Bab 11. Pertemuan Keluarga
Assalamualaikum. Maaf lama sekali tidak menyapa teman-teman di sini. Selama Ramadan aku off nulis, fokus dengan kegiatan Ramadhan. Selain itu aku juga barusan berduka, adikku meninggal. Mohon doanya buat adikku, ya ....
.
.
.
Bab 11. Pertemuan Keluarga
Weekend bagi sebagian besar orang adalah hari libur dan waktu untuk bersantai. Namun, hal ini tidak berlaku bagi Zinnia. Bagi pekerja yang bergerak di bidang kuliner nyaris tidak ada waktu khusus untuk liburan. Apalagi jika mendapat pesanan dalam jumlah besar. Setelah melaksanakan ibadah Subuh, Zi gegas berangkat ke kedai. Dia terkejut mendapati Aryo yang sudah berpeluh di dapurnya.
"Lo, enggak pulang semalam? Lo kerja mulai jam berapa, Yo?" Zinnia berdecak melihat loyang- loyang berisi kue sudah berjajar dengan manis dan siap untuk dihias.
"Sssstt, jangan berisik Zinnia. Lebih baik kamu urus yang lain. Jangan ganggu aku!" Aryo mengibaskan tangannya ke udara guna menyrurh Zi pergi.
"Iya-iya, gue pergi!" Bibir Zi mengerucut. Lebih baik dirinya segera menyingkir dari daerah kekuasaan Aryo. Laki-laki itu sadis jika dalam mode serius kerja, senggol bacok. Bisa merepet enggak berhenti kayak emak-emak enggak dapet jatah suami.
Perempuan yang pagi ini hanya mengenakan kaos dan celana longgar memilih melipir ke dapur sebelah. Tampak Salwa mengeluarkan olahan setengah jadi dari dalam lemari pendingin. Dia menghampiri Salwa dan menawarkan bantuan.
"Eh, makasih Mbak Zi," ucap Salwa sungkan.
"Gue bantuin elo di sini aja, deh. Aryo rese!" gerutu Zi.
"Eh, boleh Mbak ...." Salwa sengaja meminta tolong Zi untuk mengerjakan hal yang ringan saja, mempersiapkan garnis, pickles dan cup untuk rice bowl yang dipesan.
Sambil memilah daun selada segar, manik Zi mengamati Salwa yang bergerak dengan cekatan di depan kompor. Postur tubuh Salwa yang mungil ternyata sangat kuat. Zi dibuat takjub, Salwa yang dengan enteng memindahkan wajan berisi olahan ayam dari atas kompor. "Hati-hati, Wa!" pekik Zi.
Salwa hanya meringis menanggapi.
Zi mengamati setiap gerakan Salwa saat bekerja dalam diam. Sebenernya mulutnya sangat gatal ingin bertanya tentang perasaannya kepada Aryo, tetapi dia menelan kembali keingintahuannya. Zi berusaha fokus pada sayuran di hadapannya. Waktu berlalu dengan cepat, semua pesanan telah siap dalam kotak.
Sesaat kemudian kepala Wina menyembul dari pintu dapur. "Mbak Zi, ditunggu Babang Gavin di depan."
Zi menepuk keningnya. "Sial! Lupa gue!" Zi melambaikan tangan, menyuruh Wina mendekat. "Win, lo bantuin Salwa, gih. Orderan Mbak Nana gue serahin ke elo. Gue lupa hari ini ada janji sama Gavin. Dih, males gue!"
Wina segera mengambil celemek yang tergantung di gantungan sudut dapur. Seraya mendekati Zi, dia berusaha memasang talinya. Dengan cekatan Wina mengambil alih pekerjaan Zi guna mengecek ulang semua pesanan. "Emang ada acara mau ke mana, Mbak? Hari ini Babang Gavin ganteng banget. Potongan baru ... gaya baru, vibes-nya beda." Wajah Wina berbinar-binar.
Zinnia menjentikkan jarinya di depan wajah Wina. "Sadar, Win. Urusin kerjaan dulu! Gak tenang gue mo ninggalin kedai," omel Zi dengan sorot tajam ke arah Wina.
"Santuy, Mbak. Dijamin beres!" ucap Wina sambil mengacungkan jempolnya. "Bye, Mbak Zi ... met kencan!" Wina melambaikan tangan dengan ceria.
