Takdir 10

Kami tidak tahu sudah berapa lama kami berlari. Namun, aku masih terus berlari sejauh mungkin. Sepanjang jalan, aku sudah tidak menemukan lagi gedung-gedung tinggi seperti sebelumnya, namun jalanan masih tetap ramai. Setidaknya, kami sudah lumayan jauh dari pusat kota.

Untuk kesekian kalinya, perutku berbunyi lagi. Aku menghentikan laju lariku dan mengajak Kiki untuk mencari makanan sisa. Mata kami menelusuri setiap sudut gedung dan setiap sisi jalanan, barangkali ada sesuatu yang bisa dimakan, meskipun itu hanya sesendok nasi atau sepotong roti. Meski banyak warung-warung di sepanjang jalan, namun kami belum menemukan apapun di dekat sana. Kami berusaha pasrah, tetapi perut ini terus merengek minta diisi.

“Kau lapar sekali, ya?” celetuk Kiki tiba-tiba.

“Kau kira? Enak kau sudah makan,” ujarku kesal. Sekali lagi, pertanyaannya membuatku ingin meninju pipinya. Tanganku sudah bersiap, namun aku berusaha menahan diriku.

“Salah sendiri tidak ikut makan.”

“Habisnya, kau mencuri. Mana bisa aku makan makanan haram begitu.”

“Dasar sok alim.”

“Sudahlah, kita duduk dulu di depan sana,” kataku sambil duduk di dipan, depan sebuah kios kecil.

Kami menghempaskan diri di dipan itu karena sudah terlalu letih berlari. Aku menyandarkan diri di dinding, lalu mengamati sekeliling. Langit sudah berganti malam, menunjukkan bahwa sudah hampir seharian penuh kami berusaha kabur. Bintang-bintang diatas bersinar terang bagai lampu kerlap-kerlip di klub malam. Lampu-lampu natrium di sepanjang jalan membuat malam ini semakin semarak.

Tak sengaja, aku mendengar pembicaraan dari dalam kios.

“Ibu, makanannya masih sisa beberapa. Kita apakan ini?”

“Kita buang saja kalau begitu. Tidak ada yang akan mau menerima kalau sudah malam begini.”

Kesempatan bagus, pikirku. Jujur saja, aku tidak ingin berharap banyak dari situ. Aku tidak ingin tampak seperti anak yang kesusahan, tapi mau bagaimana lagi, perutku tidak bisa diajak kompromi. Mata gadis kecil di sebelahku berbinar-binar setelah mendengar obrolan barusan. Sepertinya dia memang berharap diberi makanan sisa itu, padahal dia sudah sempat makan sebelumnya. Jelas-jelas dia tak punya rasa kenyang sama sekali.

Aku menoleh karena aku mendengar suara pintu dibuka. Kulihat seorang anak perempuan datang sambil menenteng tas plastik berukuran sedang. Dia lantas menoleh ke arah kami dan mengamati kami.

“Hei kalian, apa kau mau ini?” tanyanya sambil menyodorkan tas plastik yang dibawanya.

“Tentu saja,” seru Kiki, lalu merebut tas plastik dari tangan anak itu. Dia gembira begitu melihat isi tasnya. Tingkahnya seperti anak yang tidak makan selama seminggu. Aku menginjak kakinya karena kesal dengan ulahnya. Bagaimana tidak, dia tidak punya sopan santun sama sekali.

“Ah, terima kasih atas pemberianmu. Terima kasih banyak. Maaf sudah merepotkanmu,” ujarku

Anak itu menggelengkan kepalanya. “Santai saja. Justru aku yang berterima kasih pada kalian. Berkat kalian, makanan ini tidak jadi kubuang.”

Dia kembali masuk ke dalam kios. Aku mengangkat kakiku yang sedari tadi menginjak kaki Kiki.

“Sakit, tahu! Apa yang kau lakukan?” ujarnya kesal sambil menggosok-gosok kakinya.

“Makanya, punya etika sedikit! Aku tahu kau lapar, tapi bukan begitu caranya menerima pemberian orang.”

“Berisik. Ini bagianmu,” ujarnya sambil memberikan sekotak nasi dan segelas air mineral padaku.

Kami mulai menyantap makanan itu dengan lahap. Akhirnya aku bisa menghilangkan rasa lapar dan hausku, begitu juga dengan Kiki. Dia tampak seperti sedang kerasukan setan; makannya cepat sekali. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat ulahnya.

“Sudah selesai. Mari kita cari tempat untuk istirahat,” ujarku pada Kiki setelah makan.

Dia mengangguk. “Baiklah. Aku serahkan padamu saja. Aku sudah terlalu letih hari ini.”

Kami berjalan beriringan. Tanganku memegang tangan Kiki erat-erat. Jalannya sudah sempoyongan. Matanya mulai memerah. Tangannya berulang kali menggosok matanya. Kupaksakan mataku untuk tetap terjaga hingga mendapatkan tempat yang sesuai untuk tidur.

Tak jauh dari sana, aku melihat sebuah rumah tanpa pagar dengan teras yang lumayan luas dan terang. Aku menepuk pundak Kiki yang sudah hampir tertidur.

“Ayo, tidur disana saja. Disana terang dan luas. Tidak akan ada nyamuk, dan kita bisa tidur dengan nyaman.”

“Terserahlah,” jawabnya, lalu menguap.

Kami mempercepat langkah kami hingga sampai di teras itu. Kiki langsung merebahkan tubuhnya disana, lalu memejamkan matanya. Ia meringkukkan badannya karena kedinginan.

“Ya Tuhan, restuilah perjalanan kami. Temukan kami dengan orang tua kandung kami,” pintaku malam itu, lalu tidur di lantai teras itu, bersebelahan dengan gadis berambut panjang yang sudah menemaniku seharian ini.

To be continued...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top