Lembar-lembar Bisu

Sudah lebih dari sejam Mesha menatap lembar kosong buku catatan mungilnya di atas meja. Hening yang dia harapkan tak kunjung datang. Jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas lebih seperempat. Hari sudah hampir berganti tanggal. Namun, riuh di luar kamarnya tak juga reda. Percakapan dua insan di sana lebih mirip adu debat plus atraksi piring terbang. Sungguh, sesuatu yang tak ingin Mesha dengar, tetapi tak pernah bisa dia melarikan diri. Suasana yang terlalu akrab beberapa waktu belakangan ini dengannya. Telinga Mesha bahkan sudah terbiasa mendengar segala caci dan amarah mereka yang selalu berkata, "Jangan ikut campur urusan orang tua", saat Mesha mencoba menengahi.

Namun, malam ini, pendengaran Mesha gerah ketika mendengar kata pisah, cerai, pergi dan sebagainya yang menyakitkan hati dari luar. Orang tua macam apa yang berbicara perpisahan tanpa peduli perasaan anak semata wayangnya?

Mesha mendengkus sembari menutup telinganya. Seandainya dia punya kakak atau adik, mungkin malam ini mereka akan saling berpelukan dan saling menguatkan meski air mata deras mengalir. Namun, sayang, Mesha hanya sendiri. Selalu sendiri. Tak pernah ada yang menemaninya menangis, menghapus air mata, atau mengajaknya bercanda untuk melupakan kesedihan.

Sahabat-sahabatnya?
Mesha tersenyum miris. Tak ada satu pun dari mereka tahu apa yang terjadi sebenarnya di kehidupan Mesha setelah gadis itu keluar dari gerbang sekolah. Yang mereka tahu, Mesha adalah anak tunggal paling beruntung yang memiliki orang tua kaya. Mau ini itu tinggal tunjuk. Meski begitu, Mesha disukai banyak orang karena gadis itu tak pernah sombong. Terlebih, Mesha sangat royal. Siapa pun yang menjadi teman sekelasnya, akan tumbuh makmur sehat sentosa. Tak perlu khawatir kekurangan gizi. Sebab Mesha kerap membawa makanan enak atau mentraktir semuanya di kantin. Tak jarang pula, pulang sekolah masih sempat mengajak seisi kelas makan di resto atau mana saja yang menjadi tempat tujuan utama hasil poling teman-temannya. Setidaknya itu beberapa waktu lalu. Sebelum Mesha larut dalam dunia khayalnya, menulis.

Ya, sejak kedua orang tuanya terang-terangan bergelut, Mesha memilih dunianya sendiri. Makin tenggelam dalam kesepian, tetapi riuh di pikiran. Akan tetapi, Mesha tak ingin otaknya dipenuhi pikiran tentang persoalan orang dewasa yang rumit. Mesha hanya mengizinkan otaknya bekerja untuk menulis dan menulis. Apa saja, selain kesedihan.

Detik jam berdetak menuju pergantian hari. Di luar telah senyap. Tampaknya dua insan itu telah kelelahan dan memilih lelap di ruang masing-masing. Mesha menduganya, karena tak lagi terdengar suara adu mulut. Mesha juga yakin, wanita yang dia panggil mama sudah menarik selimut. Ya, menarik selimut. Tanpa air mata. Sungguh sikap ibunya menurun pada Mesha. Mungkin karena sejak dini, Mesha pun dididik untuk selalu menyungging senyum, apa pun yang terjadi. Gadis itu rasanya belum pernah menangis untuk hal-hal menyedihkan sekali pun, kecuali saat dia masih batita.

Jarum jam sudah melewati pukul dua belas. Malam makin lesap. Mesha menarik napas panjang, mengangkat kedua tangan dan menautkannya di atas kepala. Setelah melakukan peregangan ringan, dia pun mengambil pulpen kesayangannya dan mulai menulis di lembar yang sedari tadi mungkin saja berteriak untuk diisi.

Malam memang selalu rapat menyimpan rahasia dalam gelapnya.
Namun, kali ini ia tak lagi bisa menahan.
Kelamnya pecah.
Aku menunggu.
Hanya bisa menunggu.

Mesha membaca kembali kata-kata yang ditulisnya. Dia menggeleng. Tidak, ini tak boleh.

"Tuliskanlah hal yang baik-baik saja. Sama seperti ucapan, apa yang kamu tulis akan jadi kenyataan. Janganlah kamu menuliskan kesedihan. Jika ya, jangan heran kalau hidupmu dirundung duka terus menerus."

