Kuntum 63 - 第六十三章


"Feifei, kan Lynn sudah kembali ke Jakarta. Itu artinya, kursi di sebelahmu kosong, kan?"

Beijing Capital Internasional Airport siang itu ramai lalu lalang beragam orang. Di ruang tunggu antre check in, beberapa menit lagi pintu masuk di buka. Pak Usman sedang membeli kopi. Koper Lynn yang besar ia sendiri duduki sementara ia dan Luo Yi sedang mengobrol bersama, Feifei dan Ban Xiao Song baru kembali dari toilet. Xiao Song yang menemani Feifei.

Rencananya, Luo Yi akan pergi ke ShenZhen menjenguk keluarganya. Ia sudah menabung banyak untuk keperluan pulang kampungnya itu. Biasanya, ia akan menikmati musim panas dengan pergi ke pantai XiChong bersama keluarga. Menikmati terik mentari yang hanya sesekali itu bermain bersama air di tepi pantai. Lynn bilang, kalau di Jakarta semua itu sudah menjadi kebosanan. Matahari yang terik, polusi, itu adalah Jakarta yang sebenarnya. Meski terkesan buruk, tapi setelah Lynn sadari, ia begitu merindukan hiruk-pikuk itu.

Suara pemberitahuan dari mikrofon soal pintu masuk pesawat yang akan di buka terdengar, mendengung ke seluruh penjuru ruang bandara yang besar dan luas. Roda koper beradu bunyi dengan desing mesin pesawat yang hendak take off dari bumi.

Feifei menatap Xiao Song yang berdiri di depannya tajam. "Kursi itu akan kuhancurkan setelah Lynn tidak lagi duduk di sana. Jangan macam-macam, kau Xiao Song."

Tanpa Feifei sadari, Xiao Song yang sedari tadi memandangnya, tersenyum kecil, menatapi mata indah di balik kaca mata itu.

"Kau tahu, Feifei. Aku selalu berharap kau juga menyukaiku seperti aku menyukaimu."

Mata Feifei mendelik pelan ke arahnya. Ban Xiao Song, pemuda yang selama ini sangat jahil, banyak omong, keren tapi dijelek-jelekkan (yang kata Xiao Song sendiri, ia tidak mau tampan karena takut di taksir gadis lain. Ia hanya ingin tampan kalau di depannya ada Feifei), Feifei tidak mengerti juga kenapa semua tingkah pemuda itu selalu ingin ia hindari.

Lynn pernah bilang, benci bisa menjadi cinta. Mungkin keisengan Xiao Song memang menyebalkan. Tapi ada di satu sisi yang tak pernah Feifei sadari, kalau separuh hatinya dipenuhi oleh rasa benci yang berusaha menghindari rasa yang sebenarnya. Xiao Song tidak pernah membuatnya tersenyum. Tapi itulah hal yang membuat Feifei selalu teringat untuk hidup penuh tawa karena ia lelah merasa sebal dengan tingkah Xiao Song. Kadang ia iba dengan Xiao Song. Kadang ia tidak mengerti dengan pemuda itu.

"Aku tidak tahu apakah kalau aku pergi suatu saat nanti kau akan merindukanku atau tidak. Tapi berkat Lynn, aku percaya, kalau mencintai seseorang saja, bagiku itu sudah cukup." Senyum pasrah membentang di bibir pemuda itu. Di satu larik suaranya, Feifei mendengar sebuah permohonan terdalam. Menyelinapkan sebutir perasaan yang tiba-tiba mendorongnya untuk menatap Xiao Song sedalam itu.

Ia sudah mengenalnya lebih dari tiga tahun. Tapi entah kenapa, baru kali ini ia melihat mata cokelat itu. Benar-benar melihatnya. Seakan Feifei menyadari, kalau di pantulan bola matanya, yang Xiao Song lihat hanyalah dirinya seorang.

"Apa maksudmu berkata begitu? Xiao Song, aku memang seorang wanita. Tapi kau tahu, aku bukan gadis yang ingin menyatakan perasaannya kepada orang sepertimu."

Xiao Song terus menatapnya tanpa suara. Feifei mengerut bingung. "Apa? Ayo bicara!"

Kemudian Xiao Song tertawa pelan. Senyum dari tawa yang tak pernah Feifei amati itu tiba-tiba meramu pipinya jadi merah.

"Feifei, kau terlalu galak. Pria mana lagi yang berani mencintaimu selain aku?" Xiao Song mengangkat tangannya, menyentuh kepala gadis itu seakan hubungan itu memang ada tanpa harus di jelaskan. Feifei tak memiliki kata-kata lagi selain cemberut, lalu menepiskan tangan Xiao Song, segera beranjak ke arah Lynn yang sedang mengobrol dengan Luo Yi tak jauh darinya. Sebelum pipinya kian memanas, dan jantungnya yang tak berhenti berdebum.

