Bab 5. Gamang
Happy reading🥰
🌷🌷🌷
Zinnia menatap bayangannya di cermin. Wajahnya terlihat pucat. Pandangan Zi tertumbuk pada cincin berlian pemberian Gavin di meja rias. Dia mengambil dan memutar-mutar benda putih berkilau itu dengan ujung jemarinya.
Semalam, Gavin mampir ke kedai dan mempertanyakan jawaban Zi terhadap lamarannya beberapa waktu lalu. Wajar saja bila lelaki itu bertanya, siapa pun pasti tidak sabar dan tidak nyaman ketika digantung jawabannya. Apalagi mengenai lamaran pernikahan.
"Haruskah gue menerima saja lamaran Gavin dan mengakhiri kutukan ini?" ucap Zi bermonolog sambil memainkan cincin berkilau itu di jemarinya. "Tapi kenapa hati gue terasa berat? Kenapa ya Allah?" lirih Zi sendu.
Berkali-kali perempuan itu meraup oksigen sebanyak-banyaknya di udara dan mengeluarkannya perlahan. Zi berharap rongga dadanya bisa lapang. Namun, entah mengapa dirinya justru merasa semakin sesak.
Gurat kekecewaan Gavin membayanginya sepanjang malam. Membuat Zi tak bisa memejamkan mata. Kilasan percakapan malam tadi masih berputar-putar dalam benaknya.
"Aku belum siap menikah, Vin," lirih Zi seraya memainkan ujung jemarinya.
Wajah Gavin yang berbinar seketika menjadi muram. Namun, pria itu berusaha menormalkan ekspresinya. "Hmm ... It's okay, Zi. Aku akan menunggu. Usia kita sudah cukup dewasa untuk menikah. Apalagi untuk perempuan ... semakin bertambah usia ... You know-," ucap Gavin dengan suara sedikit berat.
Alis Zi terangkat mendengar kalimat terakhir Gavin. Dadanya terasa berdenyut nyeri. Dia tahu kemana arah pembicaraan Gavin. "Permpuan mana yang tidak menginginkan pernikahan bahagia," ucapnya bermonolog dipenuhi kesedihan. Akan tetapi, di hadapan Gavin, Zi tertawa pelan. "Sepertinya bukan gue perempuan yang kamu butuhkan," lirih Zinnia.
"Aku mencintaimu, Zi. Hanya kamu yang kuinginkan." Nada suara Gavin sedikit meninggi. Gavin bersikeras memaksa Zi menerima cincin pemberiannya, tidak memedulikan alasan yang Zinnia ungkapkan. Bahkan, Gavin mengatakan akan menunggu sampai Zi siap memakainya. Perempuan berkulit putih itu mengembuskan napas perlahan. Dirinya merasa lelah untuk berdebat dengan Gavin.
Zinnia hendak beranjak dari kursi ketika maniknya menatap sebuah foto di dalam bingkai kecil berwarna putih. Dia pun memilih duduk kembali. Tampak seorang gadis berseragam putih biru bertubuh gemoy tersenyum lebar menampilkan kawat giginya bersama sang mama di foto tersebut. Hatinya berdenyut nyeri setiap kali menatap foto itu.
Sejak semalam sisi sentimentilnya keluar. Semua rasa yang tersimpan rapi dalam dada memaksa untuk keluar. Zi menyeka dengan cepat ujung matanya yang terasa basah.
Kesedihan yang dia rasakan berubah seketika. Tergantikan oleh emosi kemarahan yang meluap dalam dirinya. Tangannya terkepal kuat. Zi mencoba mengendalikan dirinya ketika bayangan masa lalu itu kembali hadir. Napasnya menjadi terengah-engah. Seakan-akan dia habis berlari maraton puluhan kilometer.
Zi kemudian beranjak dari kursi. Dia memilih untuk berwudu dan menunaikan salat dua rakaat yang sedikit terlambat. Berharap dengan setelah menunaikan kewajibannya hati Zi menjadi lebih tenang.
