Takdir 8
“Yakin ini akan berhasil?” tanya Kiki esok paginya.
“Sangat yakin. Kalaupun tidak, aku masih punya rencana lain,” jawabku.
Kami beranjak keluar kamar dan mulai melangkah santai seperti biasanya, seolah-olah kami akan berangkat bekerja. Aku melihat para pria yang sedang berjaga di ujung pintu. Rupanya nasib kami sedang mujur. Mereka sedang dalam kondisi mabuk. Aku memegang erat tangan Kiki yang gemetar sedari tadi, menuntunnya berjalan keluar. Berhasil, kedua pria itu tidak mempermasalahkan kami berdua.
“Hei, kau,” panggil salah satu pria itu tiba-tiba--masih dalam kondisi mabuk.
Deg. Jantungku berdetak kencang. Aku merasa sedikit khawatir, jangan-jangan mereka bisa membaca gerak-gerik kami?
“Umm... iya, tuan?” Jawabku akhirnya.
“Kau... mau... kemana?”
“Mengamen, seperti biasa, tuan,” jawab Kiki.
“Hati-hati, nak. Jangan lupa ini,” ujarnya sambil memberi isyarat dengan tangannya. Sudah kuduga, apa yang diinginkan mereka tak lain dan tak bukan adalah uang kami.
Kami berjalan santai hingga ke ujung gang. Aku dan Kiki lantas melihat sekeliling, mencari kendaraan yang pantas untuk kami tumpangi. Namun, kami tak menemukan apapun disana. Kami memutuskan untuk terus melangkah tanpa henti sambil mencari tumpangan. Berlari melintasi deretan gedung-gedung tinggi, bersembunyi di balik tong sampah agar tidak diciduk oknum polisi, makan makanan sisa restoran, semuanya kami lakukan demi bisa bebas dari penjara terkutuk itu. Lebih baik kami berpanas-panasan di sini ketimbang merasakan nyamannya kasur di dalam naungan berandalan itu.
Akhirnya kami mendapati sebuah truk besar berhenti di depan pasar. Tanpa berpikir panjang, kami langsung naik ke bak truk dan menyembunyikan diri di balik karung-karung beras. Aku sadar ada beberapa orang yang melihat kami naik ke atas sini, tapi sepertinya mereka tak peduli. Mereka sibuk dengan para pembeli yang berebutan menawar harga barang jualan mereka. Aku melihat Kiki menggenggam tangannya erat-erat, memanjatkan doa agar si pemilik truk ini tidak memergoki kami disini.
Aku mendengar langkah kaki di sekitar kami--di bak truk. Kami menahan nafas, berusaha menjadi patung selama beberapa menit agar kami tidak dicurigai.
“Bang, tidak ada yang diturunkan lagi? Beras mungkin?” seseorang di dekat kami berteriak.
“Tidak, tidak ada! Sudah, mari turun dan lanjutkan antar ke tempat lain,” jawab seseorang dari arah bawah. Orang di atas bak truk itu akhirnya turun dan menutup pintu baknya. Aku menghela nafas lega karena akhirnya, orang itu tidak menjumpai kami disini.
Truk itu mulai berjalan menyusuri jalan raya. Aku dan Kiki memilih untuk tetap duduk disana, walau kami sama-sama tahu bahwa kami ingin melihat pemandangan jalanan dari atas truk. Kami tidak ingin mengambil risiko dengan membuat suara berisik dari atas sini, lalu dicurigai oleh si pemilik truk.
Baru beberapa saat melaju, truk itu tiba-tiba berhenti di tengah jalan. Aku mengelus kepalaku yang sakit karena terbentuk dinding bak truk. Aku mengumpat dalam hati karena ulah sopir yang seenaknya.
Kudengar seseorang berteriak dari bawah. “Kau mau apa? Merampok kami, hah?”
“Tidak, bung, dengarkan dulu. Aku tidak punya niat buruk kepada kalian,” jawab yang lain. “Aku hanya ingin mengecek apakah ada anak kecil yang menumpang di trukmu atau tidak.”
