Takdir 12

Pagi itu, aku mendapat giliran piket menyapu, bersama ketiga anak lain. Maklum, panti asuhan yang kami tinggali sangat luas, jadi butuh banyak orang untuk membersihkan semuanya. Aku mendapat bagian menyapu di ruang tamu, berbarengan dengan Kiki yang sedang mengelap jendela disana.

Selang beberapa waktu, ada sepasang suami istri yang mengunjungi panti asuhan. Mereka tampak sangat akrab dengan Bunda Nia. Aku melihat mereka dengan seksama. Entah angin apa yang merasukinya sampai-sampai aku mengamatinya terlalu lama. Aku langsung mengalihkan pandanganku saat tamu wanita itu juga menoleh ke arahku. Aku berpura-pura menyapu sambil berulangkali mencuri-curi pandang ke arahnya.

Kiki yang heran dengan tingkah lakuku akhirnya menghampiriku, lantas bertanya,

“Dari tadi kuperhatikan, kau terus melihat wanita itu. Memangnya ada apa?”

“Entahlah, Ki. Aku hanya merasa harus melihatnya.”

“Begitu, ya,” angguknya. “Tapi, kurasa, bapak dan ibu itu memang sedari tadi melihat kita berdua. Sayangnya, aku tidak kenal mereka. Kau kenal?”

Aku menggeleng, “Tidak. Tidak sama sekali.”

“Sepertinya kita harus tanya kepada bunda tentang kedua orang itu.”

Kuanggukkan kepalaku, tanda bahwa aku menyetujui usul Kiki. Aku memutuskan untuk merampungkan tugas menyapuku terlebih dahulu sebelum menemui bunda. Kiki juga kembali berkutat dengan kain lap serta semprotan pembersih kaca ditangannya. Kami sedikit mempercepat kerja kami agar bisa segera menanyakannya kepada bunda.

Berakhirnya tugas kami bertepatan dengan perginya pasangan suami istri itu. Setelah dirasa mereka pergi cukup jauh, kami menemui bunda yang sedang membaca majalah di teras panti sambil menikmati secangkir teh.

“Bunda,” panggilku.

Wanita berkacamata itu meletakkan cangkir teh di meja bundar di depannya, lalu menoleh ke arah kami.

“Ada apa?” tanyanya.

“Anu ... itu, kami ingin bertanya soal bapak dan ibu yang bertamu barusan.”

“Oh, itu. Kalian tidak usah kaget. Mereka berdua sering sekali kesini, untuk mencari anak atau sekedar berkunjung. Kadang-kadang mereka membawakan buah-buahan atau kue untuk anak-anak panti. Mereka memang orang yang baik. Bunda senang ....”

“Mencari anak?” tanya Kiki, memotong ucapan bunda. “Memangnya untuk apa?”

“Ya, untuk diasuh. Memangnya mau diapakan lagi?” jawab bunda sambil tertawa.

Bunda menyeruput tehnya sekali lagi, lantas berujar. “Oh, iya, kalian besok jangan kemana-mana, ya. Kalian akan dijemput seseorang.”

“Yah, bunda, kita ‘kan baru sebentar disini. Masa iya harus keluar dari sini?” rengek Kiki sambil menarik-narik tangan bunda.

Wanita itu tersenyum sambil membelai rambut keriting gadis itu, lalu berkata lembut, “Bunda juga sama sepertimu. Bunda juga tidak mau kalian pergi secepat ini. Namun ini sudah kewajiban bunda sebagai pemilik panti asuhan. Bunda tidak berhak untuk melarang mereka mengasuhmu.”

Mendengarnya membuat bulu kudukku sedikit merinding. Jantungku berdegup kencang, badanku terasa panas dingin seketika. Terbayang olehku kenangan buruk masa lalu yang bercampur dengan kemungkinan terburuk yang akan datang. Menyedihkan ketika membayangkan wajah tampan seorang pria dan berubah menjadi sosok beringas melebihi macan--begitu juga istrinya.

Ya, aku kembali merasakan trauma setelah sekian lama aku jungkir balik melupakannya. Aku tahu bunda bukanlah orang seperti pria itu. Aku hanya takut akan satu hal: menjadi korban peribahasa ‘lepas dari mulut buaya, masuk ke mulut harimau’.

Aku sudah lelah dipermainkan oleh keadaan. Harus berapa kali lagi aku dilempar-lempar kesana kemari?

To be continued...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top