09 : Reval


Wajah merah padam yang sedang membaham itu membuat Ratu kembali menelan ludah kental.

Bahkan rahang Restu yang mengeras diikuti tangan terkepal mengakibatkan urat-urat leher dan lengan menonjol keluar menjadi sinyal kemurkaan pria itu.

“Sedang apa kamu?” todong Restu dingin.

“A? Ka-kaca. Bukan. Ee-e ... cermin. Cermin impian. Aku lihat cermin impian, itu—“

“Keluaar!”

Ratu tersentak hebat sampai tubuhnya terlonjak karena lengkingan suara sang bos. Lelaki itu memejam, menggigit gigi geraham dalam diam.

“Bos, aku janji—“

“Aku bilang keluaar!”

Wajah Ratu kembali pasi dan meringis pasti seraya gegas mengambil langkah lari seribu dari ancaman sang pria kejam itu.

Namun saat langkahnya sampai dekat sofa tempat ia mengobati Restu tadi, suara langkah sepatu bersama perbincangan orang di luar kini mendekat. Ratu terperanjat dan mundur dengan bingung.

Restu yang juga menyadari hal itu mengerang kesal bukan kepalang, menarik Ratu kembali ke ruang tadi.

“Hey, serangga. Cukup, ya! Cukup! Tetap di sini!” Lelaki itu meraih sebuah benda pipih berbentuk lingkaran di laci lemari lalu meminta Ratu menginjaknya. “Taruh kakimu di sini!”

“Apa ini?” tanya Ratu senewen.

“Jangan banyak tanya! Cepat!”

“Nggak!”

Tarikan tangan Restu membuat Ratu kelimpungan dan akhirnya kaki gadis itu tak sengaja menginjak benda itu.

“Jangan berani beranjak jika mau hidup! Coba angkat kakimu sekali aja, maka detik itu juga tubuhmu meledak.”

Mata Ratu membeliak. “A-apa ini, Bos?” ucapnya kalut.

“Ranjau! Cukup untuk menghancurkan tubuhmu jadi tepung!"

Restu langsung keluar dan menutup pintu dari rak buku itu untuk menemui Eric dan teknisi yang sudah berdiri memperbaiki pintu yang menuju ke toilet di bawah.

Begitu selesai, ia meminta Eric mengantar teknisi pergi. Setelah itu, ia kembali ke ruang rahasia menemui Ratu yang berdiri di atas benda bundar dengan wajah pucat dan kaku. Persis patung perunggu.

“Keluar sekarang, dan lupakan apa yang kau tahu di sini. Kunci mulutmu itu sampai mati! Dengar?”

Ratu mengangguk patuh dengan sorot mata polos.

“Keluar!” perintah Restu lagi keras.

“Tapi ini?” Dahi Ratu mengernyit takut menatap benda yang ia injak. Keringat di dahi dan lehernya bahkan jelas kelihatan.

“Lompat aja. Gak bakalan meledak. Belum dinyalain juga,” ucap Restu tanpa ekspresi berarti.

“Se-serius?” Kembali wajah polos itu bergumam takut.

“Hitungan tiga kalau kamu masih di sini, kutembak sekarang! Satu! Dua!”

Pasrah, dengan mata terpejam. Tanpa menunggu Restu berkata tiga, Ratu berlari secepat yang ia bisa keluar dari pintu utama kamar Tuan Muda.

Gadis itu berhenti di ambang tangga menuju ruang tamu seraya meraba wajah dan tubuhnya sendiri dengan panik. Sepersekian detik selanjutnya ia bernapas lega karena tak terjadi apa-apa pada dirinya.

“Syukurlah  ....” Gadis itu berembus lemas segera berlari turun, mengintai sekitar, mengendap-endap untuk memastikan tak ada yang melihatnya, lalu langsung ke kamarnya.

Setelah membuka pintu kamar dengan card miliknya, ia tersandar lunglai di belakang pintu bagai kehabisan seluruh tenaga menghadapi Tuan Muda tadi.

