Bab 7. Anugerah atau Musibah?
Happy reading🤗
.
.
.
Bab 7. Anugerah atau Musibah?
Riuh pengunjung selalu membuat adrenalin Zi terpompa. Dia menikmati suasana kedai yang ramai plus hingar-bingar suara pengunjung yang saling bersahutan. Seperti malam ini, ada seorang gadis yang merayakan ulang tahun sweet seventeen.
Zinnia ikut tersenyum saat melihat gadis bernama Bella itu tampak malu-malu memberikan potongan kue ulang tahunnya kepada pemuda berkulit putih yang berada di kerumunan tamu undangan. Sontak, suara sorak-sorai teman-temannya bersahutan.
"Cium ... cium ... cium ... cium ...."
Suara para remaja belasan tahun itu bagaikan paduan suara memenuhi ruang pesta. Pipi gadis berambut ikal itu kian bersemu saat ciuman ringan mendarat di pipinya dengan sempurna. Rona merah jambu terlukis jelas di wajah Bella. Khas seorang gadis yang sedang jatuh cinta.
Zinnia yang berdiri di depan coffee bar bisa merasakan wajahnya ikut bersemu. Sejak kecil, perempuan berzodiak pisces itu seorang pecinta romansa sejati. Senyum samar tercipta dari bibir Zi seakan-akan dirinya yang sedang tersipu malu. Konyol memang.
"Mbak Zi ... ngapain senyam-senyum sendiri dari tadi?" bisik Wina.
"Ssssttt ... diem lu. Gue lagi menikmati momen yang uwuw," jawab Zi seraya berbisik balik tanpa mengalihkan pandangan. Tiba-tiba Zi menyadari sesuatu. "Wait! Ngapain elu di sini Wina? Bukannya tugas lu jaga di depan?" seru Zi masih dengan berbisik. Dia berpaling menatap Wina dengan tajam.
"Nah, itu dia, Mbak ... Wina mau minta tolong Mbak Zi gantiin jaga di depan bentar. Kebelet nih!" Wajah Wina berkerut karena sejak tadi menahan rasa dorongan dari bawah.
"Ish, dasar Wina! Buruan jan lama-lama!" desis Zi.
Wina hanya meringis seraya mengacungkan jempolnya ke udara. Dia bergegas ke belakang dengan terbirit-birit.
Zinnia mengayunkan langkah ke arah pintu. Meskipun di depan kedai sudah ada pemberitahuan, namun masih ada saja pengunjung yang menyelonong masuk. Zi mengedarkan pandang ke luar, lahan parkir tampak terisi penuh. Lalu lalang kendaraan terlihat dari balik pintu kaca. Pendar cahaya lampu kendaraan saling berlomba membias ke jalanan.
Peony Corner terletak di sisi jalan raya yang cukup ramai. Banyaknya kampus yang terdapat di sekitar kedai membuat pengunjung sebagian besar adalah mahasiswa.
Pandangan Zi menyipit saat sebuah mobil masuk ke area parkir. Sosok laki-laki berkaca mata dan berbadan tegap keluar dari mobil, berjalan ke arah Zi. Perempuan itu mengembuskan napas panjang saat melihat Gavin yang melambaikan tangan seraya tersenyum lebar.
"Rame banget ... ada acara ya?" Gavin melihat ke arah keriuhan pesta.
Zi mengangguk. "Huum. Acara sweet seventeen. Paling bentar lagi selesai ... dah dari sore, kok. Kamu mau nunggu di bawah atau di atas?"
Gavin menatap ke arah kerumunan sejenak dan kembali berpaling ke arah Zinnia. "Aku tunggu di atas aja, Sayang. Di ruanganmu aja. Caramel macchiato please ... tolong dianterin ke atas, ya." Tanpa menunggu jawaban, Gavin langsung menaiki tangga menuju ruang kerja Zinnia.
Zi berdecak. Menghadapi sikap otoriter Gavin memang harus ekstra sabar. Zinnia berusaha memaklumi, Gavin yang bekerja sebagai marketing manager di salah satu bank swasta terbiasa memberi perintah kepada bawahannya.
Tangan kanan Zi membawa caramel macchiato, sementara di kirinya membawa satu porsi gimbap favorit Gavin. "Sori kalo lama ... anak-anak pada sibuk di bawah. Gue tadi harus handle tamu. Minum, Vin," ucap Zi seraya meletakkan kopi dan kudapan di meja kecil. Zi kemudian mengempaskan pantatnya di sofa rotan.
