Kuntum 5 : 第五章


Pemadangan yang sangat...
Wow...

Waktu Brandon Jun keluar dari kelas beriringan dengan Lynn, ia agak terkejut waktu melihat hamparan gadis di depan parkiran mobil--bersorak-sorai--memanggil atau menyerukan nama Brandon dengan heboh.

"Fangirl," komentar Fei datar. Mereka sama-sama berbelok ke pintu keluar pejalan kaki di sisi kanan gedung, meninggalkan pemandangan itu walau Lynn rasanya masih ingin melihat Brandon Jun untuk yang terakhir kali sebelum masuk mobil.

"Mereka selalu gaduh begitu?" Lynn bertanya di sela perjalanan mereka menuju pintu gerbang.

Feifei akan pulang ke rumahnya yang ada di jalan Xitun. Tak jauh dari BFU, tinggal naik bus tingkat di depan halte, sepuluh menit pun sampai. Tadinya Fei ingin mengajak Lynn mampir ke rumahnya untuk membahas tugas yang diamanatkan oleh laoshi Zhao, dosen cinematography itu, tapi karena Lynn ingin merapikan kamar baru di gedung asramanya, ia menolak.

"Tidak. Entahlah, aku jarang menyadari kehebohan itu. Mungkin karena sudah sangat terbiasa dengan pemandangan Brandon Jun yang dikerubuti gadis."

Lynn manggut-manggut. Setelah mereka sampai di depan gerbang, Lynn dan Feifei berpisah. Feifei menyusuri trotoar menuju jalan raya besar menuju halte, sedangkan Lynn harus berjalan sekitar 5 menit ke gedung asrama yang ada di samping gedung BFU.

Beijing bukan kota yang buruk. Suasana perkotaannya walau tak jauh dari Jakarta--polusi--tapi karena sedang musim semi, udara tidak terasa terlalu berat. Setiap langkah ringannya, Lynn sangat menikmati desir angin sejuk itu menggelitik wajahnya. Mimpi apa ia bisa ada di sini sekarang...

Tiba-tiba dari jalan raya, terdengar suara klakson mobil yang menyeru, membuat Lynn tersontak kecil dan melihat ke jalan raya di sebelahnya. Jendela belakang sedan hitam yang melaju agak lambat itu terbuka, menampakkan wajah Brandon Jun yang dari dalam tersenyum lebar ke arahnya.

"Lynn! Sampai ketemu besok!" seru Brandon yang membuat ekspresi Lynn melongo sepersekian detik. Tangannya refleks terangkat, membalas lambaian Brandon. Tapi setelah itu, ia baru sadar kalau kakinya terhenti.

Brandon Jun ramah sekali. Ternyata seorang artis sepertinya tidak segan menyapa teman baru sepertiku, gumam Lynn setelah agak tersadar ia kembali melanjutkan langkahnya.

Menyusuri trotoar lebar di bahu jalan yang penuh pohon rindang dan sejuk itu, membuat Lynn merasa lupa waktu. Tiba-tiba saja kakinya sudah sampai di gerbang asrama mahasiswa putri yang besar itu.

Kemarin, setelah pindah dari apartemen milik kerabat Lynn selama masa pelatihan dua bulan sebelum proses pertukaran mahasiswa dilaksanakan, ia masih ditemani satu dosen pembimbing dari ISN. Mempelajari gaya hidup dan cara bersosialisasi masyarakat China. Bagaimana bereaksi pada kultur dan berbagai antisipasi pada musim-musim mendatang. Hanya enam bulan, itu artinya Lynn akan kena dua musim saja. Musim semi dan musim panas. Padahal, Lynn ingin sekali menikmati musim gugur dan melihat salju turun untuk kali pertama. Tapi, apa daya meminta lebih ketika dia merasa begini saja sudah cukup?

Jadi ketika dosen pembimbingnya benar-benar melepas kepergian dan menyerahkannya pada Kedutaan Indonesia yang ada Beijing serta para dosen pembimbing di BFU, ia sudah siap berdiri sendiri dan melaksanakan kehidupan yang sebenarnya mulai hari ini.

Banyak sekali persiapan yang dilakukan Lynn, tapi itu tidak melelahkannya menghadapi masa-masa 6 bulan ke depan. Justru ia sangat siap menghadapi masa depan. Terlebih, ia sangat didukung oleh banyak pihak. Lynn merasa sangat-sangat beruntung untuk mengalami hal ini.

Memasuki kawasan gedung asrama putri yang tak kalah luas dari gedung utama BFU, Lynn berjalan menyebrangi taman kecil di tengah gedung, mengarah ke gedung B. Menyusuri koridor dan naik lift ke lantai empat.