“Bodoh! Bodoh! Bodoh! Ngapain sampai masuk ke sana! Untung kamu nggak mati, Ratu!” ceracaunya menyesal karena begitu ceroboh.

“Setelah ini, apa yang akan dia lakukan pada nasibku?” desahnya lagi dengan napas lemah dan mulut maju.

Segera ia ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum menemui Fatma. Setelah itu, ia bergegas ke kamar pasiennya yang pasti sudah menunggu. Apa pun itu, Ratu sudah siap harus mendengar lengkingan kemarahan apa pun dari lansia itu.

“Kamu dari mana?” tanya Fatma sangar.

“Dari kamar, Grandma.”

“Mandi? Apa ngangkat air dulu? Lama banget kamu ke sini!”

“I-iya. Ma-af, Grandma. Tadi perut saya mules,” jawab Ratu meringis. Dalam hati ia bergumam. “Mules karena menghadapi malaikat maut di lantai dua.”

“Suka, ya kamu ngepelin lantai kamar ini kalau aku buang air kecil di sini!”

Grandma suka memangnya?” ucap Ratu polos.

“Tadi kamu ngapain ke lantai dua? Iva lihat kamu ke atas katanya.”

Pertanyaan lansia dengan rambut di atas leher itu membuat Ratu bergidik.

“I-itu  ... saya  ....” Gadis itu memilih kata.

“Hallo, Omaaa!” Suara seorang pria datang di pintu kamar Fatma. Secara tak langsung menahan kalimat yang hendak keluar dari mulut Ratu.

Gadis itu terkejut dan merunduk takut. Kali ini, telinganya bagai sudah begitu mengenali pemilik suara bariton. Si pokok pisang!

“My boy. Tumben kamu ke sini. Ada apa?”

“Kok tumben sih. Aku pengen setiap hari jenguk Oma. Tapi kadang waktunya gak ketemu. Oma lagi istirahat aku pulang. Oma santai aku yang di luar. By the way, Oma makin cantik. Gimana latihan jalannya?” goda Restu hangat.

“Oh, ya? Kamu paling bisa deh goda, Oma. Papamu dulu juga gitu, sekarang entah ke mana rimbanya. Kamu jangan gitu suatu hari, ya.” Fatma mencebik penuh penekanan.

Stop, stop, stop, Oma. Restu memang putranya. Tapi bukan berarti Restu akan sama,” kata Restu dengan wajah sedikit ketat karena tak suka.

“Ya. Sorry, Sayang. Kamu kebanggaan Oma.” Tangan Fatma merangkum bingkai wajah persegi pria itu. “Kaki Oma mulai bisa lebih ringan digerakkan dari kemarin.”

“Really? I’m so happy to hear that. Perawat Oma gimana? Becus dia jaga Oma?” kejar Restu tanpa ragu bagai tak ada Ratu di situ.

“Ya gitu.” Lansia itu mendekat ke telinga Restu yang duduk berjongkok di depannya. “Tapi lebih baiklah dibanding perawat dulu,” bisiknya diikuti wajah angkuh dan hidung berkernyut.

Ratu yang berdiri tak jauh dari ranjang, menahan napas. Entah apa yang dilaporkan Fatma pada Tuan Muda tentang dirinya. Ratu pasrah sudah. Berada di rumah ini kadang membuatnya sulit  bernapas. Jika tidak karena butuh, ia pasti sudah menjauh bahkan sebelum memulai.

“Gitu? Ya, kalau macam-macam tinggal tendang aja out dari sini,” ucap Restu bagai sedang menyindir perawat Oma-nya di situ.

Dua insan berbeda zaman itu saling bersenda gurau, tak lama Restu pamit setelah mencium pipi Fatma bergantian.

Saat melewati Ratu, pria itu sengaja melempar tatap tajam penuh makna penindasan yang kental. Bagai sedang memperingatkan gadis itu untuk tidak main-main dengan janjinya.

