Bab 2. Petaka Lamaran
Happy reading 🥰
🌷🌷🌷
Bab 2. Petaka Lamaran
Keesokan pagi, Zinnia sudah berdiri di dapur kering bersama Salwa. Pagi-pagi, chef Korean food itu menelepon dan mengabarkan bahwa frezeer rusak. Dengan tergesa-gesa Zi langsung berangkat menuju kedai. Dia bahkan masih mengenakan pakaian rumahan ... kaus gombrong dan celana santai ditambah bergo instan yang menutup rambutnya.
Zi menutup hidung sambil menatap Salwa yang mengeluarkan simpanan daging dan olahan beku lain dari dalam frezeer. “Kamu pilah aja yang masih bisa dipake segera sisihkan. Kalo ragu sebaiknya dibuang aja. Jangan sampe ambil resiko, Wa!” seru Zi mengingatkan Salwa.
“Siap, Mbak,” jawab Salwa tanpa mengalihkan pandangan. Perempuan berambut sebahu itu bekerja dengan cekatan, memilah bahan-bahan yang masih bisa digunakan dan tidak.
Beberapa saat kemudian, Wina dan asisten dapur datang dan langsung membantu. Zi menepi sejenak dan langsung menelepon tukang servis elektronik langganan mereka.
“Wa, jangan lupa catet semua bahan yang kurang dan segera order. Apa kita perlu mundurin jam buka, ya? Takutnya enggak selesai prepare.” Zi tampak bimbang melihat banyaknua tumpukan produk yang tidak layak pakai.
“Buka seperti biasa aja, Mbak Zi. Masih cukup kok waktunya ... ini masih pagi juga,” jawab Salwa seraya mengusap keringat di dahi. Dia berpalung menatap Zi sambil mengacungkan jempolnya ke udara.
“Oke, deh. Lega gue! Kalo gitu gue bersih-bersih diri dulu di atas.” Senyuman kini menghiasi wajah Zi. Sebelum beranjak dia menatap Wina. “Win, kalo udah selese tolong, ya, seperti biasa ... kopi sama sarapan di atas.”
Wina yang sedang memegang kantong sampah besar langsung tersenyum lebar. “Siap Bos Cantik. Ditunggu orderannya!” seru Wina.
Zi pun beranjak pergi. Di koridor dapur, dia berpapasan sama Aryo, si chef kulkas. “Pagi, Yo!” sapa Zi ceria.
Aryo yang berjalan santai dengan headset di telinga hanya mendongak ďan mengedikkan bahunya.
Zinnia dibuat gemas sama tingkah laki-laki tiga puluh tahun itu. “Dasar kanebo kering muka datar. Kapan lo dapet jodoh, Yo? Jomlo abadi kalo gitu,” omel Zi.
Aryo hanya menatap Zi sekilas dan melenggang dengan santai masuk ke dapur. Sesaat kemudian Aryo muncul lagi dengan membawa satu cup makanan dan menyerahkan kepada Zi. “Sarapan dulu ... mandi dan dandan yang cantik!” ucap Aryo dengan tatapan datar.
Zi memekik riang menatap cup berisi bubur ayam. “Wah, tau aja gue kelaperan. Eh, tapi Yo ... ini ‘kan sarapan elo.” Zi menatap Aro dengan sungkan.
“Aku gampang, ada mi,” sahut Aryo singkat.
“Wah, senang banget gue. Jadi makin sayang sama elo. Adik gue yang terbaik emang.” Wajah Zi dengan berbinar seraya menepuk-nepuk lengan Aryo yang terbalut jaket penuh rasa terima kasih. "Oya, tolong bilang Wina ntar bawain kopi aja. Oke, Aryo Sayang," ucap Zi gemas sambil terkikik bahagia.
Aryo hanya terdiam dan menatap wajah Zi yang berseri-seri dengan ekspresi tak terbaca. Sesaat kemudian lelaki itu mengangkat bahu dan berlalu menuju dapur miliknya. Tak butuh waktu lama suara musik terdengar memenuhi ruangan dapur beraroma kue itu.
Zinnia mengayunkan langkah dengan hati riang. Dalam hati dia mengamini perkataan Wina kemarin. Seiring langkahnya terayun pandangannya mengedar ke penjuru kedai yang masih sepi. Kedai ini adalah hartanya yang berharga. Dia sudah bekerja keras untuk ini. Semua karyawan di Peony Corner adalah keluarga baginya. Zinnia menaiki tangga dengan hati menghangat.
Waktu berjalan cepat. Minggu adalah hari yang cukup sibuk buat karyawan Peony Corner. Sejak jam buka kedai, pengunjung datang silih berganti. Sebagai kafe yang instragamable, kedai bernuansa putih yang mengusung konsep Korean kafe yang simpel kerap menjadi pilihan anak muda sebagai tempat sekedar hang out dan selfi.