Kami tertegun, lalu saling berpandangan. Ekspresi wajah Kiki yang kulihat saat itu menandakan bahwa ia sedang bertanya sesuatu padaku. Aku memutar otakku untuk memberi jawaban yang pas untuknya. Mataku memandang sekeliling, melihat sesuatu yang sekiranya bisa dimanfaatkan untuk kondisi saat ini.
Aku mencoba menggoyangkan karung di sebelahku. Rupanya tidak terlalu berat isinya. Seketika, aku mendapat ide brilian. Aku mengayunkan tanganku pada Kiki agar menghampiriku.
“Lihat ini,” tukasku. “Kita bisa bersembunyi dari mereka dengan karung-karung ini. Aku sudah mengecek beberapa karung di sekitar sini, dan sepertinya itu tidak terlalu berat.”
“Terserahlah,” ujarnya perlahan. “Yang penting kita bisa sembunyi dari para penculik itu dulu.”
Kami mulai menyiapkan celah untuk bersembunyi. Dengan karung-karung itu, kami menatanya dengan posisi tidur seperti sebuah dinding pembatas setinggi tumpukan karung yang lain. Maksudku disini adalah agar karung-karung itu tidak tampak seperti sengaja dibuat sebagai dinding pembatas. Setelahnya, masing-masing dari kami menggunakan dua buah karung yang ringan untuk diletakkan diatas punggung kami. Persis seperti kerbau yang memikul karung berisi rumput di punggungnya.
“Jangan banyak bergerak, Ki. Aku tahu ini mungkin berat bagimu, tapi mau bagaimana,” kataku perlahan
“Sudahlah, aku tidak masalah dengan kondisi seperti ini,” jawabnya cuek.
Kami masih mendengar keributan dari bawah sana. Sepertinya mereka masih belum selesai berkelahi. Kami memasang telinga kami kuat-kuat, agar kami bisa siap siaga saat mereka akan naik dan menginspeksi bak truk ini.
“Kau masih tidak percaya juga, ya? Kami pasti tahu kalau memang ada anak yang naik kesini! Kau kira aku buta, hah?”
“Bagaimana kami bisa percaya jika kalian melarang kami untuk mengeceknya? Biarkan kami naik, dan semuanya akan usai.”
“Dasar keras kepala. Sudah, naik saja kalau begitu! Kau bisa menghajarku jika omonganku tidak terbukti.”
Kami menahan nafas, bersiap untuk menghadapi maut di hadapan kami. Pilihan takdir saat ini hanya ada dua: berhasil sembunyi dan melanjutkan rencana kami, atau diciduk oleh orang-orang itu lagi. Tidak ada pilihan untuk kabur dari sini, karena aku memang tidak menyiapkan rencana untuk itu. Kulihat Kiki memejamkan matanya, antara menahan beban di punggungnya atau sedang berdoa.
Pintu bak mulai dibuka. Satu persatu suara langkah kaki mulai kudengar. Sepertinya mereka sudah mulai mengecek kondisi disini. Aku tak yakin berapa orang yang ada disini, yang jelas ada lebih dari satu.
“Iya benar, bos, tidak ada disini. Mereka tak mungkin sampai ke belakang sana. Baknya penuh dengan karung, dan hampir tidak ada celah untuk bersembunyi,” kata salah seorang disana.
“Benar juga. Baiklah, ayo turun!”
Hanya begitu? Dasar bodoh. Dari luar saja terlihat mengerikan, padahal sebenarnya dungu. Menurutku mereka tak pantas disebut sebagai ‘penculik’. Aku tak pernah tahu ada penculik sebodoh mereka, termasuk si ketua gengnya. Walau begitu, kami bersyukur karena meskipun sedikit menyakitkan, tapi berhasil juga.
Truk itu mulai melaju lagi. Aku menurunkan karung di punggungku dan punggung Kiki. Sepertinya dia lega sekali. Aku memandang langit siang itu. Begitu terik. Rasa haus dan lapar mulai menggerogoti tubuhku. Namun apa boleh buat, tidak ada yang bisa dilakukan untuk menguranginya. Sementara itu, Kiki memilih untuk mengacak-acak isi karung yang ada di dekatnya, lalu memainkannya. Aku menggelengkan kepala sambil bergumam, “Dasar anak kecil, apa saja pasti dibuat mainan.”
To be continued...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top