Takdir 11
Aku terkejut begitu membuka mataku. Aku melihat sekeliling. Rupanya, aku sudah dipindahkan oleh seseorang ke kamar ini. Tapi siapa?
Kulihat Kiki masih duduk di ranjang sebelah dengan menganga. Sepertinya dia juga memiliki pertanyaan yang sama denganku. Mata kami bertatapan beberapa detik, lalu mengangguk. Kami beranjak turun dari ranjang dan membuka pintu kamar.
Kulihat anak-anak ramai berkeliaran di ruang tengah rumah itu. Kami diculik lagi? Tidak, tidak, tidak mungkin. Aku melihat sekeliling sekali lagi lebih jeli. Kujumpai beberapa anak kecil asyik bermain kereta mainan, boneka Barbie, dan balok-balok kayu yang disusun menjadi bangunan. Beberapa asyik makan dengan lahapnya, dengan lauk yang menurutku sudah wah sekali. Yang lainnya ada yang menyiram bunga di halaman depan, serta ada yang bersiap berangkat sekolah dengan seragamnya yang kinclong.
Belum selesai kami menganga, suara seorang wanita menyapa kami sambil tersenyum.
“Hai, nak, selamat datang.”
“Anu ... kami di mana sekarang? Dan ibu ini siapa?” tanya Kiki kebingungan.
“Oh, maaf, aku belum memperkenalkan diri. Nama saya Ibu Nia, Panggil saja saya bunda. Dan rumah yang kalian tinggali ini adalah panti asuhan milik keluarga bunda,” jelasnya.
Yah, sepertinya ibu ini memang benar-benar jujur dan baik. Tidak mungkin mereka menculikku. Buktinya, mereka masih bisa bermain, makan makanan enak, bahkan bisa sekolah.
“Kalian tidak perlu takut,” ujarnya lagi. “Mulai sekarang, ini adalah rumah baru kalian. Dan anak-anak disini adalah teman-teman baru kalian.”
Sesaat, beberapa anak datang dan berteriak kepada kami, “Hai, kakak!”
Kiki tersenyum, lalu membelai rambut anak-anak kecil itu. “Hai juga, adik-adikku yang manis. Kalian sudah mandi, ya? Wangi sekali. Kakak saja belum mandi,” jawabnya sambil tertawa kecil.
“Nama kakak siapa?” tanya salah seorang dari mereka.
“Nama kakak Kiki. Dan lelaki di sebelah kakak ini namanya Kaka.”
“Oh, kakak kembar, ya? Wajah kakak sama.”
“Ah, iya, benar juga. Wajah kalian sama persis. Apa kalian memang benar anak kembar?” sahut bunda.
Aku menggeleng. “Tidak, bunda, tidak. Aku bahkan baru mengenalnya saat mengamen bersama. Apa memang wajah kami semirip itu?” tanyaku akhirnya.
“Memang, sih,” ujar bunda sembari mengernyitkan dahi. “Tapi, sudahlah. Yang penting kalian berdua mandi dulu, lalu makan. Setelah itu, bunda akan mengenalkan kalian dengan panti ini, mulai dari pengurusnya, kegiatan-kegiatannya, hingga peraturannya.”
Kami mengangguk, lalu melakukan perintah bunda. Dalam hati, aku bersyukur. Setidaknya, kehidupan kami sekarang masih jauh lebih baik daripada yang sebelumnya. Meski begitu, kami tak akan pernah lupa apa tujuan yang ingin kami capai.
To be continued...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top