Zinnia menggunakan perabot dari material kayu yang sengaja dia pesan khusus. Interior berupa meja bulat kecil untuk dua orang dan meja panjang untuk rombongan tertata apik. Konsep negeri di awan menjadi pilihan interior Peony Corner, hiasan menyerupai awan-awan putih menggantung di beberapa sudut kedai.
***
Zinnia memilih beristirahat sejenak di atas setelah seharian membantu anak-anak. Jika tidak ingat janjinya, dia mungkin masih sibuk berjibaku di dapur.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Sosok Wina muncul dari balik pintu. Cengiran lebar menghiasi wajah gadis itu. "Mbak Zi ... ditunggu kembarannya Ji Chang Wook di bawah."
Bibirnya berdecak malas. Matanya langsung melirik jam di ponsel. Wanita itu terkejut ternyata sudah pukul 19.07. Dia langsung beranjak dari kursi dan merenggangkan seluruh persendian tubuhnya yang terasa kaku. Zi baru sadar bahwa perutnya terasa lapar karena melewatkan makan siang. Tadi siang ketika Wina menawarkan makan siang, Zi menolaknya karena larut dengan tumpukan pekerjaan.
"Mbak Zi kok ogah-ogahan gitu, sih, ketemu yang ganteng," ucap Wina seraya terkekeh.
"Dih! Males banget gue kalo nggak inget sudah janji jauh-jauh hari!" ujar Zi sewot. Matanya mendelik ke arah Wina.
"Ya udah kalo Mbak Zi enggak mau, biar kencan sama Wina aja. Lumayan kencan sama oppa ganteng," ucap Wina terkikik dengan nada menggoda. Bahkan gadis itu bertepuk tangan dengan gembira.
"Ish ... sudah kerja sana! Jan mikir cowok mulu." Zinnia menyentil pelan kening Wina dan berlalu menuju ke bawah. Meninggalkan Wina yang mengusap-usap keningnya dengan mulut mengerucut.
Tampak seorang laki-laki tersenyum hangat dengan wajah berbinar ke arah Zinnia. Jas semi formal berwarna abu-abu tua yang dipadukan celana denim hitam membalut tubuh tegap itu. Gavin mendekati Zi yang berdiri di tangga terbawah seraya berkata, "Halo Sayang ...."
"Beri gue waktu lima belas menit. Oke? Tadi kedai lumayan crowded. Ehm, kamu duduk aja dulu di sana. Mau minum apa?" Tunjuk Zi pada sebuah meja yang kosong. Dia memberi kode Wina untuk melayani Gavin. Kemudian Zi melesat dengan cepat menuju ruangannya.
Gavin hanya menggeleng kecil dan menuju bangku yang dimaksud Zi. Tatapannya mengedar ke penjuru kedai. Dadanya membusung bangga saat beberapa gadis yang melewatinya melirihnya penuh kekaguman dan saling berbisik.
Di lantai atas, Zi bersiap-bersiap secepat kilat. Dia membayangkan seandainya jadi The Flash yang bisa secepat petir. Zi tahu Gavin benci menunggu.
Zi tersenyum menatap bayangannya di cermin. Rok panjang berwarna biru tua dan tunik bermotif etnik dipadukan dengan pasmina berwarna senada melengkapi penampilan Zinnia. Dia berpikir penampilannya bisa mengimbangi Gavin malam ini. Tidak lupa wanita itu juga memulas wajahnya dengan make up natural. Sebelum turun, Zi menyambar sebuah kado yang terbungkus cantik yang sudah dia persiapkan sejak seminggu lalu.
Zi mendekati Gavin dengan mengulas senyum terbaik. "Maaf ya, kamu terlalu lama nunggu. Tau sendiri cewek kalo dandan." Zi memasang tampang bersalah.
Melihat senyuman Zi, Gavin pun luluh. Wajahnya yang sejak tadi memerah menahan kesal perlahan menguap melihat sosok cantik di hadapannya. “Besok lagi usahakan konsekuen ya, Sayang, bila janji degan orang. Ingat waktu itu—“
“Berharga. Iya, tahu. Mo jalan enggak? Ato mo ceramah aja?” Mata Zi berputar malas.
“Ya udah, yuk, berangkat.”
Gavin tetaplah Gavin. Zi begitu hafal tabiatnya. Sepanjang perjalanan Zi menebalkan telinga terhadap wejangan laki-laki di sampingnya tentang begitu berharganya waktu dan seterusnya. Beruntung energinya sudah terkuras seharian, bila tidak dia akan meladeni Gavin berdebat. Zi bukanlah orang yang tidak menghargai waktu. Salah satu faktor berkembangnya Peony Corner adalah sikap profesionalismenya terhadap manajemen waktu. Dia memilih membuang pandang ke arah jendela menikmati suasana kota Malang di malam hari.