"Makasih, Sayang." Gavin menyesap caramel macchiato miliknya, lalu mengambil sepotong gimbap. "Aku mau ajak kamu akhir pekan ini ke arisan keluarga," ucap Gavin di sela kunyahan.
Mata Zi langsung melebar mendengar perkataan Gavin. "Tapi Vin, gue belum kasih jawaban. Kamu janji enggak maksa dan mau kasih gue waktu."
"Memang," jawab Gavin santai. "Aku Cuma ajak kamu kenalan sama keluarga besar aku. Itu aja!"
Bola mata Zinnia berputar malas. Itu sama aja memaksa, gerutu Zi dalam hati. Otak Zi berputar cepat berusaha mencari alasan logis. "Gue gak bisa ninggalin anak-anak," Zi berusaha berkilah.
"It's only a few hour, Zi. Kedai enggak akan bangkrut kamu tinggal sebentar."
"Minggu besok, gue mau ketemu Bu Sri bahas lahan. Yah, itu ... jadi gue gak bisa." Zi masih mencoba berkelit. Dia mengingatkan dirinya agar tidak lupa menelepon Bu Sri perihal ini. Kebohongan harus sempurna, bukan?
"Ya sudah, nanti habis arisan keluarga aku yang anterin kamu aja."
Mati gue! umpat Zi dalam hati. Berdebat dengan Gavin memang tidak akan menang, lelaki itu selalu mempunyai cara untuk memaksakan kehendaknya. "Oke ... oke ... gue ikut ke arisan keluarga kamu tapi dengan syarat!"
"Fine ...." Gavin tersenyum lebar. Baginya mengajak Zi untuk bertemu keluarganya adalah prestasi. Masalah syarat akan dia pikirkan belakangan.
"Pertama, gue enggak mau dikenalkan sebagai pacar kamu. Bilang aja temen, oke?" Zi tersenyum melihat Gavin mengangguk. "Kedua, urusan Bu Sri biar gue handle sendiri. Nanti sudah acara langsung anterin gue ke kedai."
"Oke." Gavin merasa senang Zi menerima ajakannya. Selanjutnya laki-laki itu bercerita tentang pekerjaannya. Dia senang bahwa target bulan ini melebihi ekspetasinya.
Zi menanggapi sekedarnya. Gavin selalu membanggakan pencapaian dirinya tanpa memberikan ruang untuk lawannya bicara. Perempuan itu sesekali tertawa dan memberikan semangat buat Gavin agar lebih bersemangat mengejar target tahunan.
Dada Gavin mengembang merasa mendapat dukungan terhadap karirnya. Ambisinya memang tinggi. Gavin terus saja menceritakan mimpi-mimpinya sampai puas. "Aku pamit dulu, ya."
Zinnia mengembuskan napas lega saat mendengar akhir kalimat Gavin. Dirinya merasa lelah berbasa-basi selama satu jam mendengarkan laki-laki itu bicara tanpa jeda.
Keduanya beriringan turun. Pengunjung tinggal sedikit karena sebentar lagi jam tutup kedai. Beberapa pegawai sudah mulai bersiap membersihkan ruangan.
Zinnia mengantar Gavin sampai depan, bersamaan pintu terbuka. Wajah Saka menyembul dari luar dengan senyum lebar. "Wah, senengnya turun gunung disambut calon istri."
Manik Zi melotot sempurna. Dengan panik dia menoleh ke samping dan melihat wajah Gavin yang memerah dengan urat leher yang menegang.
Mampus gue, batin Zi. Zinnia menangkup kedua wajahnya dengan dada berdebar menanti apa yang akan terjadi.
***
Aura membunuh seakan-akan keluar dari manik Gavin yang memicing, menatap tajam ke arah Saka. Urat-urat di lehernya terlihat jelas dengan rahang yang mengeras. Sementara, Saka yang duduk di seberang tampak santai tanpa beban. Lelaki itu bahkan menyulut rokok dengan tenang dan menghisapnya perlahan.
