Bab 4. Pertemuan Tak Terduga
Happy reading, Genks 😘
🌷🌷🌷
Jumat pagi, Zi mengajak Wina ke Batu. Kebetulan hari ini kedai baru buka jam dua siang. Zinnia memang sengaja melakukan hal itu. Awalnya, dia memberi kesempatan para pegawai laki-laki agar bisa beribadah salat Jumat dengan maksimal tanpa terbebani pekerjaan. Selain itu juga, Zi memberikan para pegawainya untuk beristirahat sejenak.
Usaha kuliner memang mempunyai tuntutan tinggi terhadap jadwal buka kedai. Mereka harus buka seminggu penuh dengan jam buka yang cukupbpanjang demi menarik pelanggan. Energi yang dicurahkan pun cukup menguras tenaga. Tidak mumgkin bagi Zi menutup kedai selama satu hari penuh. Dirinya kemudian menyiasati dengan memundurkan jam buka kedai setiap hari Jumat.
Hari yang istimewa bagi umat muslim, banyak keutamaan di dalamnya. Meskipun Zi merasa ilmu agamanya jauh dari sempurna, dia sangat mengistimewakan hari tersebut. Perempuan itu sering mengajak para pegawainya untuk melakukan kegiatan sosial di hari Jumat berkah. Zinnia memang memiliki empati tinggi dalam hal sosial. Dengan cara itu, Zi berusaha membuat hidupnya seimbang. Cara dia bersyukur atas rezeki dan nikmat yang sudah diperolehnya dari Sang Mahakuasa.
Zinnia sengaja berangkat pagi-pagi. Dia bermaksud untuk menemui seseorang—pemilik lahan yang Zinnia incar untuk cabang kedainya. Berbekal sebuah alamat Zi mengikuti petunjuk arah melalui GPS.
Di antara semua pegawai kafe, Zi paling dekat dengan Wina. Gadis yang usianya lebih muda lima tahun dari Zi adalah orang yang pertama kali ikut membantu merintis usaha toko kue, cikal bakal Peony Corner.
Bagi Zinnia, keberadaan Wina seperti adik perempuannya. Kecerewetan Wina mengimbangi sikap serius Zi. Dalam banyak hal mereka saling mengisi kekurangan masing-masing.
"Mbak, ini masih jauh, ya?" ucap Wina dengan memelas. "Wina laper, Mbak. Tadi buru-buru dijemput jadi Wina belum sarapan," ringis Wina sambil menunjuk perutnya.
Walaupun sambil mengomel, Zi menuruti permintaan Wina. Dia pun menepikan mobilnya di depan kedai yang menjual bubur ayam.
"Makasih, Mbak Zi. Yang terbaik emang," ucap Wina seraya mengusap perutnya yang kekenyangan.
"Ish, dasar! Gimana enggak kekenyangan? Dua porsi buryam lo embat sendiri," ujar Zi seraya menyentil pelan kening Wina. Dia segera kembali masuk mobil dan berada di belakang kemudi.
"Duh! Mbaaak ... jangan cepet-cepet jalannya." Wina setengah berlari mengejar Zi.
Setelah sedikit berputar-putar dan banyak bertanya. Akhirnya Zi memasuki jalanan pedesaan yang cukup lengang.
Telunjuk Wina menunjuk ke arah rumah kayu yang asri. "Sepertinya rumahnya yang itu, Mbak."
Zinnia menghentikan mobilnya di depan rumah yang dimaksud. Tampak seorang gadis berusia belasan sedang menyapu halaman yang penuh dengan daun berserakan. Zi berjalan mendekati gadis itu dan bertanya," Maaf, apa benar ini rumahnya Ibu Sri?"
Gadis itu menghentikan aktivitas menyapunya. Dia kemudian mendongak, pandangannya terpaku ke arah Zinnia. Berulang kali matanya mengerjap lucu. Mulutnya bahkan sedikit terbuka memindai penampilan Zinnia.
Wina yang gemas melihat tingkah gadis berjilbab biru muda itu berdeham dengan keras. Dia pun menggoyang-goyangkan telapak tangannya di depan wajah gadis itu. "Dek! Ming ... kem."