"Gue bukan kencan Wina! Gue diajak ke ... pertemuan keluarga." Zi menelan ludah begitu melihat ekspresi Wina yang melongo. "Jangan mikir macem-macem! Ini enggak seperti yang elo pikirin!" Zinnia mengacungkan telunjuknnya dengan wajah galak. Dia mengentakkan kakinya dan berbalik arah. Perempuan itu menyeret langkahnya dengan tergesa-gesa.
Sesampainya di depan, pandangannya bertemu dengan Gavin. Dia langsung memberi kode kepada laki-laki itu untuk tidak bertanya. "Beri gue waktu lima belas menit!" Zinnia lekas berbalik dan sedikit berlari menuju lantai atas.
Setelah lima belas menit, Zinnia turun dalam balutan setelan semi formal. Tunik bermotif garis dari bahan ringan dipadu celana kain warna putih membalut tubuh rampingnya, lengkap dengan pasmina warna hijau sage yang lagi viral melengkapi penampilan pemilik Peony Corner. Napasnya sedikit memburu karena semua hal yang dilakukannya serba terburu-buru; mulai dari mandi sampai berdandan.
"Yuk, cabs!" Zinnia berpaling sejenak ke arah Gavin dan berjalan keluar mendahului laki-laki itu. Di luar, dia berpapasan dengan Gita dan Akasan yang baru datang. "Buruan, bantuin Wina di dapur!" titahnya.
"Siap, Mbak!" Aksan dan Gita menawab hampir bersamaan. Keduanya langsung bergegas masuk kedai.
Zi mengempaskan bokongnya ke kursi seraya mengembuskan napas panjang. Lega. Dia berpaling menatap Gavin. "Gue minta maaf, pagi ini ada orderan mendadak. Gue lupa janji kita. Nah, sekarang elo boleh omelin gue."
"Kamu cantik!"
"Hah?"
"Kamu cantik hari ini, Sayang. Not to much ... but, it's perfecet!" Gavin menyunggingkan senyumnya. Manis sekali.
Dia menatap Gavin dengan tida percaya. Sesaat tadi, dia siap menuai omelan Gavin seperti biasa jika melupakan janji. Zi mengerjap pelan, baru kali ini dia terpesona oleh senyum laki-laki itu. Zi baru menyadari bahwa hari ini laki-laki di sampingnya memang sangat memesona. Benar kata Wina, rambut Gavin yang biasanya super klimis sekarang tampak natural berantakan dan ... macho. Apalagi ditunjang penampilan Gavin pagi ini yang tampak berbeda ... dengan celana jins robek dan jaket jins untuk menutupi kausnya yang sedikit ketat. Zi berdeham kecil demi mengilangkan kegugupan dan menlontarkan kalimat tanya. "Elo, enggak papa pake kayak gini di acara keluarga? Gue pikir acaranya sedikit formal."
Gavin terkekeh. "Yup, temu keluarga bukan office gathering, Sayang."
"Kalo gitu, outfit gue berlebihan, ya?" Zi mengamati penampilannya sendiri dengan sedikit panik.
"Nope. You're perfect!"
"Oh, oke."
Zinnia meminta Gavin memutar lagu. Dia membuang pandang ke jalan, berusaha menetralisir hatinya yang tiba-tiba jumpalitan. Sesekali maniknya melirik Gavin yang menyetir dalam diam di balik kemudi. Hal yang agak aneh dan canggung buat Zi karena biasanya Gavin selalu saja bicara dalam setiap pertemuan mereka.
"Aku tahu kamu terpesona sejak tadi. Kamu bebas lihat aku sesuakamu, kok. Aku emang ganteng, sih."
Zi memutar bola matanya dengan malas. Baru aja dipuji, udah jumawa lagi, decih Zi dalam hati.
Gavin tergelak. "Sori, Zi," ucapnya.
Zi mengulum senyum mendengar nada tulus dari suara Gavin. Tiba-tiba dia menyadari sesuatu. "Loh, bukannya ini jalan ke rumah kamu? Pertemuannya di resto, 'kan?"
Gavin mengusap punggung tangan Zi. "Maaf, Sayang ... aku lupa ngabarin. Mama ganti acaranya di rumah sekalian syukuran aqiqah anaknya Kak Dewi."
"Gue enggak mau! Anterin gue balik aja!" Zinnia mendengkus menahan kesal.