Di sisi lain, Lynn beranjak berdiri karena merasa tempat duduknya kurang nyaman. Ia dan Luo Yi menyeret kopernya ke kursi besi panjang yang ada di dekat sana lalu duduk bersebelahan.

"Jadi, kapan kau akan ke ShenZhen?" tanya Lynn sembari memandang lapangan terbang dari balik dinding berkaca besar di depannya.

"Lusa. Nanti malam aku mulai berkemas. Pesawatku berangkat siang, jadi sampai sana mungkin agak malam."

"Jauh ya?"

Luo Yi menoleh ke arahnya, kemudian mengangguk. Sejenak, mereka tak ada bahan obrolan. Bersama-sama menikmati detik-detik dimana semuanya tidak akan begini lagi. Detik bagi Luo Yi yang tidak lagi bisa melihat senyum cerah Lynn, detik bagi Luo Yi di mana ia tidak akan lagi duduk bersebelahan dengan gadis itu dan detik untuk terus merasa merindu.

"Lynn, aku akan merindukanmu."

Lynn menoleh pelan ke arahnya, tanpa suara, memandangnya lekat.

"3 bulan untuk mengenalmu, kurasa itu terlalu cepat. Soal Peony yang akhirnya terbongkar, kukira kau tidak akan pernah tahu perasaanku sampai pada akhirnya nanti." Luo Yi melepaskan pandangan, beralih memandang lapangan terbang di depannya seakan jauh berpikir dan membayangkan hari-hari yang ia alami sendiri bersama mekarnya perasaan itu.

"Kau menyelinap, dan tahu-tahu membuatku ingin mengenalmu lebih jauh. Kita berkenalan. Dan itu adalah hal yang sangat membahagiakan. Kau mengetahui perasaanku meski pada akhirnya kau bukan orang yang menjadi akhir dari ceritaku, menurutku, itu semua cukup." Kali ini ia menoleh, dengan senyum khasnya, memandang Lynn di sampingnya. "Kau tetaplah Lynn yang akan kukenang selamanya. Kisahmu, telah tercatat di kehidupanku. Meski semuanya terkesan picisan, tapi aku sangat menghargai itu semua."

Luo Yi tak pernah tahu kenapa mencintai seseorang yang tidak mencintainya bisa begitu damai. Di antara ruang waktu, ia diam-diam menyayangi seseorang, diam-diam melindunginya meski sempat terkhianati oleh tindakannya sendiri. Tapi yang Luo Yi tahu, mencintai seseorang, adalah hal yang paling membahagiakan meski orang itu tidak menaruh rasa padamu. Luka yang ada tidak pernah terasa nyata jika cinta itu begitu sejati. Kau bahagia ketika melihatnya bahagia.

"Luo Yi," suara Lynn serak. Ia melipat bibirnya kemudian tersenyum haru. "Brandon Jun sampai sekarang tidak pernah menghubungiku. Kau tahu, sebenarnya kita sama. Tapi, apakah kau pernah merasa salah mencintai seseorang?"

Kali ini pemuda itu tersenyum lembut, bahkan memutarkan separuh tubuhnya hingga menghadap Lynn sepenuhnya.

"Lynn, mencintai seseorang itu tidak pernah salah. Ingat, hatimu tidak pernah salah, bahkan ia melebihi logikamu sendiri. Mencintai itu tidak pernah ada menyesal. Sama seperti aku yang tidak pernah menyesal mencintaimu meski kau mencintai orang lain."

Tenggorokan Lynn tersekat. Ia menatap Luo Yi tanpa tahu matanya yang sudah berair. Luka tentang Brandon Jun yang selama ini simpan, entah kenapa memberi jawaban terhadap Luo Yi. Ia tahu kenapa ia tidak mencintai Luo Yi saja. Ia tahu kenapa ia tidak menaruh rasa padanya saja. Karena ia tahu, hatinya tidak pernah menyesal mencintai Brandon Jun sama seperti yang Luo Yi katakan.

Mencintai, tidak pernah merasa menyesal.

***

"Okay, waktunya berangkat Lynn." Pak Usman yang sudah kembali beberapa menit lalu hendak menarik kopernya sendiri. Di tangannya tergenggam gelas kopi, sementara di ketiaknya terjepit tiket dan paspornya. Lynn, Luo Yi, Xiao Song dan Feifei yang duduk bersebelahan di kursi panjang itu seketika beranjak berdiri. Antrean dari pintu masuk terminal pesawat sudah memanjang. Pak Usman memberi kode kepada Lynn untuk saatnya berpisah kepada teman-temannya sekarang.

Dengan bahasa Indonesia, Pak Usman berkata pada Lynn, "aku nggak bisa ngomong mandarin, Lynn. Kamu dong, yang bantu aku." Lynn terkikik kecil, kemudian mengangguk dan memandang ketiga temannya.

Ia menarik napas, lalu mengembuskannya seakan melepas beban dan menetapkan ketegaran. Inilah perpisahan yang sesungguhnya.