Kopi hitam pekat tanpa gula ditemani setangkup roti berisi selai kacang menjadi pilihan Zi untuk sarapan. Wanita itu mengunyah dengan perlahan makanannya.
Pandangan wanita itu meliar ke penjuru ruangan. Terdapat dua buah kamar, satu ruangan keluarga yang tersambung dengan dapur yang mungil. Sudah dua tahun ini Zi membeli apartemen ini dan menempatinya. Wanita bermata sipit itu sengaja memilih nuansa putih sebagai dekorasinya. Tempat ini menjadi saksi bisu dimana Zi menghabiskan waktu dalam kesendirian.
Dering ponsel terdengar begitu nyaring di ruangan yang sepi itu. Zi bergegas bangkit dan mengambil ponselnya di atas ranjang. Begitu melihat nama yang tertera di layar, Zi mengembuskan napas panjang. Wajahnya dibuat seceria mungkin. Dengan cepat jemarinya mengusap icon panggilan.
"Iya, Ma," sapa Zi berusaha menampilkan wajah seriang mungkin.
Tampak wanita cantik berusia lima puluhan menghiasi layar. Mata Marsya menyorot tajam memindai wajah putrinya. "Coba cerita ke Mama, Zinnia!" titah Arsita cepat. Sang mama kembali berbicara, "Wajahmu enggak bisa bohong. Kamu pasti habis menangis. Ada apa?" cecarnya.
Sejak kecil, tidak ada yang bisa Zi sembunyikan dari Marsya. Perempuan yang melahirkannya itu sangat peka terhadap perubahan Zinnia. "Zi hanya kecapean, Ma. Semalaman begadang menyelesaikan rancangan untuk cabang baru," ucap Zi pelan. Dia merasa bersalah karena berbohong. Namun, dirinya tidak mungkin menceritakan perihal lamaran Gavin.
"Hmm ... baiklah. Jaga diri baik-baik, Zi. Kapan kamu akan mengunjungi Mama?" Raut kesedihan tampak di wajah Marsya.
"Zi usahakan, ya. Mama 'kan tau kalo Zi akan membuka cabang baru," ucap Zi berusaha memberi alasan. Sesungguhnya, dia enggan berkunjung ke rumah keluarga baru sang mama di Jakarta. Bagi Zi, ibu kota hanya menyisakan segudang kenangan pahit. Dia hanya akan ke sana jika dirinya sudah tidak bisa lagi berkelit untuk menolak permintaan Marsya.
Zi bersyukur mamanya tidak menuntut kali ini. Selanjutnya mereka membicarakan mengenai rencana Zi membuka cabang baru.
***
Zinnia mendorong pintu kaca hingga berdenting. Setelah mengucap salam dia langsung menuju dapur kering. Zi hanya melambaikan tangan saat Wina menyapa dari balik etalase kue.
Sesampainya di dapur, Zinnia langsung mendekati Aryo yang sedang sibuk menghias cake polos yang berjajar di hadapannya. Cake berukuran diameter sepuluh centimeter ini akan dihias menggunakan buttercream aneka warna dan fondant. Zi memperhatikan kelincahan tangan Aryo mendekor berbagai model yang lucu hingga tercipta Korean lunch box cake yang menggemaskan.
"God job, Yo!" ujar Zi mengacungkan jempolnya ke udara seraya tersenyum puas. Aryo hanya menoleh sekilas ke arah Zi dengan wajah datar. Sedetik kemudian laki-laki dingin itu kembali fokus dengan pipping bag berisi buttercream di tangannya.
Hari ini selain pesanan Korean lunch box, juga ada orderan snack box untuk meeting suatu perusahaan. Setelah semua pesanan selesai dikemas, Zi segera menelepon kurir langganan mereka.
"Aksan ... Gita ... ke sini bentar," panggil Zi saat melihat kedua pramusaji itu masuk dan selesai meletakkan tas mereka di loker.