Asrama putri di sini khusus mahasiswa BFU. Walau BFU banyak penduduk lokal, tapi tetap saja, ini Beijing. Banyak sekali mahasiswa rantau dari kota-kota kecil yang mengais ilmu ke kota pusatnya Universitas terbesar di China ini. Beijing terkenal karena kulturnya yang masih melekat dan pendidikannya yang sangat bagus, membuat kota besar ini jadi sangat akrab dengan berbagai Universitas bergengsi.

Lynn membuka pintu kamar asramanya, melepaskan ransel dan mengganti pakaian sebentar. Kamar seukuran 6x6 meter itu lumayan luas dan nyaman. Di Beijing, kamar asrama tidak punya kunci. Jadi masing-masing mahasiswa cuma punya kunci lemari pakaian. Alasannya tidak pakai kunci kamar adalah supaya setiap dosen penjaga atau pemeriksa keamanan bisa melakukan sidak tiap minggunya. Lynn sempat bingung ketika ia tidak diberi kunci kamar, tapi kemudian ia baru sadar, di Beijing, semuanya sangat aman. Tidak seperti di kotanya sendiri yang rawan kriminalitas. Walau begitu, Lynn tetap selalu waspada, untum berjaga-jaga.

Setelah mengganti pakaian, ia membereskan baju-bajunya dari koper lalu dimasukkan ke dalam lemari. Menyusun segala perlengkapan kampusnya di meja belajae yang menyudut dan membersihkan ruangan itu sekali lagi sebelum keluar.

Lynn harus beli makan malam. Ia belum tahu akan makan di mana, maka ia memutuskan pergi ke pasar malam Weihu yang berjarak 200 meter dari asrama, dan menghabiskan waktu untuk memilih makanan sesuai selera.

Meninggalkan gedung asrama, Lynn menaiki sepeda pinjaman dari asrama, lalu membelah keramaian kota menuju pasar malam Weihu.

Walau jalanan agak padat karena tepat bubaran orang kerja, Lynn mengayuh sepedanya kuat-kuat, menyalip di antara kemacetan dengan andal sambil mengikuti gps yang menunjukkan arah tujuan.

Pasar Weihu ternyata sangat dekat. Lynn memakirkan sepedanya dekat kafe kopi kecil di pinggir jalan, di trotoar lebar yang ramai hilir mudik penduduk lokal.

Matahari menyusup dari balik helai daun pepohonan, mengiringi langkah ringan Lynn yang mulai membelah keramaian pasar itu.

Seperti pasar pada umumnya, di Weihu, pasar ini sangat bersih dan rapi. Para pedagang memiliki kios di masing-masing tempatnya sendiri, sehingga tidak membangun kios sendiri dan menghalangi jalan. Walau tidak begitu ramai, tapi entah bagaimana rasa tradisional masyarakat China di sini sangat kental.

Lynn berjalan agak ke dalam, ke bagian pedagang makanan dan sayur jadi berlabuh. Di kanan kiri penuh jajanan makanan seperi mie ayam, lobak sayur, mantau dan bakpau, trotter babi, dan berbagai jenis makanan asing yang Lynn tidak pernay cicipi semasa hidup di Indonesia. Walau ayah dan ibunya keturunan China, tapi bukan artinya Lynn akrab dengan berbagai kulturisasi di sini. Justru, karena Indonesia, ia sangat bersyukur bisa ada di kalangan manusia yang menghargai perbedaan sebesar itu. Dan ia, mencintai negaranya sendiri.

Melipir ke kios sepi yang menjual bahan makanan kering seperti mie mentah, baso olahan mentah, daging babi mentah yang bisa instan langsung di rebus, Lynn kepikiran untuk masak sayur bamoy. Sup tahu dengan minyak babi yang sangat enak jika di tambah ebi khas Indonesia. Sayangnya kelengkapan bumbu dapur itu harus di ganti alternatif lain yang lebih kuat rasanya. Seperti...

"Ada tambahan apa lagi?" tanya si penjual menunggu Lynn yang memikirkan bahan pengganti ebi.

"Hmm, apa kau punya semacam ebi kering?" tanya Lynn ragu. Si penjual mengerutkan alis, tapi kemudian seseorang menyeletuk dari sebelahnya.

"Maksudnya dia, bahan penguat seperti tongcai, bos."

Lynn menoleh cepat ke arah sebelahnya, lalu seorang pemuda tinggi memakai hoodie hitam berdiri sambil memilah beberapa bumbu dapur.

"Hai, Lynn." Pemuda itu menoleh, melemparkan senyum ke arah Lynn yang masih bingung. Ia merasa asing sekaligus akrab.