"Eh ... I-iya ... Maaf, Mbak. Habisnya Mbak ini loh ... cuaaantiiik kayak Hong Cheon Gi yang di drakor itu," ucapnya seraya terkikik. Gadis manis itu memperkenalkan dirinya bernama Sinta. Dia pun menanyakan keperluan dua perempuan yang berdiri di hadapannya.
Zinnia memperkenalkan dirinya dan Wina. Dia pun memberitahu kepada Sinta mengenai keperluannya.
Dengan wajah riang, Sinta mengajak Zi dan Wina untuk masuk ke dalam rumah. Gadis manis itu berteriak-teriak memanggil ibunya.
Dengan sedikit tergopoh-gopoh seorang perempuan paruh baya keluar. "Ada apa to, Nduk? Anak gadis kok teriak-teriak ... enggak ilok!"
"Maaf, Buk!" Sinta pun nyengir seakan-akan tanpa dosa. "Habisnya ... ini ada tamu, kok uayuuu tenan. Kayak artis drakor yang sering tak tonton itu loh, Buk."
Bu Sri berpaling menatap dua perempuan yang berdiri dengan kikuk. Beliau tersenyum hangat dan mempersilakan kedua tamunya untuk duduk.
Pandangan Zi mengedar ke penjuru rumah. Dia sedang duduk di sebuah kursi kayu panjang yang antik. Maniknya memindai setiap sudut yang terlihat olehnya. Zi bisa menyimpulkan bahwa pemilik rumah adalah orang yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi. Banyaknya benda antik yang dikoleksi menunjukkan hal tersebut.
"Jadi ini ya, yang namanya Mbak Zinnia. Ternyata cuantik ya," ucap Ibu Sri seraya terkekeh. Kerutan di wajah beliau tidak bisa menyembunyikan sisa kecantikan masa mudanya.
"Iya, Bu ... saya Zi dan ini teman saya, Wina," ucap Zi memperkenalkan diri. "Seperti yang sudah saya sampaikan lewat telepon bahwa saya tertarik dengan lahan Ibu. Saya bermaksud—"
"Sudah ... sudah enggak usah ngomongin hal itu. Masalah lahan itu gampang. Lebih baik kita ngobrol dulu," ucap Ibu Sri dengan tersenyum hangat.
Zi yang semula bersikap kaku akhirnya luluh dengan pembawaan Ibu Sri yang hangat. Wanita berhijab putih itu bercerita bahwa beliau mempunyai satu orang putra dan dua orang putri. Sinta merupakan putri kedua, sedangkan adiknya bernama Mita yang saat ini sedang keluar ke rumah temannya.
"Sayang putra ibuk sedang keluar. Mudah-mudahan enggak lama. Sepertinya kalian sepantaran." Ibu Sri tampak antusias bercerita tentang putra pertamanya.
Zi hanya tersenyum datar menanggapi ucapan Ibu Sri. Dirinya menjadi serba salah. Tak lama terdengar suara sepeda motor berhenti di halaman. Terdengar derap langkah berat memasuki rumah.
"Panjang umur, Le. Baru aja ibuk cerita tentang kamu sama Mbak Zi," ucap Sri dengan wajah semringah.
Pandangan Zi berpaling menatap siapa yang datang. Bola matanya membulat sempurna melihat sosok yang dikenalnya. Tatapan keduanya saling bertemu. Zinnia mengeluh dalam hati. Bagaimana mungkin bertemu laki-laki absurd tempo hari?
“Wah ada calon istri di sini. Duh senangnya pulang-pulang ditungguin yang cantik kek gini,” ujar Ajisaka sambil cengengesan. Dengan santai dia duduk di sebelah Ibu Sri. Sejenak lelaki itu berpaling ke arah sang ibu. “Gimana Bu, cantik ‘kan calon mantunya ibu?”
“Hush! Le, mbok yo dijaga itu mulut. Nanti kalo Mbak Zi tersinggung gimana?” Bu Sri menepuk lengan Saka dan mencubitnya hingga laki-laki itu meringis. Beliau kemudian meminta maaf atas ucapan putranya.
Zinnia hanya tersenyum tipis demi menjaga sopan santun. Dia mengepalkan tangan berusaha menahan geram atas ucapan yang keluar dari bibir Ajisaka.
"Waaah, ternyata kalian saling kenal to? Ya, sudah sekarang ini giliran anak muda yang ngobrol," ucap Sri dengan riang. Dia kemudian berkata, "Ibuk mau ke dapur dulu. Mbak Zi dan Mbak Wina jangan pulang dulu sebelum merasakan masakan ibuk."
