Takdir 6
Detik berganti menit, menit berganti jam, dan jam berganti hari. Aku tidak tahu sudah berapa lama aku menjalani kehidupanku disini. Selama beberapa hari, aku dan Kiki mengamen di beberapa tempat. Terkadang hanya berdua, terkadang bergabung bersama beberapa pengamen kecil lainnya. Aku berusaha menahan emosiku selama berada di sini. Aku mencoba untuk membiasakan diri dengan takdir ini.
Siang ini, aku mengamen di sebuah pertigaan—sekitar 3 kilometer dari tempat tinggalku—bersama Kiki dan beberapa anak. Beberapa anak menjajakan barang, makanan dan minuman, lalu sisanya adalah pengamen seperti aku. Kami berpencar ke berbagai titik. Aku, Kiki, dan beberapa penjual koran mendapat bagian di ujung pertigaan.
Lampu lalu lintas masih menunjukkan lampu hijau. Kiki duduk di trotoar sambil menggenggam kantung berisi uang. Tangan satunya mengipasi lehernya dengan selembar koran karena kepanasan. Sedangkan aku asyik mengobrol dengan anak-anak penjual koran.
“Kau sudah berapa lama menjadi pengamen?” tanya salah satu dari mereka.
“Entahlah, aku tidak tahu. Seingatku sudah agak lama,” jawabku.
“Begitu, ya, sepertinya kau masih baru disini,” ujar yang lainnya. “Soalnya, aku tidak pernah melihatmu sebelumnya. Kau datang ke kota ini dengan adikmu, ya?”
“Adik? Adik yang mana? Aku datang kemari sendirian.” Aku bingung. Seingatku aku tidak pernah mengatakan bahwa aku punya adik.
“Lalu, yang disana itu siapa?” Ujarnya sambil menunjuk ke arah Kiki.
“Dia bukan adikku. Dia teman sekamarku di penampungan.”
Mereka tertawa. “Oh, bukan, ya? Maaf kalau begitu. Habisnya, wajah kalian sangat mirip.”
Mirip? Mirip darimananya? Apakah mereka berhalusinasi karena lelah dijemur sinar matahari? Atau pusing karena keracunan makanan? Mereka pasti salah lihat.
Seketika, tanganku ditarik sampai aku berdiri tepat di sebelah Kiki. Para penjual koran cilik itu memandangi kami berdua dengan teliti.
“Tuh, ‘kan, mirip! Aku bilang juga apa,” ujar yang lain.
“Iya, benar, mirip. Kalian kembar, ya?” sahut yang lain.
Aku dan Kiki saling berpandangan. Kami sama-sama heran mendengar perkataan mereka.
“Begini saja kalau kalian tidak percaya. Sebutkan tanggal lahir kalian!”
“14 Mei 2009,” jawabku. Aku terperanjat, karena rupanya Kiki juga menyebutkan tanggal lahir yang sama denganku. Aku berpikir ulang, akankah dia saudara kembarku? Tapi, mengapa ayahku tidak memberitahuku soal ini? Atau jangan-jangan, kami terpisah saat bayi?
Kami berdua masih terdiam, sibuk mencerna kenyataan yang ada. Terlebih, fakta ini diperkuat dengan pantulan bayangan kami di salah satu mobil yang parkir disana. Aku mengakui, wajah kami memang mirip. Aku mencubit pipiku berulang kali, berharap aku salah lihat. Namun, sebanyak apapun aku mencubit, bayangan di mobil itu tidak berubah.
Ya, aku dan Kiki memang mirip, bukan, sama. Sama dalam hal wajah, serta sama-sama terpenjara dalam takdir sebagai pengamen jalanan.
To be continued...
Ya Allah lupa update :")
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top