"Ada apa, Mbak Zi?" tanya Aksan sambil nyengir.
"Ntar kalo Pak Udin dateng, langsung kalian bantu angkat dan susun rapi semua pesenan di mobil. Inget, jan sampe penyok tu kotak!" titah Zi seraya menatap Aksan dan Gita bergantian. "Nih, Gita surat jalannya ... bilang Pak Udin jangan lupa minta tanda terima," ucap Zi berpaling kepada Gita.
"Siap, Mbak!" seru Aksan dan Gita bersamaan. Aksan memberi hormat ala tentara dan mengentakkan kakinya dengan semangat.
"Aduh Aksan, kakiku ... keinjek. Sakit, tauk!" seru Gita protes. Dia melotot dan memukul lengan Aksan. Sesaat kemudian gadis berekor kuda itu terpincang-pincang mencari tempat duduk terdekat.
"Ma-aaaf, Git ... beneran enggak sengaja. Aku saking semangatnya," ucap Aksan sambil garuk-garuk kepala. Pemuda itu merasa bersalah melihat Gita.
"Lagian enggak biasanya kamu pake sepatu kayak gitu. Mana solnya tebel banget kayak sepatu tentara," omel Gita seraya meringis menahan nyeri.
"Hehe ... baru itu Git sepatunya, baru ... minjem," ucap Aksan cengengesan.
"Ish, dasar Aksan!" Zi melotot, menatap Aksan yang ceroboh. Dia mendekati Gita yang mengelus ujung jari kakinya yang kemerahan. "Kalo sakit banget coba lo kasih salep. Aksan cepet ambilin dulu ke Wina."
Aksan yang merasa bersalah langsung melesat mencari Wina.
Gadis itu terbiasa hanya memakai sandal saat datang dan pulang dari kedai. Biasanya Gita baru mengganti sepatu saat selesai prepare dan beres-beres ruangan kedai.
Zinnia bernapas lega saat tragedi barusan berakhir baik. Kaki Gita hanya memar sedikit dan gadis itu masih bisa beraktivitas seperti biasa. Semua pesanan pun sudah diambil kurir.
Kini Zi memilih bersantai sejenak duduk di dapur. Zinnia duduk di seberang meja dengan bertopang dagu di meja. Dia senang memperhatikan Aryo yang sedang menimbang aneka bahan kue. Terdengar suara musik menguar memenuhi ruangan dapur berukuran 3x4 meter tersebut.
"Gue seneng liat elo, meski gahar ternyata hati lo lembut banget, Yo. Lagu lo melow banget," ucap Zi seraya menikmati alunan lagu Surga Cinta milik Ada Band.
Masih jelas terlihat pesona ayumu
Masih jelas terasa getar dawai jiwamu
Inikah surga cinta yang banyak orang pertanyakan?
Atau hanya mimpi yang tiada pernah berakhir jua
Perlahan bawa semua tanya
Satu bersama
Langkah di taman ini
Terangkai bunga tanda cinta murni adanya
Tapi kekasih pun tiada
Muncul hapus rinduku
Inikah surga cinta yang banyak orang pertanyakan?
Atau hanya mimpi yang tiada pernah berakhir jua
Di mana aku sedang berada, mengapa sendiri?
Lari telanjang, tanpa seorang pun yang akan mempeduli
Inikah surga cinta yang banyak orang pertanyakan?
Atau hanya mimpi yang tiada pernah berakhir jua
Terbanglah cinta, sampaikan salamku hanya bagi dia
Hanya rasa sepi meratapi malam tanpa dirinya
Sesekali Zi ikut bernyanyi mengikuti liriknya. Dia bajkan tidak peduli suaranya yang kadang fals. Zinnia berusaha melepaskan beban yang menggelayuti dadanya sejak semalam. Memang benar kata orang, bernyanyi memang salah satu healing terbaik. Lupakan nada yang fals dan tidak sesuai ketukan, Zi hanya ingin menghibur dirinya sendiri.