Keheningan melingkupi mereka. Di balik cofee bar, para pegawai saling sikut dan berdesakan ingin ikut menyaksikan peristiwa yang terjadi. Wina yang menangkap kode dari Zi langsung tanggap. Dia langsung mendorong menyuruh mereka bubar dan segera pulang.
Zinnia yang berdiri di sisi meja, berualng kali mengembuskan napas panjang dengan raut cemas. Zi menatap bergantian ķe arah kedua lelaki yang duduk berhadapan. Dirinya bersyukur kedai sudah tutup dan tamu terakhir sudah meninggalkan keluar sepuluh menit yang lalu. Zi berdeham kecil dan berpaling menatap Gavin. "Vin, bukannya kamu tadi bilang lelah mau lekas istirahat di rumah?"
"Aku pulang setelah orang ini keluar," jawab Gavin tanpa berpaling. Pandangannya tetap menghunus tajam ke arah Saka.
"Namaku Saka ... kalo kamu ingin tahu," sahut Saka ringan.
"Aku enggak peduli siapa namamu. Yang harus diperjelas di sini ... Zi tunanganku. Apa maksudmu bilang Zinnia itu calon istri?" cecar Gavin dengan emosi tersulut.
"Wait! Vin ... kita belum tunangan, ya ... gue bahkan belum bilang iya." Zinnia yang merasa namanya disebut langsung memprotes.
Saka terkekeh pelan. "See? Saya rasa Zi masih bebas, belum terikat siapa pun."
Wajah Gavin merah padam. "Segera ... Zinnia hanya sedikit cemas saja. Lagi pula ini bukan urusan Anda, bukan?"
"Vin please ... Saka ... sebaiknya kalian segera pulang. Aku lelah sekali hari ini," lirih Zinnia. Perempuan itu menatap keduanya bergantian, kemudian memijit pelipisnya berusaha mengusir lelah yang menghampiri.
Saka tersenyum. Lelaki berambut gondrong itu segera mematikan rokoknya. "Aku pulang ... tadi mampir cuma mau menyampaikan undangan dari Ibuk untuk makan siang di rumah besok sambil ngobrolin tentang lahan. Tolong telpon Ibuk sendiri ... beliau sangat berharap," ucap Saķa dengan tenang. Laki-laki itu beranjak dan mendekati Wina. "Win tolong dibagi sama yang lain, ya!" Saka menyerahkan sekantung besar buah tangan yang langsung disambut hangat oleh Wina.
"Waaah, makasih Mas. Emang Mas Saka dari mana ... banyak banget ini," seru Wina antusias. Matanya berbinar menatap aneka camilan di dalam kantung.
"Raja ampat. Oya, titip bosmu yang cantik itu. Kasihan ... jangan sampe depresi," ucap Saka lirih sambil mengedipkan satu matanya kemudian melenggang dengan santai.
Wina terkikik pelan sambil menutup mulutnya. Gadis itu mengangguk-angguk dengan semangat seraya melambaikan tangan.
Meskipun lirih, ucapan Saka tertangkap jelas di rungu Zinnia. Dia yakin Gavin pun mendengarnya. Zi bersedekap seraya menatap Gavin. "Vin ...."
"Iya, aku pulang." Gavin berdiri dan memastikan dirinya rapi baru beranjak pergi. Dibelakangnya Zinnia mengekori. Sampai di pintu, Gavin berpaling sejenak. "Jangan lupa minggu depan, ya, Sayang."
Zinnia mengangguk sekilas seraya tersenyum tipis. Dia mengamati sampai Gavin masuk ke mobilnya dari balik pintu kaca, kemudian Zi berbalik dan menghampiri Wina. Perempuan itu mengempaskan pantatnya di kursi tinggi. "Capek gue, Win."
Wina terkikik. "Harusnya Mbak Zi seneng dong jadi rebutan cogan ... tinggal pilih yang mana! Inget enggak doa Mbak beberapa waktu lalu ... dibayar kontan sama Allah. Langsung dikasih dua."
"Tiga! Sama aku tapi langsung ditolak." Aryo tiba-tiba datang bergabung dan duduk di sisi Zinnia. Dia dari tadi hendak pulang namun diurungkan melihat dua lelaki yamg bersitegang di depan. Chef lelaki itu memilih menunggu di dapur sampai suasana kondusif.