"Maaf, kau..?"

Pemuda itu menoleh agak terkejut. "Kau lupa? Aku Luo Yi, yang tadi menyapamu waktu kau menjatuhkan buku di depan lokermu."

Lynn kembali mengingat kejadian yang dimaksud.

"Oh, astaga. Luo Yi!" Lynn tertawa malu, "maaf. Aku.. memang agak pelupa. Aku punya penyakit itu soalnya." Lynn tersenyum kecut, menggaruk pelipisnya merasa tidak sopan kepada pemuda itu.

Luo Yi terlihat agak kaget. "Penyakit lupa?"

Lynn mengangguk, mengambil kantung plastik yang disodorkan penjual bahan makanan kering itu sambil mengucapkan terima kasih.

"Iya, semacam itu. Seperti kelainan kecil."

"Oh." Luo Yi menyerahkan 5 Yuan ke arah penjual lalu keluar pasar berdampingan dengan Lynn.

"Jadi, bagaimana hari pertama di kampus? Oh, maafkan Zi Wei ya. Dia memang selalu sinis begitu," ujar Luo Yi. Pemuda bermata seperti senyuman itu berjalan beriringan, membelah keramaian pasar. Semakin sore, biasanya pasar jadi lebih penuh. Biasanya, restoran besar yang ramai akan membeli bahan di sini lagi untuk persiapan besar malam nanti.

"Tak masalah. Wajar saja. Kita masih belum berkenalan saja jadi dia agak sensitif," ungkap Lynn jujur. Pemuda pribumi asli China itu berbalik tersenyum. Walau Luo Yi tidak begitu hits dengan Brandon Jun, tapi orang-orang harus tahu kalau wajah dia justru wajah yang sangat cocok untuk dijadikan protagonis. Memiliki kantung mata jika tertawa, senyum manis, semanis buah Yangmi, rambut yang agak kecokelatan dan bibir tipis terpadu dengan tinggi hidungnya. Kalau sekilas, Luo Yi mirip aktor yang main di drama China baru-baru ini. Suaranya tak kalah lembut dengan parasnya, kalau Luo Yi bernyanyi, pasti suara itu bisa menggetarkan seluruh wanita tak kalah dengan Brandon Jun.

Tunggu, kenapa sedari tadi dia selalu membandingkan Luo Yi dengan Brandon Jun?

"Kau tinggal di mana?" tanya Luo Yi ketika sampai di luar pasar, berdiri sejenak di pinggir trotoar yang lebar.

Lynn melihat ke arah sepedanya sekilas. "Di asrama putri. Aku keluar sebentar untuk membeli makan malam. Kau?"

Luo Yi tersenyum. "Aku juga di asrama. Rumahku ada di Shanghai, jadi orangtuaku menitipkanku di asrama saja."

"Oh, begitu." Lynn mengangguk-angguk sambil tersenyum lebar. Keduanya terdiam sejenak, sama-sama bingung ingin mencairkan suasana.

Kalau dilihat, Luo Yi bukan tipe orang yang heboh dan berisik seperti Ban Xiao Song atau Brandon Jun. Luo Yi sangat lemah lembut dan ramah. Seperti pria dewasa pada umumnya. Dengar-dengar dari Feifei juga, Luo Yi anak yang cerdas. Selalu tepat waktu mengumpulkan tugas.

"Hm, kau kembali ke asrama naik apa?" tanya Lynn memecah hening.

Luo Yi kembali mengangkat senyum. "Aku jalan kaki. Kebetulan tadi habis dari toko buku terdekat, jadi sekalian saja aku ke pasar. Kau sendiri? Kau kan anak baru, berani sekali jalan-jalan sekitar kampus sendiri tanpa guru pembimbing," komentar Luo Yi mengundang Lynn sedikit tertawa.

"Sebetulnya, aku hanya memberanikan diri. Masalah bahasa aku sudah lumayan jadi tidak begitu menghambat. Oh ya, kalau begitu, bagaimana kalau kutumpangi sepeda?" Lynn menawarkan sepedanya yang terparkir di sebelah kafe ramai itu. Luo Yi melongok, berpikir beberapa saat sambil menatap Lynn ragu.

"Kau membocengiku?"

Lynn mengangguk bersemangat. "Kenapa tidak?"

Luo Yi melepas tawa kecilnya. "Kau ini lucu sekali. Aku berat lho. Bagaimana kalau kau saja yang kubonceng?"

Lynn tertawa sambil bicara. "Terserah kau. Yang penting sepeda itu kuat menampung kita berdua."

Kemudian keduanya tertawa lalu melepas jejak kembali menuju kampus yang sudah menjadi sore.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top