begitu melihat Saka masuk. "Sini duduk, ibuk mau bicara. Jadi ibu berencana kerja sama dengan Nak Zi ... nanti kamu bantu urusin, ya. Terus kamu yang laporan ke ibu. Kamu juga atur waktu sama Nak Zi untuk lihat lokasi lahan yang di Sidoarjo itu," titah Bu Sri kepada anak lelakinya.

"Nggih, Buk. Siap laksanakan!"

"Eh, tapi Bu ... itu, saya—"

"Sudah-sudah habis ini kita makan siang dulu, terus ibu mau tunjukin sanggar di belakang mumpung rame. Pasti Nak Zi suka ... sudah, ibu mau bantuin Imah dulu takut keasinan masaknya." Bu Sri mengusap bahu Zi kemudian gegas menuju dapur. Baru bebrapa langkah, beliau berbalik, "Le, ojok usil. Nanti Nak Zi ngambek."

Ajisaka hanya tersenyum seraya mengangkat dua jarinya membentuk tanda victory. "Jadi gimana ... diterima 'kan lamaranku? Eh, lamaran ibu ... tentang kerja sama itu," tanya Saka. Tak lupa laki-laki itu menaikturunkan alisnya seraya menyeringai.

Melihat ekspresi Saka membuat darah Zi naik ke ubun-ubun. "Gue mau batalin aja ke ibu. Gue mo cari lahan lain aja!" Zi hendak beranjak, namun dengan cepat Saka menahannya."Eh, jangan!" Saka langsung memasang tampang memelas. "Kapan lagi kamu dapat tawaran bisnis paling menguntungkan. Bisa buka dua cabang sekaligus." Kali ini Saka melengkungkan bibirnya hingga terlihat lesung pipinya.

Melihat senyum Saka dan lesung pipinya sesaat membuat otak Zi nge-blank. Ada yang berdesir di dalam sana. Zi buru-buru mengetuk kepalanya sendiri. "Aduuhh! Sakiiiitt ...." Zi mengusap-usap kepalanya seraya mengumpat dalam hati.

"Kamu kenapa?"

Zi memutar bola matanya. Gara-gara elu, kamvreett, pekik Zi dalam hati. "Ogah gue kerja sama elo. Yang ada gue migren tiap hari," ketusnya.

"50-50. Gimana? Kamu tinggal mengelola aja. Modal semua dari aku ... eh, Ibuk!" Saka mengulurkan tangannya. "Aku janji jadi anak baik-baik."

Zinnia terdiam dan menatap laki-laki di hadapannya yang tersenyum. Manis sekali bikin hati Zi meleyot seketika. Tanpa sadar Zi mengulurkan tangannya dan langsung disambar Saka.

"Deal." Saka menguncang tangan Zinnia seraya tersenyum puas.

Zi kembali mengumpat dalam hati. Kenapa imannya sejak dulu lemah menghadapi pesona laki-laki berlesung pipi?

***

"Ibu-ibu semua ... kenalkan ini namanya Mbak Zinnia. Pengusaha kafe yang sukses," ucap Bu Sri antusias. Beliau mengenalkan Zi di hadapan puluhan ibu-ibu yang sedang duduk lesehan di lantai.

Zinnia mengangguk dan tersenyum hangat. Dia mengedarkan pandangan ke penjuru pendopo Joglo yang terletak di belakang rumah utama. Di sana terdapat beberapa kelompok ibu-ibu yang membentuk lingkaran kecil dan sedang membuat tas rajut. Selesai makan siang tadi, Bu Sri mengajak Zi untuk melihat kelompok ibu-ibu binaannya. Hari ini kebetulan mereka berkumpul untuk berlatih membuat tas model baru.

Zi kemudian ikut duduk dan bergabung ke salah satu kelompok. Dia mengamati dengan khusyuk bagaimana terampilnya jemari ibu-ibu itu memainkan hakpen dengan benang rajut.

"Mbak Zi mau mencoba?" tanya salah satu ibu berhijab merah.

Zi ragu-ragu. Namun dia tidak menolak saat ibu terebut menyerahkan hakpen dan benang kepadanya. Dengan sabar ibu bernama Heryati itu mengajari Zi hingga membentuk sebuah bunga kecil. Zinnia girang sekali seperti anak kecil yang mendapat mainan baru.

Tiba-tiba ada seorang perempuan muda berhijab panjang membawa satu keranjang tas rajut mendekati Bu Sri yang duduk di sisi Zinnia.

"Maaf, Bu ... semua pesanan sudah siap. Apa jadi dikemas sekarang?" Suara perempuan itu lembut dan santun.

"Aida kenalan dulu sama Mbak Zinnia. Nak Zi ... ini Aida, asisten ibu yang bantu ngurusin pesenan tas." Bu Sri memperkenalkan kedua perempuan di hadapannya.

Zinnia mengulurkan tangannya terlebih dahulu. Dia memindai perempuan berkulit kuning langsat yang berwajah sendu di hadapannya. Manis dan keibuan, gumam Zi dalam hati. Kebiasaannya selalu menilai orang yang pertama kali berjumpa. "Zinnia," ucapnya seraya menyalami tangan Aida yang terasa lembut.

Setelah sesi perkenalan, Bu Sri kembali menatap Aida. "Iya, Nduk ... tolong dicek lagi, ya. Sudah sesuai spesifikasi yang diminta klien apa belum? Kalo enggak ngerti bisa tanya Mas Saka. Nah, itu anaknya!" tunjuk beliau ke arah Saka yang berjalan mendekat.

"Nggih, Bu," balas Aida lembut. Pandangannya langsung mengarah kepada Saka.

Sekilas Zinnia bisa menangkap binar di wajah perempuan bergamis biru muda itu saat menatap Saka.

Bu Sri menggamit lengan Zi. Dia bermaksud menunjukkan aneka koleksi tas rajut model terbaru. Baru beberapa langkah ... beliau memekik kesakitan.

"Ibuuu!" pekik Aida dan langsung memegangi tubuh Bu Sri yang oleng.

"Ibuuk nggak papa?" Saka berlari dengan cemas dan langsung membantu memegangi tubuh sang ibu.

"Ibu kayaknya keseleo ini. Turun undakan enggak lihat. Kaki kanan ibu sakit, Le!" tutur Bu Sri sedikit merintih.

"Pegangan Saka, Buk" Saka dengan cepat menggendong ibunya dan menyuruh ibu untuk memeluk lehernya erat. "Da, tolong carikan obat gosok buat Ibuk," titah Saka tanpa menoleh.

"Baik, Mas."

Zinnia hanya bisa mematung melihat kejadian itu. Dia bingung harus melakukan apa. Melihat Aida yang mengekori Saka entah mengapa membuat perasaanya tidak nyaman.

*** 

hai ... aku jangan ditimpuk, ya karena baru nongol lagi. mudah-mudahan bisa konsiten nulis Zi lagi 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top