Tak lama Ibu Sri meninggalkan mereka. Zinnia meraup oksigen sebanyak-banyaknya dan membuangnya perlahan. Dia berusaha membuang emosinya yang tersulut dengan membenarkan posisi duduknya.
Saka tertawa pelan melihat wajah Zinnia yang memerah. Sikap wanita di hadapannya sungguh menggemaskan. Dia pun mendekat ke arah Zi, seraya berucap dengan pelan. "Sudah kubilang. Kalo kita itu berjodoh." Tak lama suara tawa kembali mengudara dari bibirnya.
Manik Zi membulat sempurna. Dia kembali menggeram di dalam hati dan menatap Saka dengan mata memicing. Rasanya Zinnia ingin menyumpal mulut Ajisaka Parikesit dengan sepatu miliknya.
***
"Maaf, ya, Nak Zi ... Nak Wina. Adanya masakan kampung kalo di sini," ucap Bu Sri. Beliau meletakkan semangkuk besar orem-orem yang masih mengepul. Sementara di meja sudah tersedia nasi jagung, urap-urap, mendol dan bakwan jagung. Ada juga olahan tongkol pedas.
Makanan favorit Ajisaka
Sejatinya Zinnia ingin menolak ajakan Ibu Sri untuk makan bersama. Namun, beliau memaksa dengan memohon hingga membuat perempuan itu tidak enak hati. Akhirnya, dia dan Wina duduk bersama keluarga Ibu Sri demi menikmati makan siang yang terlalu dini. Bagaimana tidak? Ini baru jam sebelas siang.
"Saka itu aslinya anak kampung. Tiap pulang pasti yang diminta jangan ndeso masakan ibuknya. Enggak mau beli," kekeh Ibu Sri. “Anak itu paling cepet kalo pulang seminggu sekali. Keliling terus kerjanya. Makanya sampe gosong ... item gitu?”
“Item manis to, Buk? Biar hitam tapi dapet yang manis-manis ... kayak yang di depan ini ya, Bu?” kekeh Ajisaka.
Zinnia mencebik dan menyumpah dalah hati melihat wajah Saka yang tertawa, namun baginya sangat menyebalkan. Demi basa-basi dia memasang senyuman manis di wajahnya. Zinnia memilih mengabaikan Saka dan menyimpan rapat rasa gusarnya. Zi berusaha fokus dan menyimak Ibu Sri bertutur tentang kehidupannya. Dari situ, Zi tahu bahwa Ibu Sri adalah ibu tunggal yang membesarkan ketiga anaknya seorang diri. Sang suami meninggal saat putrinya yang ketiga berusia tiga tahun karena sakit.
Sejujurnya, Zi sangat menyukai sikap Ibu Sri yang ramah dan hangat. Dia merasa nyaman, kedua putrinya pun sangat menyenangkan. Sinta lebih supel dan humoris, sedangkan Sinta—adiknya—lebih pemalu dan pendiam.
“Dulu Ibuk jualan di pasar, punya bedak di pasar. Jual sayuran gitu. Tapi sejak Saka punya penghasilan sendiri, Ibuk dilarang jualan lagi,” tutur Ibu Sri.
Sesekali manik Zi melirik lelaki yang sedang dibicarakan dengan hati dongkol. Pasalnya, laki-laki yang duduk di seberang meja tampak tak peduli. Saka dengan santai mengambil aneka lauk kesukaannya dan melahap dengan semangat.
Sementara Wina yang duduk di sisi Zinnia juga tampak santai melahap aneka hidangan yang tersedia. Bahkan, dia terlihat dua kali nambah. Zi mengingatkan diri agar menegur kelakuan Wina yang tampak sok akrab bertanya kepada Saka.
Zinnia menikmati makananya dengan perlahan. Dia harus mengakui bahwa masakan ibu Saka memang istimewa. Meski menunya sederhana namun lidah Zi begitu menikmati aneka rempah yang menyatu dalam masakan dengan cita rasa yang pas. Sebagai penikmat kuliner, Zinnia memberi nilai sembilan puluh untuk masakan yang baru dia nikmati.