Aryo mendongak dan menghentikan aktivitasnya. Dia menatap Zinnia yang duduk di seberang meja yang tampak lepas tanpa beban. Tanpa sadar sudut bibirnya membentuk lengkungan tipis.
Tiba-tiba Zi terkikik. Wajahnya memerah menahan malu. "Suara gue jelek banget, ya, Yo? Maaf sudah bikin polusi suara." Cengiran lebar menghiasi wajah Zi.
"Hmmm ... enggak. Aku menikmati kok," tukas Aryo singkat.
Zinnia terbahak. "Bohong banget. Udah, ah ... gue butuh kopi sekarang," ucap Zi. Dia hendak beranjak dari duduk.
"Wait! Tunggu ... biar aku yang buat sekalian. Kamu duduk aja!" Aryo segera berlalu ke depan. Beberapa saat kemudian kembali dengan membawa dua gelas mug yang mengepul. Dia menyerahkan satu mug ke arah Zi dan menyeret kursi dan duduk di sisi Zi. "Jangan kebanyakan kopi. Matamu bengkak, sebaiknya minum cokelat aja biar rileks."
Zi mengerjap, menatap Aryo dengan raut tidak percaya. "Makasih, Yo. Kok, elo perhatian banget, sih. Keliatan banget, ya? Padahal udah gue tutupin pake concealer juga," keluh Zi.
"Kalo mau nangis lagi, boleh."
"Wew, ogah. Lagian malu nangis di hadapan Adek. Mau dikemanain wibawa gue sebagai kakak sama atasan lo?" dengkus Zi dengan bibir mengerucut.
Zinnia tidak pernah menjaga jarak dengan karyawannya karena bagi Zi mereka adalah keluarganya. Begitu juga sebaliknya, semua yang bekerja di Peony Corner sangat memghormati Zinnia.
"Aku bukan adekmu," protes Aryo tidak suka.
"Biarin ... pokoknya lo jadi adek gue. Semua di sini keluarga gue. Ti-tik!" seru Zi. Dia memicing menatap Aryo yang menyesap minumannya. Tiba-tiba, suatu pemikiran terlintas dari benak Zi. "Sudah, jangan bahas gue. Kita bahas elo. Dari kemarin gue kepikiran ini. Gue perhatikan musik pilihan lo ... Yo, elo lagi jatuh cinta, ya?"
Aryo sedikit terkejut ditodong pertanyaan Zi. Dia berusaha menormalkan ekspresinya dan memilih beranjak menjauh.
Zinnia terkikik ketika Aryo terdiam. Diliputi penasaran Zi mengejar Aryo dan mengguncang lengan laki-laki itu. "Spill dong, Yo ... siapa perempuan itu. Gue kenal enggak?" rengek Zi.
Aryo menghela napas. Dia berpaling dan menatap tajam ke arah Zi. Tubuhnya yang tinggi menjulang berhadapan dengan jarak satu jengkal dengan Zinnia yang setinggi bahunya. Wajahnya sedikit menunduk dan berbisik lirih di telinga Zinnia. "Kamu ...."
Manik Zinnia melebar dan dadanya berdegup keras. Tubuhnya membeku. Otaknya blank, dia berusaha mencerna kalimat Aryo. Seketika Zinnia merasa gamang, belum pulih dari intimidasi sikap Gavin semalam ... pagi ini dirinya dibuat terkejut dengan kalimat Aryo, laki-laki uang sudah dia anggap anggap adiknya. Zi berdiri mematung di tengah ruangan dapur hingga tidak menyadari Aryo yang menyelinap keluar ruangan.
***
Hayoloh Zi ... doanya diijabah, tuh, sama Allah. Tiba-tiba ditembak 3 laki-laki kok malah galau. Dasar pisces, hobi galau emang 🤣🤣🤣
090123
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top