Takdir 3

Pagi itu, aku sudah bersiap menggembalakan kambing seperti biasanya saat ayah berteriak memanggilku.

“Ka, hari ini kau tidak usah menggembalakan kambing.”

“Memangnya kenapa?” tanyaku kebingungan.

“Kemasi barang-barangmu sekarang. Nanti siang ada yang menjemputmu.”

“Tapi...”

“Sudahlah, jangan banyak tanya,” ujarnya dengan nada tinggi. “Setelah itu, ayah akan menceritakan sesuatu padamu. Urusan kambing, itu gampang.”

Aku tak mampu membantah perkataannya lagi. Kuurungkan niatku untuk membuka kandang itu dan kembali ke kamar, mengemasi barang-barang yang sekiranya kuperlukan. Sembari mengemasi barang, aku bertanya-tanya,

akankah dengan kepergianku pertanyaanku ini akan terjawab?

Aku ragu, tapi aku mencurigai sesuatu. Ada sesuatu yang tidak beres disini.

Aku keluar kamar dengan menjinjing satu koper kecil dan tas punggung di bahuku, lalu duduk di samping ayah. Aku menatap wajahnya, ia tampak sedikit sedih.

“Ka, dengarkan ayah,” ujarnya memulai pembicaraan, “sebenarnya, aku bukanlah ayahmu.”

Aku terkejut mendengar kenyataan ini. Jadi, sosok di sampingku ini bukan ayahku? Lalu, siapa ayahku, dan siapa sebenarnya sosok di sampingku ini?

Dia menghela nafas, lalu melanjutkan ceritanya. Matanya menerawang jauh, mengingat kisah masa lalu yang tersembunyi dariku.

Flashback
“Oek... oek... oek...”

“Ya Tuhan, suara bayi siapa itu? Sepertinya dari arah bawah pohon sana.”

Lelaki itu berlari menerobos hujan malam itu, mencari sumber suara tangisan bayi. Setelah beberapa saat, akhirnya ia menemukannya, dari kardus yang ada di bawah pohon mangga. Ia mengangkat bayi di dalamnya perlahan, mendapati bayi laki-laki itu sudah sedikit membiru. Ia membungkus bayi itu dengan beberapa lembar kain yang ia dapat dari kardus tadi.

“Ya Tuhan, siapa yang tega membuang bayi lucu ini?” Ujar lelaki itu sambil melangkah perlahan. Ia memutuskan untuk membawanya pulang ke rumah dan membesarkannya sendirian. Ia tahu ia bisa jadi tak mampu, tapi ia tak rela membiarkan bayi itu disana.

Dia menjumpai secarik kertas di genggaman bayi mungil itu. Berharap ia menjumpai sebuah alamat disana, tetapi rupanya kertas itu bertuliskan kata ‘Kaka’.

“Oh, jadi namamu Kaka?. Kaka. Benar, nama yang bagus, bukan?”

Dia membenahi kain yang membungkus bayi itu, lalu membawanya pulang. Sesekali ia mengayun-ayunkan tangannya agar bayi itu tidak menangis. Akhirnya, bayi itu sudah berhenti menangis. Ia tertidur pulas dalam gendongan laki-laki itu.

“Dan satu lagi,” lanjutnya, “semalam, aku didatangi seorang pria.”

Inilah kesempatanku untuk mengetahui teka-teki tersembunyi dari obrolan semalam. Aku membenarkan posisi dudukku, berusaha antusias memahami ucapannya.

“Kau jangan buruk sangka dulu. Dia berkata bahwa ia akan mempertemukanmu dengan orang tua kandungmu. Yah, jujur saja aku tak rela melepaskanmu, tapi ini demi masa depanmu. Aku yakin dia akan membantumu. Ah, orang itu baik sekali...”

Ternyata, bukan kambing, televisi, atau radio yang akan dibawa pergi, melainkan aku.

Ya Tuhan, ayahku polos sekali. Aku tak habis pikir mengapa ia mau menerima begitu saja tawaran pria semalam. Aku tak yakin pria itu benar-benar ingin membantu ayah—maksudku laki-laki di sampingku. Ucapannya tak membuatku menghilangkan kecurigaan pada pria itu. Aku berusaha pura-pura bahagia agar tidak menyakiti hatinya.

“Lalu, apakah aku bisa bertemu ayah lagi?”

“Aku tidak yakin, namun aku harap aku bisa.”

Dia bangkit dari duduknya dan menuju ke kandang kambing. Aku melihat punggungnya dari kejauhan. Ingatanku tentang bagaimana dia membesarkanku satu demi satu melintas di pikiranku, membuat rangkaian potongan kisah menjadi satu film dokumenter. Di satu sisi aku agak senang saat tahu aku akan berjumpa kedua orang tuaku, namun di sisi lain aku tak bisa membiarkan pria itu tinggal sendirian di gubuk tua nan renta ini.

Tak lama, seorang laki-laki muncul di hadapan rumah. Di belakangnya tampak sebuah mobil sedan putih terparkir tepat di halaman rumahku. Ia mulai memberi salam. Buru-buru aku menghampirinya dan menanyainya.

“Maaf, bapak cari siapa?”

“Mencari ayahmu. Apa ia ada di rumah?”

“Ada. Sebentar, silahkan masuk dulu.”

Belum sempat aku memanggil pria yang dimaksud oleh si tamu, ia sudah muncul dari belakangku terlebih dahulu sambil mengusap tangannya di kaus oblong yang ia pakai.

“Oh, jadi ini anak laki-laki yang kau maksud itu,” ujar tamu itu kepada pria itu.

“Iya, benar. Sekali lagi terimakasih atas bantuannya,” jawab pria itu dengan senyuman. Aku tahu, itu senyum palsu. Ia memaksakan senyumannya kepada pria itu.

Tiba-tiba tamu laki-laki itu menyapaku. “Hai, nak, apa kabar?”

“Um... baik,” jawabku perlahan. Aku malas menjawab basa-basinya. Aku melihat penampilan laki-laki itu. Ia berkulit hitam, berambut tebal, berkumis tebal, berkacamata hitam, serta memakai jaket parasut berwarna hijau tentara. Dahiku mengerut. Aku masih berusaha menilai orang ini dari penampilannya, dan kesimpulanku adalah: aku masih mencurigainya.

“Mari, nak, kita pergi sekarang,” ujarnya sambil mengangkat barang bawaanku.

Telah tiba waktunya bagiku untuk pergi. Aku berlari memeluk sosok pria yang sudah merawatku selama ini, sejak aku terlantar di malam itu. Aku sedih, namun aku tak mampu menangis.

“Ayah, jangan lupakan aku, ya. Terima kasih sudah merawatku selama ini.”

Ia membalas pelukanku dan mengelus kepalaku. “Iya, sama-sama. Sudah, sana pergi. Hati-hati di sana, semoga lekas berjumpa. Jangan merepotkan orang tuamu, ya. Tetap jadi anak baik.”

Aku melepas pelukan dari tubuh ayahku dan melangkah mengikuti laki-laki itu menuju mobil. Sesekali aku menoleh ke belakang, melihat pria itu untuk yang terakhir kalinya—semoga saja tidak. Lambaian tangannya mengiringi mobil yang beranjak dari rumah gubuk itu.

To be continued...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top