Usai membantu Fatma ke kamar mandi, Ratu ke dapur untuk mengambil menu makan malam Fatma yang biasa tidak ikut makan bersama di meja makan keluarga jika malam tiba.

Sambil menunggui lansia itu makan, ia membersihkan kamar tanpa diperintahkan Fatma. Hal yang sejujurnya diam-diam dinilai Fatma sejak hari pertama ia bekerja. Gadis itu terbilang rajin walau padahal itu bukan bagian dari pekerjaannya.

“Kamar yang bersih bikin Grandma terjaga dari serangan penyakit. Nggak papa Ratu yang bersihkan selagi bisa. Nunggu pelayan lain, terlalu lama,” ucap gadis itu ceria waktu itu.

“Acara Dinda udah jalan di depan?” tanya Fatma bergumam. Secara tak langsung bertanya pada perawatnya.

“Ng? Nggak tau, Grandma. Saya nggak ke depan lagi tadi.”

“Anak itu, harusnya bisa kerjasama dengan Restu. Tapi ngeyel nggak mau dibantu.” Fatma meracau sambil menyuap buah apel, bagai sedang berbagi beban pada Ratu. Hal yang belum pernah terjadi selama Ratu bekerja di sini.

Gadis itu hanya diam bingung harus menanggapi apa. Karena itu bukan wilayah wewenangnya.

Setelah memastikan Fatma meminum obatnya, ia mengambil alih nampan makanan yang masih tersisa banyak.

“Kenapa nggak habis, Grandma?” Kali ini Ratu bertanya. Sejak awal ia di sini, makan malam Fatma tak pernah habis.

“Gak usah maksa!” Lansia untuk cemberut dan menggerutu kesal.

“Gak maksa kok. Cuma nanya, Grandma gak suka menunya? Pengennya apa?”

“Percumalah aku bilang. Menunya akan tetap sama! Wortel, kentang. Ursula masak sesuai apa yang dikatakan Ester.”

Grandma pingin makan apa?” tanya Ratu peduli. “Daging sapi, cumi, udang?”

“Kamu mau bikin darah tinggiku naik?” Mata Fatma melotot sangar tapi gadis itu hanya terkekeh. “Mau bunuh aku perlahan namanya!"

“Daging bebek, sapi, bukannya Grandma boleh makan, ya?”

Fatma melirik sekilas dan mulai tergoda. “Serius?” tanyanya tak yakin.

Grandma bukan stroke total. Unggas kayak bebek, ayam kampung, daging sapi rendah lemak dengan versi sedikit, Grandma boleh kok menurut Ratu. Dulu, dosen saya juga ada yang sakit kayak, Grandma. Waktu jenguk, beliau dibolehin makan menu itu. Kalau kentang, wortel, ikan setiap hari, muak juga lah.”

“Bener tuh! Ah, tapi Ursula gak berani tukar menu!”

“Kalau Grandma yang minta?”

“Halah. Sama aja. Menu yang datang gak berubah wujud.” Mulut Fatma menggerutu maju.

“Ya udah, entar Ratu coba.”

Ungkapan Ratu membuat Fatma melirik tak yakin. Gadis ini bebal juga, tapi Fatma juga penasaran apa yang akan terjadi. Karena itu ia bungkam dan diam, mengamati dengan rasa tak sabar.

Saat jam makan malam tiba, Ratu sengaja pergi ke dapur lebih lama.

Sampai di sana, masih ada Ursula yang duduk di meja makan bersama Ria, asistennya memasak.

“Tinggal ini tuh. Kan udah diingatkan, datang di waktu makan.” Seperti biasa, Ursula berkata tegas.

“Nggak papa kok, Chef. Ini masih cukup lah kalau buat perutku yang mungil,” ujar Ratu terkekeh.

Ursula menatap Ratu mengambil duduk di depannya.
“Oma makannya habis tadi?” tanya Kepala Koki di rumah itu.

“Alhamdulillah, kayak biasa.”

“Dibuang?” tanya Ursula lagi.