"Teman-teman, inilah saatnya."

Sejenak, Lynn melihat ponselnya. Bergeming seperti biasa, kemudian mati. Ia melirik ke belakang, tempat eskalator dari lobi bandara. Apakah berharap di detik terakhir itu bisa menjadi bintang keberuntungan? Ia ingin mencium wangi tubuh Brandon Jun untuk terakhir kalinya. Ia ingin merasakan dan mendengar degup jantung di dadanya, hangat yang menjalar di waktu yang kini menjadi kenangan. Ia ingin untuk terakhir kalinya mengatakan perasaannya padanya. Ia ingin, ia ingin, ia ingin... Brandon Jun datang dan memeluknya. Ia selalu ingin. Napas Lynn tercekat. Ia dibangunkan oleh bunyi suara pemberitahuan pembukaan pintu masuk terminal.

Sepertinya, ia bukan gadis yang beruntung lagi.

Kemudian, kembali tegar memandang ketiga temannya dengan senyum haru.

"Simpan aku di musim semi berikutnya, ya. Kalau kalian merindukanku, itu artinya, aku juga lebih merindukan kalian lebih dari yang kalian tahu. Aku sendirian, merindukan kalian. Menyedihkan, bukan?"

Feifei memeluknya cepat. Teman pertama Lynn yang sangat ia sayangi. Hari-harinya dikelas, keseruan canda dan tawa, juga ketika bergosip ria soal Zi Wei, Feifei adalah sahabat terbaik yang pernah ada. Gadis itu tersenyum hangat, melepas kaca matanya, mengusap air mata seraya tersenyum haru. "Aku tidak pernah menangis. Tapi entah kenapa, kau membuatku harus melakukannya."

Lynn mengusap pipi gadis itu sembari tersenyum. "Maaf. Feifei, jaga dirimu baik-baik ya. Bukalah hatimu untuk Xiao Song." Mendengar itu, sedetik kemudian Feifei kembali berwajah galak. Ia menatap Lynn sama seperti menatap Ban Xiao Song yang sebenarnya. Gadis itu hanya tertawa.

"Ah sudahlah Lynn. Kemarilah." Xiao Song membentangkan tangannya, lebar-lebar memaksa Lynn masuk dalam dekapannya yang tak kalah hangat. Xiao Song memeluknya erat sampai terpejam di pundaknya. Kemudian, ketika hendak melepas dekapan itu, tangan Lynn di tahan oleh Xiao Song.

"Sebenarnya, aku berjanji pada Lei Han untuk memberikanmu ini." Dari sebelah tangannya yang lain, Xiao Song mengeluarkan secarik amplop dari sakunya. Lynn memandang itu terpana sekaligus bingung, diikuti Feifei dan juga Luo Yi.

"Dia tidak akan datang. Tapi dia menitipkan ini padaku."

Lynn tidak tahu kalau ketika menerima amplop itu segudang emosi yang membeku langsung luluh di saat itu juga. Amplop putih kecil, dengan tulisan kanji Brandon Jun di ujung kertasnya, merejam jantung Lynn dengan sejuta emosi yang tak terbendung. Ia menatap Xiao Song seakan ingin meyakinkannya lagi.

"Buka di pesawat saja. Lebih baik begitu."

Ia mengangguk cepat seraya menggigit bibirnya, menatap jauh ke eskalator di belakang sana.

Brandon Jun tidak pernah mengatakan selamat tinggal padanya.

Lalu tanpa aba-aba, Luo Yi menariknya ke dalam dekapannya. Di dada Luo Yi, serpihan bayangan Brandon Jun seketika bermerbak, balutan rasa yang begitu ia nantikan ada, seketika lumpuh di makan waktu. Semuanya tinggal kenangan. Tanpa selamat tinggal, Lynn hanya mendapatkan sepucuk amplop. Luo Yi memeluk tubuhnya erat sekali, seakan ingin menahan semua rasa itu pergi ke tubuhnya saja.

"Lynn, berjanjilah padaku untuk jangan menyesal meski orang kau cintai tidak mencintaimu. Kau harus tahu, karena di saat itulah, cinta sejati yang sesungguhnya bisa kau rasakan dalam hati yang sebenarnya."

Lynn mengangguk, tak berani bersuara karena entah kenapa wangi tubuh Luo Yi begitu mencengkramnya dalam ketenangan yang mendalam hingga rasanya ia takut untuk melepaskan. Namun suara peringatan terakhir berbunyi. Dekapan itu harus berakhir di sana.

Perlahan-lahan Lynn mengangkat tangannya. Di jarak yang sudah tidak lagi dekat, ia melambai ke arah mereka. Roda kopernya sudah menjauh, dan ia berbalik menuju antrean.

Dan tanpa siapapun tahu, air mata menetes di saat ia mencengkram kuat-kuat amplop di tangannya.

Bahkan ia tidak tahu kalau berpisah akan sesakit ini rasanya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top