Bu Sri dengan semangat menceritakan kegiatannya sehari-hari. Saat beliau melihat piring Zi yang tinggal sedikit, Bu Sri bermaksud mengambilkan lauk lagi. Namun, ditolak dengan sopan oleh Zi karena merasa sudah kenyang. “Tapi dasar Ibuk ini sudah biasa kerja jadi kalo diem rasanya badan malah sakit semua. Sekarang Ibuk kerjaannya nyulam sama ngerajut sambil ngajari orang-orang sini yang pengen belajar.”
“Ada sepuluh kelompok yang sekarang bikin kerajinan rajut sama sulaman, Mbak. Bikin tas-tas gitu, loh. Ada juga hiasan dinding. Sekarang hasilnya sudah ada yang dikirim ke luar negeri, Mbak. Ke mana, Buk?” tanya Sinta. Dengan antusias gadis itu menceritakan bahwa awalnya cuma satu kelompok dasa wisma yang belajar, terus berkembang jadi banyak.
“Lupa, Ibuk. Yang ngurusin ‘kan Masmu,” jawab Bu Sri. Beliau kemudian berpaling menatap Saka yanf baru saja menghabiskan makanannya. “Ke mana, Le?”
“Ke Eropa, Bu.” Saka menjawab dengan santun.
Zi berpaling hingga pandangannya bertemu dengan Ajisaka. Sesaat ada yang berdesir jauh di dalam sana menatap kedalaman mata elang laki-laki berambut gondrong tersebut. Namun, semua ambyar saat Saka mengulum senyum seraya mengedipkan sebelah matanya dan menggoda Zinnia. Membuat hati Zi berkobar amarah disertai sumpah serapah dalam hati.
“Sumpah, beneran benci gue! Dasar cowok absurd,” omel Zi tiada henti selama perjalanan pulang menuju kedai. Perempuan itu bergidik ngeri saat teringa momen ketika mereka berpamitan tadi.
Awalnya Zi merasa sangat sungkan saat Bu Sri memberi cindera mata berupa dua tas rajut untuk dirinya dan Wina. Beliau juga memberi hadiah beberapa hiasan dinding berupa sulaman. Bu Sri berpesan agar Zi dan Wina sering-sering main ke rumah.
Zi tidak berprasangka buruk saat Saka memgantarnya ke mobil. Dirinya berpikir wajar bahwa itu bentuk kesopanan tuan rumah terhadap tamunya. Namun sesaat setelah Zi masuk ke dalam mobil, laki-laki itu berbisik lirih di telinganya.
“Hati-hati Calon Istri,” bisiknya. Saka lalu berpaling menatap Wina yang duduk di sisi Zi. “Wina ... tolong jagain, titip hati Zi jangan sampe ternodai cinta yang lain,” pesan Saka.
“Kenapa elo tadi jawab iya-iya aja waktu orang itu ngomong ngawur kek gitu? Pake ngacungin jempol segala,” sengit Zi.
Wina tergelak melihat Zinnia yang emosi. “Orang itu namanya Mas Saka, Mbak,” ucap Wina dengan sisa tawa. Sejurus kemudian Wina berpaling, menatap Zi dengan rair serius. “Hati-hati Mbak Zi ... ojok gething-gething mengko nyanding.”
“Apaan tuh?”
“Jangan terlalu benci nanti cinta,” ucap Wina seraya tergelak.
“Hueekk. Dih, najis ... amit-amit. Ogah gue,” ucap Zi sambil menepuk-nepuk keningnya sendiri. Berkali-kali tubuhnya bergidik membayangkan Saka adalah jodohnya. “Tidaaaak ....”
Tiba-tiba, Zi teringat sesuatu. Dia menoleh, menatap Wina dengan panik. “Win ... ada yang lupa tadi. Gimana nasib tanah itu, kok gue jadi lupa malah enggak dibahas tadi?”
Lagi-lagi, Wina tertawa kencang hingga memegangi perutnya. “Owalah ... Mbak Ziii ....”
****
Hola ... maafkeun agak telat update. Seharian si kecil diare jadi baru longgar malem. Semoga suka dengan kisah Zi yang suka galau. Jangan lupa masukkan library kalian, yess😘
Biar makin semangat nulis, tinggalkan jejak cinta kalian dan komen, ya. Lumayan panjang part ini hampir 2k kata😍😍😍
070123
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top