“Iya, dibuang.” Dahi Ratu terangkat serius lalu wajah Ursula berubah malas. “Tapi ke perut.” Ratu menyiduk nasi sambil cengengesan senang, bagai tak terjadi apa-apa dengan mentalnya.

“Tumben Oma makannya habis beberapa sore ini. Kamu gak bohong?” tatar Ria tak yakin.

“Dibuang ke perut aku. Makanya aku sering telat datang makan malam. Udah kenyang duluan.” Gelakan Ratu keluar mencairkan suasana.

“Kamu makan makanan, Oma?” Dua wanita satu profesi itu membelangah mata.

“Sayang, Chef. Aku suka sedih lihat makanan setiap hari gak habis. Terbuang banyak. Chef dan rekan di sini kan udah capek masaknya.” Alis Ratu berkerut hampir menyatu.

Diam-diam Ursula kian menyimpan tanya terkait gadis ini. Cukup berani melawan arus, tapi juga punya daya tarik tersendiri. Unik.

“Kamu gak eneg apa makannya?” tanya Ria merasa aneh.

“Nggak. Apalagi kalau dikasi daging bebek semur, sup sapi, eum  ... makin maknyus!” Mulut Ratu maju memeragakan seolah yang dilahapnya sekarang memang senikmat itu.

“Itu sih, menu buat kamu!” Ria mencibir galak diikuti tawa Ratu.

“Tapi serius. Grandma kayaknya muak makan menu itu mulu. Dikasi daging sapi vorsi kecil atau ayam kampung kayaknya aman deh, Chef.”

“Aku 'kan masak sesuai yang diperintahkan Ester.” Hidung Ursula mendengkus tajam.

“Dulu dosenku pernah sakit kayak Grandma tapi dibolehin kok makan daging bebek, ayam kampung. Aman kok. Dokter juga bolehin.”

“Ah, jangan berani-berani kamu di sini kalau gak mau cari mati.” Mata Ursula menuding seram ke arah Ratu.

Please, Chef.  Kasian, Grandma. Aku sebagai perawatnya khawatir, kalau Grandma makannya gak tentu begitu, yang ada malah makin sakit. Asupan gizi juga perlu loh. Kalau gak, konsul deh ke ahli gizi atau dokter keluarga kali, ya.”

“Kamu aja yang minta ke Ester. Aku mah ogah!”

“Apanya yang ogah?” Suara bas seorang pria datang dari pintu masuk ke dapur ikut mengisi perbincangan mereka.

“Eh, Den Reval. I-ini, careworker Oma minta menu Oma diganti.”

“Atas dasar?” Pria dengan kaus kerah V itu mengernyit sambil membuka lemari es.

Grandma, belakangan kurang selera makan. Barangkali beliau ingin menunya diganti.” Kali ini Ratu yang bersuara, sedikit melirik Reval dengan segan.

“Menurut kamu, Oma pengen apa?” Pria itu kembali bertanya pada Ratu.

“Ganti bebek, atau sup daging sapi gitu?” jawab Ratu terbata dengan wajah polos yang disambut kuluman senyum sengklek dari Ria.

“Bagus itu. Buat gih, Ursula. Aman kok itu.”

“Tapi, Den Reval--"

“Buat aja. Nanti aku yang bantu bicara sama Ester atau Tuan Muda sekalian.” Reval yang sudah duduk di mini bar meneguk air dingin dari gelasnya.

Ratu yang mendengar itu langsung menarik senyum semringah. Tanpa ia tahu, mata Reval menatapnya di balik gelas yang mulai kandas seolah sedang meneropong wajah gadis itu dan membingkainya dalam diam.
.
.
.
Reval .... (Monggo diisi menurut dugaan pembaca 😁)

Mafia si pemburu. Kutunggu selalu, see you dan tengkyu 🤗❤

Ketemu juga di sini yuk
Instagram📷 :Zain_Isika
KBM App : Zain_Isika

Di bawah, nyelip cast Reval, ya. 😁🤭

Taruh yang lebih besar deh 🤪

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top