"Zinnia, please ... kamu 'kan udah janji mau datang. Enggak lama, kok, mungkin sekitar 1-2 jam." Gavin berusaha merayu Zi.
Pada akhirnya, Zi luluh dengan permintaan laki-laki itu. Walaupun sedikit berat hati, dia mengikuti Gavin memasuki rumah besar dua lantai. Di halaman yang luas, banyak mobil terpakir, bahkan sampai di jalanan. Mereka sampai di halaman belakang yang luas, tampak orang-orang berpakaian santai sedang barbeque. Beberapa meja kayu tersebar di area taman. Anak-anak kecil sedang berenang di kolam yang cukup luas. Zi tidak tahu bahwa Gavin sekaya itu.
"Yuk, kita ketemu Mama dulu." Gavin mengajak Zi mendekati beberapa orang yang tampak santai duduk-duduk di sofa teras yang luas. "Ma ...." Gavin menyapa perempuan cantik paruh baya berambut pendek.
"Ma, ini Zinnia yang Gavin ceritain. Zi ini Mama Rita, perempuan yang super cerewet. Kalo itu Kak Dewi dan bayinya, baby El. Ini adikku, Glen." Gavin mengenalkan Zinnia kepada keluarganya satu per satu.
Zinnia memasang senyum terbaik sembari menyalami anggota keluarga Gavin satu per satu. Dimulai dari Mama Rita, perempuan berusia kepala enam yang masih tampak energik. Lanjut ke Kak Dewi, perempuan ramah berambut sebahu yang cantik dan ramah dengan bayi laki-laki dalam gendongannya. Di seberangnya, duduk laki-laki usia anak kuliah berambut ikal. Adik Gavin hanya melambai singkat dan kembali fokus dengan ponselnya.
"Akhirnya yang Mama tunggu datang juga. Tiap hari yang diceritain Gavin itu Zinnia." Mama Rita langsung mengajak Zi duduk di sampingnya, setelah meminta Kak Dewi sedikit bergeser duduk. "Hmm ... cantik seperti cerita Gavin selama ini. Pinter juga Gavin milih calon istri. Gavin cerita kalo sudah melamar Zi. Jadi ... kapan rencana kalian?"
Mata Zi melebar mendapat berondongan pertanyaan dari Mama Rita. Dia langsung melirik Gavin dengan sengit. "Tapi Tante, kita—"
"Ma, please ... ini bukan saatnya bahas gituan. Kasihan Zi ... jadi canggung gitu." Gavin menyela dengan cepat.
"Iya, nih ... Mama." Kak Dewi ikutan bersuara. "Maafin Mama, ya, Zi ...."
Mama Rita terkekeh. "Iya ... iya ... Mama minta maaf, Zi. Kalo gitu, ayo ikut, Mama kenalin sama anggota keluarga yang lain."
Sebelum Zi menjawab Mama Rita menggenggam tangan Zi. Tiba-tiba, beliau menyadari sesuatu hingga keningnya berkerut. "Cincin tunangan Zi mana?" Mama Rita mengangkat tangan Zinnia.
"Itu ... Zi belum—"
"Zi tadi buru-buru pergi. Pagi-pagi sudah ada orderan di dapur jadi cincinnya dilepas biar enggak ganggu. Iya 'kan, Sayang?" Lagi-lagi Gavin memotong ucapan Zi. Laki-laki itu menggeleng samar dan menatap Zi dengan sorot memohon.
"Iya, cincinnya Zi simpan."
"Oh, so sweet," ucap Mama Rita lembut. "Ayo, kita kenalan dulu sama yang lain." Mama Gavin menggandeng Zi ke arah taman. Di tengah-tengah beliau menghentikan langkah dan berseru dengan riang. "Halo semuanya ... kenalkan, ini Zinnia ... calon mantuku ... calonnya Gavin. Cantik 'kan?"
Manik Zi melebar seakan-akan keluar dari sarangnya. Ingin rasanya dia meminjam pintu ke mana sajanya Doraemon atau menenggelamkan diri ke dasar bumi ketika segerombolan ibu-ibu langsung menghambur dengan riuh ke arahnya. Spontan dia berpaling dan menatap Gavin dengan emosi menggelegak. Ingin rasanya Zi menelan Gavin hidup-hidup yang telah menjebaknya dalam situasi sialan.
***
Insya Allah aku up lusa, ya, tengkyu ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top