Wajah Zi berbinar melihat pemandangan dari balik kaca sky lounge "After 5ive" Savana Hotel. Cahaya lampu yang berpendar indah dan suasana kota Malang di malam hari tampak memukau dari atas. Iringan lagu cinta dari band yang tampil membuai indra pendengaran. Membuat suasana sungguh syahdu dan romantis.
Zi menatap Gavin yang tersenyum lembut. Dalam hati Zi mengakui bahwa laki-laki di hadapannya memang memesona. Mereka baru saja menyelesaikan makan malam. Dia pun teringat akan kado yang dibawanya. Zi mengeluarkan sebuah kotak berwarna hitam yang terbungkus indah. "Happy birthday Vin ...," ucap Zi seraya menyerahkan benda itu.
Wajah Gavin berbinar menerima pemberian dari Zi. Dia pun segera membukanya ketika Zi meminta. Pria itu tertawa kecil melihat jam tangan yang diinginkannya. "Makasih Sayang ...," ucap Gavin sambil tersenyum hangat.
Zi hanya mengangguk seraya tersenyum tipis. Bagi Zinnia, sosok Gavin sangat mudah terbaca. Bagaimana tidak? Pria ini berkali-kali menunjukkan benda idamannya itu kepada Zi.
Beberapa saat kemudian, raut Gavin berubah serius. Dia membenarkan posisi duduknya. "Ehm, kalo tadi Zi yang ngasih hadiah. Sekarang giliranku ...." Gavin berdeham berusaha menghilangkan kegugupan. "Zi tahu bagaimana perasaanku. Usia kita sudah sama-sama dewasa. Jadi ... maukah Zi menua bersamaku? Bersama menjalani hari dalam ikatan pernikahan," ucap Gavin seraya mengulurkan sebuah cincin yang berkilau indah.
“Uhukk.”
Zinnia yang sedang menyesap minuman tersedak hebat. Dia terbatuk-batuk hingga menyemburkan minuman dalam mulutnya. Matanya melebar saat minuman berwarna merah membasahi baju Gavin. Dia berdiri dengan panik dan ingin menolong Gavin. Namun sial, kakinya tersangkut tali tas yang dia letakkan di bawah sehingga dia terhuyung. Tangannya tidak sengaja menyeret taplak meja berwarna putih saat Zi mencari pegangan. Akhirnya piring-piring bekas makan jatuh berantakan di lantai dan sebagian mengotori baju Gavin. “Duh, mati gue,” umpatnya dalam hati.
Sepanjang perjalanan pulang Gavin membungkam seribu bahasa. Pandangannya lurus menatap jalanan yang sedikit lengang. Noda di baju Gavin masih terlihat jelas meskipun Zi sudah mencoba membantu membersihkan di toilet tadi.
“Ma-af, ya Vin. Gue beneran enggak sengaja tadi. Ntar gue londriin, ya, bajunya. Ato biar gue ganti,” lirihnya.
“Enggak perlu, Zi,” tukasnya cepat.
Zi mengembuskan napas panjang. Hatinya dipenuhi rasa bersalah. Ketika Gavin sudah memanggil namanya tanpa sayang, itu tandanya dia marah besar. Walaupun tidak memarahi atau berkata kasar, Zi dapat melihat jelas dari samping otot-otot leher Gavin yang terlihat jelas.
Saat mobil berhenti di depan rumah Zi, laki-laki itu masih mematung tanpa kata.
Zi dengan kikuk melepas sabuk pengaman. Dia berdeham memecah keheningan. Tangan Zi terulur hendak menyerahkan kotak kecil yang sejak tadi dipegangnya. “Ehm, mengenai cincin ini—“
“Itu buat kamu. Simpan aja,” ucap Gavin seraya berpaling menatap Zinnia.
Giliran Zi yang mematung dan menatap sampai mobil Gavin menghilang dari pandangan. Dia mengetuk-ngetuk keningnya dengan kotak yang dipegangnya. Teringat akan doanya minta jodoh dan ramalan zodiac tempo hari. seharusnya dia bersorak bahagia. Namun, kenapa hatinya malah terasa nyeri. Dasar bodoh Zi! Ya Allah, kenapa jadi rumit? rintih Zi dalam hati.
***
Tengkyu buat kalian yang sudah mampir ke lapakku. Sila mampir ke ceritaku yang lain, ya. See you at wednesday😘
020123
Askina Hasna
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top