Mesha mengingat cuap Bumi di twitter beberapa waktu lalu. Gadis itu memang mengagumi penulis yang satu itu. Tulisan-tulisan Bumi menjadi penyemangat hidupnya. Seperti ada kobaran api yang menghangatkan. Bagi Mesha, kata-kata yang terlahir dari jemari Bumi adalah candu.

Kembali dibaca tulisannya. Lagi-lagi Mesha menggeleng. Tidak, tidak. Ini bukan tulisan kesedihan. Ini hanyalah reaksi kecil dari kejadian tadi. Bukankah ini baik buatku? Menunggu takdir.

Ya, paling tidak pernyataan itu yang selalu membuatnya seperti melihat cahaya terang di depan sana. Jika takdir kebersamaan kedua orang tuanya berakhir, itu berarti juga takdir kebebasannya sudah di depan mata. Mesha selalu dalam keadaan bimbang ketika memikirkan itu. Haruskah dia menangis sedih karena perpisahan, ataukah tertawa bahagia bisa lepas dari kepura-puraan. Pura-pura menjadi seorang anak yang bahagia dalam sangkar emas.

Mesha kembali menuliskan sesuatu.

Malam memang selalu punya kisah untuk diceritakan pada Pagi.
Kali ini, kisahnya tentang seorang gadis yang bersiap keluar dari cangkangnya.
Semoga Pagi, menerimanya dengan tangan terbuka.
Semoga Pagi, punya cerita yang berbeda untuk sang gadis, agar dia bisa bercerita pada Malam, saat kembali pulang.

Mesha tersenyum. Sepertinya dia mengerti kenapa Bumi mengingatkan jangan menulis hal-hal yang mengandung kesedihan. Sebab tak ada harapan dalam tulisan sedih. Kata-kata yang baru saja dia tuang, terbaca harapan besar. Mesha sangat percaya, apa pun yang terjadi malam ini, tidak akan mengubah kebahagiaan yang dia pupuk untuk masa depannya.

Mesha menutup buku catatan istimewanya dan bangkit dari kursi menuju ranjang. Dengan perasaan tenang dan santai, Mesha merebahkan diri. Gadis itu belum mengantuk. Diambilnya ponsel di sebelah bantal dan membukanya. Jemari Mesha mengulir beranda IG. Sebuah postingan dari orang yang selama ini tidak pernah memunculkan foto asli di picture profile-nya itu menarik perhatian Mesha.

Rasanya masih sama
Perasaan ini masih sama seperti belasan tahun lalu.
Anak kecil itu telah bermetamorfosis menjadi kupu-kupu yang cantik.
Degup masa kecilku, tumbuh lagi di masa sekarang.

Kamu percaya pada yang namanya kesempatan?
Kali ini, Tuhan benar-benar menepati janji-Nya setelah sekian tahun berlalu.
Kesempatan itu datang lagi.
Sungguh, cinta yang didengung-dengungkan sejak dulu, benar-benar disediakan tepat di depan mata.

Buatmu, yang meragukan cinta itu ada,
buanglah keraguanmu.
Percayalah, bila belum saat ini,
suatu hari nanti, Tuhan akan memberikannya
tepat di hadapanmu.

Jangan berhenti berharap.
B.A

Sebuah caption panjang dari foto kupu-kupu biru yang indah. Mesha merasakan perasaan turut senang, tetapi kali ini ada yang berbeda. Mengapa ada terselip rasa yang aneh. Perasaan lain. Biasanya dia akan benar-benar merasa "gue banget" saat membaca tulisan-tulisan Bumi. Namun, kali ini, seperti ...

"Betapa beruntungnya, gadis yang telah menjadi kupu-kupu itu." Mesha pun bersuara kecil.

Tersadar dengan ucapannya barusan, Mesha membuang ponselnya ke samping.

"Apa-apaan ini?" Mesha merasakan pipinya memanas.
"Aisssh."

Mesha menggerutu. Ditariknya selimut dan dia menutupi kepalanya dengan bantal. Akan tetapi, tentu saja, semua itu tak membuat pipi panasnya dingin.

See, Malam memang selalu punya kisah untuk diceritakan pada Pagi. Mesha tak sadar, setelah ini dia akan makin terjebak pada kisah yang panjang.

Sementara itu,

Bumi melangitkan doa-doa setelah beberapa menit yang lalu, dia melihat akun gadis kecilnya online dari notifikasi Meshania menyukai postingan Anda.

Bumi tahu, kali ini malaikat-malaikat akan menjaga cintanya. Cinta pada gadis tujuh belas tahun. Cinta pertamanya sejak kecil.

Meshania Ayudia

Bersambung ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top