"Hah? Mas Aryo juga suka Mbak Zi?" Wina terperangah, sedetik kemudian dia terbahak kencang. "Ya Allah ... sakit perutku. Mbak ... mbak ... kalo kek gini namanya anugerah apa musibah?" Wina kembali tergelak.
"Diem! Jangan ember, ya! Seneng banget liat penderitaan orang," sembur Zinnia sambil melempar tisu ke arah Wina. Wina berpaling kw arah Aryo. "Anterin gue pulang, Yo. Motor lo titipin di sini aja, besok pagi jemput gue," titah Wina. Perempuan itu segera berlalu ke atas bermaksud mengambil perlengkapan miliknya.
Wina berkedip menatap Aryo. Jiwa keponya meronta-ronta. "Beneran Mas Aryo nembak Mbak Zi? Kok Wina enggak tahu, ya ... Mas Aryo dingin gitu, kirain Mas Aryo suka sama-"
Mata Aryo melebar dan menatap Wina tajam. "Buang jauh-jauh prasangka di otakmu. Aku normal," desis Aryo. Lelaki itu langsung beranjak pergi mengekori Zi yang baru saja turun ke bawah. Keduanya beriringan menuju pintu.
Zi berbalik sejenak menatap Wina yang masih saja bengong. "Lu enggak pulang Win? Ato mau nemenin Mbak Kunti jaga kedai?"
Wina tergeragap dan wajahnya langsung berubah pias. Gadis penakut itu langsung mengambil tas dan berlari menuju pintu. "Huwaaa ... Mas Aryo ... Mbak Zi ... tungguuu!"
***
Semilir angin malam membelai wajah Zi dengan lembut. Jendela mobil sengaja diturunkan. Zinnia merasa perlu mendinginkan hatinya akibat peristiwa tadi. Terkadang ... seseorang hanya butuh diam sejenak dan menikmati suasana sekitar untuk menetralkan suasana hati.
Zinnia membuang jauh semua pikirannya sementara pandangannya fokus mengarah ke jalanan. Keriuhan kota Malang membuatnya terpesona meskipun malam kian merambat naik. Daerah Kayu Tangan kini dikenal sebagai malioboronya Kota Malang menjadi spot menarik. Lampu kota melengkung berwarna hijau ditambah bangku-bangku kayu yang diletakkan di sepanjang pedestrian menjadi magnet buat pengunjung sekedar melepas penat maupun berswa foto bersama. Senyum Zi melengkung saat runggunya menangkap band indi yang perform di sudut taman di tengah keramaian jalanan.
"Aku lebih suka lihat kamu senyum seperti ini dari pada diem," ucap Aryo di balik kemudi. "Masalah akan terus datang Zi, suka atau tidak suka ... Mungkin ini saatnya kamu fokus dengan dirimu sendiri. Menetapkan hati buat jodoh yang dikirim Tuhan."
Zi berpaling. "Hebat lu Yo, beberapa hari ini gue takjub sama elo. Dewasa banget ... nasehatin gue macem-macem."
Aryo terkekeh. "Jadi kamu sama Gavin tunangan?" selidik Aryo. "Terus yang satu lagi siapa? Hebat ya, Zinnia jadi rebutan dua laki-laki," ledek Aryo seraya menyeringai.
"Enak aja, gue bukan barang yang jadi rebutan dan gue enggak tunangan sama Gavin," sembur Zi.
Aryo terbahak melihat bibir Zi yang mengerucut. Sepanjang sisa perjalanan, dia terus saja menggoda perempuan di sisinya karena menjadi rebutan Gavin dan Saka.
"Sebagai laki-laki, aku tahu siapa yang sesungguhnya mencintai kamu," tutur Aryo saat berada di basement apartemen Zi.
Zinnia mengerjap cepat. Dia yang sudah membuka pintu mobil dan berniat turun, berpaling menatap tajam ke arah Aryo. "Siapa?"
"Tanya nuranimu, Zi ... jangan ingkari. Aku sudah pernah bilang kalo nurani adalah perwakilan suara dari Tuhan," ucap Aryo sambil mengedipkan mata.
Zi mengembuskan napas panjang. Ucapan Aryo begitu mengusik dirinya.
***
Ehm ... slowly but sure. Biar lambat cerita ini tetep update😘
Yuks mampir ke ceritaku Terikat Akad, kisah yang manis bersetting Jepang dan Jogja antara Ai sama Alif
210123
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top